CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #16

CORONG SPEAKER DIBUBARKAN? (1)

Terkadang, tidak, bahkan seringkali perbuatan baik itu belum tentu baik di mata orang lain. Inilah salah satu yang disebut dengan tantangan. Tantangan memberikan warna dan aroma yang berbeda pada suatu proses. Berakhir buruk atau sebaliknya itu tergantung kesiapan dan cara seseorang dalam menghadapi tantangan itu sendiri. Intinya adalah tantangan itu cara kasar untuk memotivasi atau mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mencapai suatu tujuan.

Daripada disebut motivasi, aku lebih suka menyebut tantangan itu sebagai parasit. Musuh utama yang wajib kuhindari. Sesuatu yang bisa menggerogoti pikiran, tenaga, dan waktumu dalam melakukan hal-hal yang lebih santai. Sebisa mungkin, bila aku menemukan rintangan, dengan bangga aku akan menyerah dan tak ingin berurusan dengannya. Daripada aku harus menggunakan otakku untuk mencari cara menghadapinya, lebih baik aku menggunakan otakku untuk memikirkan hal-hal negatif dari semua hal yang positif.

Akan tetapi, semuanya sedikit berubah setelah aku menjadi anggota Tim Corong Speaker. Banyak tantangan-tantangan mulai bermunculan. Dan aku berhasil menanganinya. Tak disangka aku juga punya kemampuan untuk menghadapi tantangan. Hingga tiba aku berhadapan dengan sosok yang selama ini kupuja diam-diam. Seorang gadis SMA kelas dua yang memiliki aura yang tak bisa dilukiskan hanya dengan kuas. Ia bersinar, memukau, memesona, yang bisa membuat mataku enggan berkedip bila ada angin yang menyibakkan roknya. Tapi, dibalik semua pesonanya itu, tersembunyi sebuah ancaman mematikan. Teror yang mengerikan. Yang bisa membuatku bergidik dan mengeluarkan keringat dingin ketika berhadapannya.

Safir Aurora. Pemegang peringkat tertinggi di tingkatan kami. Ia juga menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Dan kini, aku sedang berhadapan dengannya. Tantangan, teror dan ancaman serasa mengelilingiku saat bertatapan dengannya. Tatapannya tak terlalu menusuk, dan ucapannya juga tidak sekasar Tifa. Hanya saja yang kurasakan, ia jauh lebih berbisa dan lebih dingin dari Tifa.

***

Sebuah ketukan yang keras berhasil menyentakku dari rasa kantuk di ruangan ini. Ketukan itu berasal dari pria tua botak yang sedang berdiri di depan pintu ruangan, tepat di hadapanku pula.

“Haha, maaf baru berkunjung,” ujar Pak Wijaya sambil melangkah masuk dan duduk di kursi tanpa izin dariku. Seperti inikah kelakuan guru budi pekerti di sekolah ini? Sungguh tidak mendidik dan tak boleh dicontoh! 

“Bagaimana kegiatan kalian ini? Sudah lebih dari sebulan, kan? Tanggapan kalian? Menyenangkan? Menggembirakan? Meriangkan? Membahagiakan?”

Pertanyaan macam apa itu? Menyenangkan? Menggembirakan? Kenapa tak ada satu hal negatif pun yang disebutnya seperti merepotkan, menyusahkan? Dari kata-katanya itu sepertinya dia hanya ingin mendengar tanggapan positif dari kami tanpa menghiraukan keluh kesah yang kami alami. Inilah yang disebut kuasa orang dewasa. Mereka egois, tak mau mendengar, tak ingin disalahkan. Sekalipun ia salah, ia akan berusaha mencari peluang untuk menimpakan kesalahannya pada orang lain. Busuk!

“Anuu ... Pak, sepertinya aku belum mempersilakan bapak masuk dan duduk di ruangan ini. Sejauh yang aku pelajari, ketika seseorang bertamu ke suatu tempat, dia bisa masuk setelah tuan rumahnya mempersilakan. Apa yang seperti itu tidak berlaku di habitat bapak?” kuajukan keberatan karena sedikit kelancangannya. Sekaligus sedikit membalas dendam atas perlakuannya tempo hari.

