“Hey, hey, Ranka! Jangan ngelakuin yang aneh-aneh gitu! Jangan dekat-dekat dia juga. Bahaya!”
“Udah Kak Geo duduk aja di situ. Nanti kalo Pak Maling ini macem-macem, tembak aja. Gak usah berisik! Ini kan rumahku. Ayo, Pak.”
Pak Maling dengan wajah bingungnya menurut. Kak Geo juga segera merebahkan dirinya di atas sofa. Pembobolan kamar ayah dimulai. Pak Maling yang duluan mencoba. Selang lima menit, tak menghasilkan apa-apa. Kemudian aku yang mencoba menurut instruksi dari beliau. Pantas saja tak mau terbuka, kenop pintunya berbeda dari kenop pintu yang ada di belakang. Dan Pak Maling ini tak banyak memiliki nalar yang bekerja dengan baik. Ini seperti menggunakan traktor untuk membajak sawah dan membajak aspal.
Aku menyerah dan mengembalikan kawat tipis itu pada si maling. Si maling malah melanjutkannya. Sikap pantang menyerah yang patut untuk diacungi jempol. Hanya saja bila diulang dengan cara yang sama tanpa adanya peningkatan, kau takkan bisa berhasil.
Klek! Kawat tipis itu patah. Sebagian yang patah tersangkut pada lubang kunci kenop. Dan usaha pencongkelan Pak Maling hanya tinggal kenangan.
“Sudah kuduga, aku memang tak cocok dengan pekerjaan ini. Mengerjakan pekerjaan yang tak sesuai dengan kemauanku itu hal yang sulit untuk dilakukan, ” keluh Pak Maling dengan wajah sedihnya.
“Ha? Memang pekerjaan sebelumnya apa?” tanyaku penasaran.
“Dagang bakso tusuk keliling. Tapi ....”
“Stop! Kita bicara di sofa saja. Kak Geo, tolong siapkan kopi untuk kita bertiga!” perintahku cepat sambil duduk di atas sofa.
“Ha? Maksudnya apa?!” protes Kak Geo atas perlakuanku yang menurutnya tidak masuk akal.
“Tuan rumah wajib menjamu tamunya, kan? Kenapa mesti tanya?” balasku.
“Ya, tapi dia kan, aku kan, ini kan rumahmu. Kenapa harus aku?”
“Anggap saja rumah kakak sendiri. Beres kan? Tak perlu banyak komplen. Cepatlah!” ujarku memaksa.
Kak Geo mengalah. Beretta-nya dikunci dan dimasukkan dalam saku celananya lalu beranjak ke arah dapur. Pak Maling segera duduk di hadapanku. Jiwa konsultan dan sukarelawan yang selama ini terbentuk dari sekolah, tanpa sadar sudah melekat erat padaku dan menyebar hingga ke kancah dunia luar.
“Bisa bapak ceritakan kenapa bapak yang tadinya seorang tukang bakso tusuk keliling, sekarang beralih profesi menjadi maling?” aku memulai investigasiku yang kukira cukup tidak penting.
Dengan wajahnya yang cenderung polos,ia mulai bercerita.
“Aku sudah dagang bakso tusuk keliling sejak sebelum menikah. Setelah menikah pun aku masih berjualan bakso tusuk. Bahkan setelah aku memiliki tiga orang anak, aku masih setia menjadi tukang bakso tusuk,” paparnya. Kesimpulannya adalah ia memang ditakdirkan untuk menjadi tukang bakso tusuk hingga akhir hayatnya.
Suara sendok teh yang beradu dengan gelas mulai terdengar dari arah dapur. Aroma kopi mulai menyeruak dan menghampiri hidungku. Kak Geo datang sambil membawa tiga gelas kopi lalu menyuguhkannya di meja. Dari pemaparan sang maling panjang lebar, ia hanya bermasalah karena dagangannya semakin tidak laris. Penghasilan menurun dan kebutuhan hidup meningkat.
Kemudian karena tuntutan hidup, ia terpaksa mencari uang lewat jalan gelap. Dan berakhir di rumahku. Untuk itu, sebagai warga negara yang peduli akan nasib orang kecil, aku memutuskan untuk memberikan arahan serta masukan padanya. Saranku adalah, ia perlu menginovasi racikan bahan-bahan bakso tusuknya. Agar lebih bervariatif rasanya. Jalan terang berlubang dan berliku jauh lebih baik daripada jalan gelap yang belum diketahui kemana arahnya.
Obrolan tidak berlangsung terlalu lama. Aku menyuruh maling itu untuk segera pulang setelah menghabiskan kopinya dan mengamalkan saran dariku. Tentu saja ini menuai protes dari kakak sepupuku ini. Ia tak terima bila maling dibiarkan begitu saja. Dia harus menangkapnya demi menegakkan hukum.
“Dasar hukuman adalah membuat seseorang agar jera berbuat sesuatu dan mengubah perilaku atau sifatnya, kan? Bila seseorang itu bisa berubah dan kembali ke jalan yang benar, hukuman tak diperlukan. Lagipula dia tak mencuri apapun di rumah ini. Aku tak merasa dirugikan.”
Tatap mata Kak Geo nanar. “Ranka ... kamu ini ... sakit ya?”
Aku tak menggubris perkataan Kak Geo. Yang mengganggu pikiranku saat ini adalah, aku harus memikirkan alasan yang tepat bila ditanya perihal tentang tersangkutnya seutas kecil kawat pada kenop pintu kamar ayah. Karena ayah pernah marah saat bertanya kenapa laptopnya rusak, dan aku menjawab yang penting otak ayah tidak rusak.
Pak Maling yang tak sempat kutanyai namanya itu pun berpamitan pulang. Aku mempersilakannya lewat pintu depan. Dan memandangi kepergiannya dengan damai.
***
Dengan bermodalkan tidur cuma empat jam, aku memberanikan diri menginjakkan kakiku di sekolah. Untuk melanjutkan tidur. Posisi tempat duduk yang cukup terabaikan dari penglihatan guru membuatku sukses tertidur untuk beberapa jam. Walau sesekali teman sebangkuku memberi kode keras bila guru mulai berjalan keliling memeriksa kami satu per satu. Akibatnya aku menderita memar di sekujur pahaku akibat cubitan yang keras.
“Bagaimana ini? Bagaimana? Aku belum memikirkan apa pun untuk menjawab pertanyaan Safir,” Tifa riuh mondar-mandir di depan mejaku. Kamu tak perlu meikirkan apa pun. Kamu hanya cukup berdesis saja.
“Aamiin ...,” ujar Pito yang baru selesai berdoa sehabis salat. Pakaian sekolahnya ia ganti dengan baju koko, peci, dan mengenakan sarung. Dengan tampang sok alim dan sok berwibawa ia berkata, “Kita hanya perlu berdoa dan menyerahkan pada yang di atas.”
“Mau tidak mau, kita harus menghadapinya. Meskipun tanpa ada jawabannya,” ujar Eru. Aku tak ingin berkomentar tentang ini.