CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #17

CORONG SPEAKER DIBUBARKAN? (2)

“Tunggu dulu! Kamu ingin membubarkan kegiatan kami?!” spontan Tifa bangkit dari duduknya.

“Jangan seenaknya membubarkan kami! Kamu tak punya hak untuk itu!” timpal Pito ikut emosi.

Safir mengulum senyum. “Jangan khawatir, aku punya hak untuk itu. Salah satu tugas OSIS kan mengawasi jalannya kegiatan ekstrakurikuler. Bila ada kegiatan yang tidak memenuhi kriteria, kami bebas menghapusnya.”

“Kegiatan kami dibentuk khusus oleh Pak Wijaya. Guru budi pekerti kita! Kami tim yang berada di bawah naungannya!” Eru mencoba membela.

“Wah, aku terkesan. Lumayan juga kegiatan kalian ini. Sayangnya OSIS berada langsung di bawah naungan kepala sekolah,” balas Safir.

Sudah tak bisa terbantahkan lagi. Kami jelas kalah telak dalam hal kuasa. Aku harus melakukan sesuatu untuk ini.

“Apa kami tak sebegitu berartinya demi kepentingan sekolah ini? Sebuah kotak tak bisa diketahui isinya sebelum dibuka, kan?” tanyaku.

“Ada sebuah gelombang elektromagnetik bernama Sinar X yang mampu mengetahui isi sesuatu tanpa harus membuka apa pun. Kamu sudah mempelajarinya kan?” balasnya.

“Jadi kamu merasa bahwa kamu memiliki sesuatu untuk mengetahui semuanya tanpa harus menyentuhnya?”

“Ilmu pengetahuan semakin berkembang. Analisis adalah cara tercepat menyimpulkan sesuatu tanpa kontak langsung dengan materinya. Bukankah kamu menganut paham yang sama?”

“Cih!” umpatku kesal. “Jadi, kamu mau kami dibubarkan, kan? Silakan saja. Lagipula aku tak begitu berniat punya kegiatan seperti ini. Ini hanyalah kegiatan paksaan yang diberikan oleh Pak Wijaya.”

“Kalau begitu sudah diputuskan. Aku akan segera menghapus kegiatan kalian dari daftar ekstrakuriler sekolah,” ujar Safir mengambil kertas tadi dan sebuah pulpen.

“Tunggu!” pekik Tifa. “Kamu yakin mau membiarkan ini begitu saja?” ratap Tifa. Wajahnya sayu membuatku tak tahan menatapnya.

“Benar, Ranka. Kita baru saja menikmati kegiatan kita. Dan aku rasa ini menyenangkan. Aku menyukai kegiatan ini. Entah kenapa, aku merasa senang bisa membantu orang lain. Meski aku masih belum bisa banyak membantu. Setidaknya aku juga ingin diberi kesempatan untuk membantu sesama,” papar Pito. Tapi sebenarnya yang keberatan adalah aku. Sebagian besar masih aku sendiri yang menangani.

“Aku juga berpikiran sama, Ranka,” Eru menepuk bahuku. Inikah yang namanya solidaritas? Atau kalian hanya menambah bebanku?

Hah, apa boleh buat. Kalau begitu aku harus berpikir lebih keras lagi.

“Meski begitu, seakurat apa pun analisis seseorang, tak kan ada gunanya bila tidak terbukti, kan? Kamu menilai kami tidak berguna, apa kamu punya bukti yang kuat?” aku membalas serangan.

“Kukembalikan padamu. Apa kalian punya bukti yang kuat kalau kalian itu berguna?” balas Safir.

“Ada dong! Kami pernah membantu seorang siswa dari tim paduan suara untuk menyanyi lebih baik. Tifa yang membantunya. Tifa membantunya berlatih agar bisa menang dalam kontes paduan suara antar sekolah!” seru Eru cepat. Tifa mengangguk berkali-kali.

“Itu hanya sebagian kecil dari kegiatan kalian. Selebihnya? Hampir semua tak berpengaruh untuk menunjang prestasi sekolah.”

Dia tangguh. Bila terlalu lama berdebat dengannya, kami bisa kalah telak. Berpikir cepat adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kegiatan ekstrakurikuler kami.

“Orang yang akan dihukum mati biasanya akan diberikan kesempatan untuk mengatakan pesan terakhir. Orang yang melakukan kesalahan berulang-ulang juga masih diberikan kesempatan terakhir. Bila kamu seorang wakil ketua OSIS yang bijak, apa kamu melakukan hal yang sama?”

Dalam waktu singkat aku berhasil memikirkan cara untuk mengulur waktu. Dari nada bicaranya yang terkesan berwibawa, aku yakin Safir adalah seorang wanita yang memiliki harga diri tinggi. Dia takkan mungkin menjatuhkan harga dirinya dengan mengabaikan permintaan dari siswa yang ada di sekolah ini.

Safir mulai memegang dagunya. Untuk sesaat ia hening memikirkan sesuatu. Tatapannya mengarah ke bawah. Aku harap ia tak berpikir bahwa lantai ruangannya ini masih kurang mengkilap atau kotor karena sepatu kami.

“Kesempatan ya? Nggak buruk juga,” gumamnya sambil mengangguk. “Kalau begitu, aku beri kalian kesempatan untuk memikirkan satu hal. Kegiatan kalian adalah membantu para siswa, bukan? Oleh karena itu, apa yang bisa kalian lakukan untuk membantu meningkatkan prestasi sekolah kita? Bila kalian tak bisa menjawabnya, ekstrakurikuler kalian akan dibubarkan. Dan aku tunggu sampai besok jawaban kalian.”

Berhasil! Dia jatuh juga dalam perangkapku. Tapi, sorotan apa itu? Safir menatap mataku dalam sambil menyandarkan pipinya pada sebelah tangannya. Apa ini sebuah kode darinya? Tidak, aku tidak boleh naif. Ini adalah tatapan intimidatif yang tersembunyi. Jantungku kembali berdegup kencang.

“Ka-kalau begitu terima kasih atas pertimbangannya,” ujarku menahan gugup sambil beranjak dari ruangan ini. Tentu saja aku tak lupa untuk mengajak rekan setimku untuk beranjak.

Sebelum aku resmi beranjak dari ruangan ini, tiba-tiba saja kakiku tertahan, dan aku mempersilakan teman-temanku untuk pergi duluan. Hingga hanya ada aku dan Safir di ruangan ini.

Aku membalik badan dan segera bertanya, “Safir.” Ini pertama kalinya aku menyebut namanya langsung di depannya. “Apa kamu punya dendam pribadi pada kami atau salah satu anggota kami?”

Pertanyaanku ini bukan tak beralasan. Mengingat caranya berbicara dan berhasil memojokkan kami itu tidak sangat tidak natural.

Safir mengulum senyum, memejamkan matanya. Lalu menatapku kembali. “Aku menjunjung tinggi keefisienan. Aku tak punya waktu untuk mendendam pada siapapun.”

“Baiklah. Permisi.”

Kutinggalkan ruangan OSIS ini dengan melangkahkan kaki kananku terlebih dahulu.

***

Sudah hampir jam sebelas malam dan aku masih menatap layar ponselku di kamarku. Sambil berbaring di atas tempat tidur tentunya. Tim corong speaker masih berinteraksi lewat whatsapp hingga selarut ini. Hanya ini satu-satunya cara yang paling murah untuk berdiskusi. 

Pito:

Lihat selengkapnya