“Hahahaha, kamu makin pandai saja ya bicaranya, Ranka. Pasti kegiatan ini yang membuat potensimu semakin berkembang. Sudah kuduga. Kegiatan seperti ini memang sangat cocok denganmu. Lalu bagaimana dengan kalian? Sudah mendapat kemajuan juga?” tanyanya sambil melirik ke arah tiga rekanku satu per satu.

Cih! Kurang asem! Sindiran langsungku tak digubrisnya. Ini sebabnya aku benci orang dewasa. Aku sama sekali tak ingin menjadi dewasa!

“Nyusahin! Harusnya aku bilang gitu sama bapak. Tapi sekarang, nggak bisa dibilang suka sih. Aku cuma menikmatinya. Itu aja,” jawab Tifa dengan sedikit tersipu. Tampaknya hal ini akan berpengaruh pada yang lain.

“Omong-omong, aku masih menunggu siswa yang sering dibully minta bantuan. Biar aku bisa bergerak sedikit. Hahaha,” ungkap Eru.

“Itu baru semangat! Tapi ... kekerasan dilarang di sekolah ini. Jadi pikirkan cara yang lain saja,” komentarnya. “Kalau kamu, Vepito”

“Sebenarnya aku udah sering mau bantu. Tapi Ranka selalu mencegahku. Bukan salahku dong, Pak?” jawabnya ketus sambil melirik ke arahku.

Merasa dipojokkan seperti ini, maka demi harga diriku, aku harus membela diri. “Oy, yang datang minta bantuan ke sini tuh bukan fakir, korban bencana, atau apalah. Kambing selalu makan rumput, bukan makan uang!”

“Jadi, semua klien kita yang datang ke sini tuh kambing?”

“Bukan itu maksudku! Maksudku itu ... aaaahhh ... sudahlah,” gerutuku. Aku paling malas meladeni bocah sok polos begitu.

Kemudian dengan sunggingan senyumnya, Pak Wijaya menatapku. Dari wajahnya itu dia memang sangat menanti-nanti komentar dariku. Bila mendengar komentar dari ketiga rekanku yang masih terlihat sekali kesan remajanya, aku tak akan bisa menjawab seperti itu. Meski aku ingin sekali, tapi jawaban seperti itu sangat bertentangan dengan akal pikiranku.

“Maaf, Pak. jika bapak inginkan jawaban yang positif dariku, sebaiknya lupakan saja. Sejak awal aku memang tak suka melakukan hal-hal yang merepotkan. Semua ini cuma kulakukan karena perintah bapak. Tidak ada yang lebih,” ujarku.

Sejujurnya kegiatan ini memang sangat berguna sebagai bekal masa depanku. Tapi untuk di hadapannya, aku takkan mau mengakuinya. Karena tujuannya ke sini memang untuk memastikan bahwa kami menikmati ekstrakurikuler ini. Sayangnya aku ahli dalam membaca situasi untuk memudarkan sedikit harapannya pada kami.

Kami saling bertatapan dengan serius untuk beberapa detik. Lalu ia menyunggingkan senyumnya kembali. “Yaaa ... sudahlah. Yang penting saya sudah puas dengan jawaban kalian,” ujarnya sambil bangkit dari tempat duduknya. “Yah, segitu aja. Saya masih punya banyak pekerjaan. Sesekali aku akan menjenguk kalian lagi untuk memantau perkembangan kalian. Sampai jumpa,” ucap Pak Wijaya berlalu dengan gaya sok keren.

“Lain kali masuk setelah kupersilakan!” ujarku keras dengan ketusnya. Pak Wijaya hanya membalasnya dengan tertawa.

Sip! Sumber dari segala kekacauan dalam hidupku sudah pergi. Kini saatnya melanjutkan kegiatan sehari-hari kami yang tertunda. Menunggu klien yang akan datang meminta bantuan ke sini. Sedangkan menonton acara tv dengan menyantap cemilan yang rutin dibawa oleh Pito dalam ruangan sejuk ini adalah cara alternatif yang paling mujarab untuk membunuh waktu bila tak ada yang datang. Yang sebenarnya malah tak jauh berbeda dengan kehidupan kami sebelum menjalani kegiatan ini.

Lihat selengkapnya