Costa Blanca

Kharizma ahmada
Chapter #2

IL RITORNO

Lugano, Swiss

Grazia mencoba menenangkan dirinya. Ia masih tidak menyangka ada hampir 100 orang menantinya untuk tampil di salah satu Toko Buku terbesar di kota dengan penutur bahasa Italia terbesar di Swiss tersebut. Ia tidak menyangka jumlah orang yang menantinya hingga sebanyak itu. Ia bahkan memperkirakan yang hadir tidak akan lebih dari 30 orang. Mengingat, ini adalah pertama kalinya ia diundang untuk mempromosikan bukunya yang berjudul “Era Sopravissuto” - Buku memoar yang mengisahkan hidupnya selama terjebak dalam Perang Sipil di negara Amerika Tengah bernama Costa Blanca beberapa tahun yang lalu- di luar Italia dengan pembaca yang tidak seluruhnya penutur bahasa Italia. Terlihat beberapa orang yang asyik berbicara dengan bahasa Jerman dan Perancis, yang kelihatannya tertarik dengan kisah Grazia, dan jika mujur bukan tidak mungkin, bukunya juga akan diterjemahkan dalam kedua bahasa tersebut.

“Apa yang kau tunggu? Kenapa kau masih terdiam disini.” Seorang wanita tua berambut putih  panjang, merasa kaget dengan Grazia yang masih terdiam di salah satu sudut ruangan toko buku, yang disulap menjadi ruang transit dirinya sebelum memberikan sambutan dan penandatangan buku.

“Mama, kau tidak bilang padaku kalau yang akan hadir ada sebanyak ini.” Grazia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

Di cosa ti stai occupando? Te lo sei già detto[1].” Wanita tersebut kembali mengingatkan Grazia bahwa beberpa hari yang lalu, ia dan pihak penerbit sudah memberitahunya bahwa akan ada banyak orang yang hadir pada peluncuran bukunya di kota Lugano tersebut. Wanita yang mengajak Grazia bicara tersebut adalah Ibu dari Grazia yang juga merangkap manajernya, Immaculata Battaglia. Wanita yang bukan hanya sangat berjasa dalam membantu Grazia menuliskan seluruh pengalaman buruknya dalam perang menjadi memoir, tetapi juga membantunya dalam melewati fase-fase berat dalam hidupnya ketika menghadapi trauma berat pasca kembali ke Italia beberapa tahun yang lalu.

“Ya aku tidak menyangka sebanyak ini.” Grazia tidak bisa menyembunyikan rasa groginya, apalagi ia akan memberikan ulasan di toko buku yang cukup besar, yang sedikit mengingatkannya dengan toko buku milik Tom Hanks di film Youve Got Mail.

“Ayolah, kau sudah pernah mempromosikan bukumu di toko buku yang lebih besar dari ini, di Roma dan Milan. Tidak akan ada bedanya.” Immaculata kembali menguatkan mental Grazia. Ia kemudian menggenggam tangan Grazia dan berkata kepadanya sembari menatap matanya, bahwa ia bisa melalui ini.

Si Mama.” Grazia akhirnya bisa sedikit menguatkan mentalnya dan kemudian segera menghampiri moderator dari acara tersebut, usai namanya disebut.

Kendati sempat merasa gugup, Grazia akhirnya berhasil mengatasi demam panggungnya. Ia berbicara dengan lancar dalam menceritakan kisah pengalaman buruknya di Costa Blanca, yang jika ia ingat hari ini, tentu rasanya sangat menyakitkan. Ia bercerita bagaimana awalnya ia berada di Costa Blanca sebagai relawan medis di satu desa terpencil di negara Amerika Tengah tersebut, semua berjalan lancar hingga akhirnya perang saudara meletus di negara tersebut pada tahun 2014. Ketika perang meletus, ia bersama dengan dua orang temannya sebenarnya hendak dipulangkan kembali ke negara masing-masing, buruknya infrastruktur serta matinya seluruh akses komunikasi di negara tersebut, membuatnya terjebak selama beberapa bulan, sebelum akhirnya dipindahkan ke kamp pengungsi di dekat Kosta Rika dan kemudian dipulangkan. Rasa trauma akibat peperangan membuatnya hampir sulit untuk mengintegrasikan dirinya kembali di masyarakat selama beberapa tahun. Ia bahkan tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya sebagai dokter di salah satu klinik di kota Milan. Hingga akhirnya ia mengundurkan diri dan memilih mencari cara untuk menyembuhkan trauma dirinya. Pada akhirnya, dengan bantuan ibunya, ia memutuskan untuk menuliskan seluruh kisah hidupnya selama terjebak perang di negara tersebut dalam sebuah memoar.

