CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #14

BILA TIFA YANG MENANGANI KASUS (1)

Hanarete ita kokoro ga

yobiau yo tooi shinjitsu

Sakamaku sora no mukou

onaji hikari wo miteru

Ini adalah kutipan lirik lagu yang paling kusuka dari lagu FictionJunction terfavorit, distance. Hati yang terpisah oleh jarak, sesungguhnya saling memanggil. Di luar langit yang bergelora, kita melihat cahaya yang sama. Begitulah kira-kira artinya.

Sambil memainkan lagu ini dari pemutar musik di gadget-ku, aku membayangkan wajah gadis pujaanku. Safir Aurora. Saat ini kami memang terpisah, belum saling kenal. Namun aku yakin sesungguhnya hati kami saling memanggil satu sama lain. I hope so.

Aku masih di tempat yang sama. Di ruangan yang sesekali tercium aroma pemanggil lalat. Tempat yang pintu ruangannya sedikit macet bila akan dibuka. Tempat untuk Tifa dan Pito bermalas-malasan di atas sofa baru. Dan suatu ruangan yang sangat sepi dibandingkan ruangan ekstrakurikuler yang lain.

“Uli nggak datang hari ini?” tanyaku pada Tifa yang sedang mengulum lolipop. Duduk santai di atas sofa sambil menonton tv.

“Ha? Semalam kan latihan terakhir dariku untuknya. Kurasa dia udah semakin baik kok. Tinggal latihan sendiri aja,” jawab Tifa.

Begitu ternyata. Tentu saja aku tidak tahu. Karena kemarin ada siswa yang butuh bantuan tenaga dari kami. Makanya aku, Pito, dan Eru tidak berada di ruangan ini. Ah, rasanya hari ini aku ingin bersantai saja. Aku agak malas beraktivitas. Kuangkat tubuhku dari kursi dan berjalan ke sudut ruangan. Kubuka lemari es untuk mencari panganan.

“Hmmm ... Pito, keripik kentang rasa rumput lautnya habis ya?” tanyaku.

“Ah, maaf, aku lupa mengisi stok makanan kita. Besok aku bawa deh,” ujarnya terdengar gampang.

“Ah, nggak apa-apa,” balasku sambil mengambil sekaleng minuman soda.

Sebagai donatur sukarelawan di tim ini, aku takkan meminta hal yang akan membuatnya repot. Pito sudah cukup baik membeli lemari es, AC, tv, untuk ruangan ini. Bahkan ia bersedia membayar tagihan listrik sekolah ini demi izin untuk memakai alat-alat elektronik ini.

Aku kembali duduk ke kursiku. Lalu membuka kaleng minuman dan segera menenggaknya sedikit. Sesosok wanita yang tiba-tiba berdiri di depan pintu mengagetkanku dan membuatku tersedak. Sebagian dari yang kuminum ikut tersembur keluar dan membasahi mejaku.

“Jangan muncul tiba-tiba begitu, Liam! Aku jadi kaget,” keluhku.

“Ma-maaf, Kak. Nggak bermaksud,” ujarnya dengan wajah yang memerah. Malu-malu, tapi sepertinya sedang senang.

Sambil menghela napas panjang, aku mempersilakannya masuk. Liam segera duduk di kursi di hadapanku. Pito dan Tifa memerhatikan dari posisi duduknya yang santai.

“Kalo butuh bantuan untuk menghajar seseorang, bilang saja padaku, Liam,” ujar Eru sambil tersenyum-senyum di atas balai-balai.

Angin berdesir, menyusup dari celah jendela di belakang kursiku. Suasana menghening mengikuti suasana Liam yang masih malu-malu. Tekanan udara terasa tidak nyaman, namun juga tidak begitu mengusik. Suara tv pun jadi terdengar lebih keras.

“Kecilkan suara tv-nya, Pito!” hardikku pelan.

“Ya,” jawabnya.

“Lalu? Ada masalah lagi, Liam? Apa tentang tim bola volimu?”

Liam menggeleng. Gadis beberpenampilan seadanya ini masih sulit untuk berbicara. Wajahnya masih malu-malu, tersenyum-senyum sendiri. Yang seperti ini tak perlu dpertanyakan, aku sudah tahu jawabannya.

Lihat selengkapnya