“Awalnya aku menuliskan ini hanya untuk melawan rasa traumaku. Tapi kini, aku yakin kalau aku memutuskan untuk menuliskan ini semua bukan hanya untuk itu.” Ucap Grazia sambil kembali menatap audiensinya untuk memberanikan diri melanjutkan ucapannya. “Aku yakin, kalau aku juga menuliskan ini semua, untuk menceritakan pada anda semua, bahwa perang adalah sesuatu yang buruk dan memberikan trauma kepada siapapun yang mengalaminya. Karena itu, walau ini terdengar naif, tetapi aku ingin agar setiap politisi yang memiliki ambisi untuk kekuasaan, agar tidak menumbalkan warganya sendiri dalam peperangan yang hanya akan menguntungkan segelintir orang, tapi membuat warga sipil menderita akibat ambisi mereka.”

Ucapan Grazia tersebut sontak mendapatkan tepuk tangan dari orang-orang yang hadir di toko buku tersebut, Beberapa bahkan sampai berdiri untuk memberikan apresiasi atas ucapan Grazia tersebut. Grazia kemudian mengakhiri sesi promosi tersebut dengan menyatakan bahwa sebagian dari hasil penjualan buku akan disumbangkan ke sebuah lembaga amal di Italia, yang menyalurkan bantuan kepada anak-anak dan wanita korban perang di seluruh dunia. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan penandatanganan buku.

Setelah semua sesi tersebut usai. Seorang Pria berkacamata berambut hitam dengan setelan jas hitam, kemeja putih dan dasi biru, mendatangi dirinya. Pria tersebut adalah Arturo Conti. Salah satu staf dari penerbit buku yang menerbitkan buku memoar Grazia. Arturo mendatangi Grazia bersama dengan seorang pria tua berambut putih, yang wajahnya sedikit mengingatkan Grazia dengan mantan pelatih sepakbola, Marcello Lippi.

“Grazia, complimenti.” Arturo menyalami Grazia dengan senyum sumringah. “Acara berjalan dengan lancar. Buku kita terjual cukup banyak dan rata-rata tanggapan yang kita terima cukup positif.”

“Ya, Arturo. Ini semua adalah kerja dari kita semua. Terima kasih atas usahamu yang tidak kenal lelah untuk meyakinkan atasanmu agar mau menerbitkan buku memoarku.” Grazia membalas pujian Arturo dengan memuji balik editornya tersebut.

“Oh ya perkenalkan. Ini adalah Monsieur Ludovic Grenier, dari penerbit Le Façon yang berbasis di Geneva. Monsieur Grenier tertarik untuk mempelajari lebih lanjut bukumu dan jika mungkin, ia akan menerjemahkan buku tersebut dalam bahasa Perancis. “

Grazia kemudian menyalami Monsieur Grenier untuk memperkenalkan diri, dan begitu juga sebaliknya. Monsieur Grenier mengaku bahwa ia sangat kagum dengan kisah Grazia di dalam buku “Era Sopravissuto” dan ia merasa memiliki ketertarikan untuk menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Perancis. Grazia pun menyambut baik rencana tersebut dan mengaku tidak sabar melihat bukunya bisa diterbitkan dalam bahasa Perancis. Ia berharap ini akan menjadi jalan untuk bukunya bisa dibaca oleh orang-orang di luar Italia dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan juga bahasa lainnya.

“Baiklah, Mademoiselle Battaglia. Untuk proses akuisisi, kami akan segera mengabarimu secepatnya.” Ucap monsieur Grenier yang kemudian pamit dan meninggalkan Grazia.

“Selamat Grazia, semoga ini bisa menjadi awal dari kesuksesanmu.” Arturo kembali berbicara dengan Grazia, sebelum ikut meninggalkannya juga, yang mana sebelum Arturo pergi, Grazia sempat membalas ucapannya dengan kata bahwa dirinya tidak berharap bisa menjadi penulis sukses, yang mana ia berharap penulisan buku ini bisa membantunya menghilangkan trauma dan menggiatkan sikap anti-perang kepada masyarakat di seluruh dunia.

Arturo kemudian menghilang dari pandangan Grazia dan Grazia yang merasa haus kemudian memutuskan untuk mengambil minuman. Ia kemudian mengambil segelas air putih dan meminumnya hingga gelas yang sebelumnya penuh dengan air, menjadi hanya setengah gelas yang berair. Tidak lama kemudian, Immaculata memanggilnya. Grazia kemudian menoleh dan melihat ibunya kali ini berjalan dengan seorang wanita paruh baya berambut coklat sebahu. Wanita yang cukup ia kenal baik dan sudah lama dirinya tidak berjumpa dengan wanita tersebut.

“Grazia, lihat siapa yang datang menemuimu.” Ucap Immaculata yang membuat perasaan Grazia senang, karena bisa berjumpa dengan kawan lama dan juga mantan atasannya di Costa Blanca dahulu, Catalina.

Ay dios mio, Cata.” Grazia langsung bergerak menyambut Catalina dan memeluknya. Keduanya nampak Bahagia bisa berjumpa kembali setelah sekian lama. “Kenapa kau tidak bilang padaku sebelumnya kalau kau akan kemari?”

“Kau tahu, aku lebih senang untuk membuat kejutan.” Ucap Cata sambil melepaskan pelukan Grazia dan kemudian mengucapkan selamat kepada Grazia atas bukunya.

Lihat selengkapnya