Desa Kabekwa, 2013
Mobil Jeep putih dengan gambar matahari yang tertutup garis merah, yang merupakan logo dari LSM Red Line berhenti di sebuah rumah berlantai satu yang ukurannya tidak terlalu luas dengan tembok bebatuan dan tanpa cat. Sebuah rumah yang mungkin terlihat biasa saja bagi Grazia mengingat desainnya yang generik dan jauh dari kesan mewah. Akan tetapi bangunan ini masih terlihat jauh lebih baik dari rumah-rumah yang dilihat Grazia di desa ini. di depan rumah tersebut, seorang wanita sudah berdiri siap menyambut tiga orang yang berada dalam mobil jeep. Grazia yang sepanjang perjalanan tertidur pulas sepanjang lima jam perjalanan dari ibukota Santa Patricia, akhirnya terbangun ketika memasuki wilayah pinggiran di provinsi Arteta, yang mana jalannya cukup buruk dan benar-benar membuat Grazia sulit untuk tidur kembali. Apalagi sejak meninggalkan kota Navalidad, mereka juga harus melewati sebuah bukit untuk tiba di desa Kabekwa.
“Jadi ini lokasi tujuan kita? Tidak Nampak seperti kantor operasional LSM Red Line.” komentar Grazia sembari melihat bangunan tersebut, yang mana bukti itu kantor Red Line hanya ditunjukkan oleh sebuah papan berukuran 4x4 cm yang ditancapkan di sebuah kayu.
“Percayalah nona, walau itu tidak semegah bangunan di negaramu, namun ini adalah yang terbaik di desa ini.” Respon si supir yang tatapannya meminta tiga penumpangnya agar segera turun, agar ia bisa beristirahat setelah perjalanan jauh.
Grazia kemudian segera turun Bersama dua temannya, yang merupakan satu pria dan satu Wanita. Si pria sendiri sepanjang perjalanan lebih memilih asyik berbicara dengan si pengemudi sembari meminta si pengemudi membaca buku El Diario De Motocicleta yang ditulis oleh idola dari si pria, Che Ernesto Guevara. Adapun si Wanita kelihatannya merasa bosan dengan jalanan dan lebih memilih tidur diiringi musik dari ponselnya.
“Bienvenidos en pueblo de Kabekwa[1].” Suara seorang wanita hispanik berkulit putih dengan rambut panjang kecoklatan, tiba-tiba bergema menyambut tiga orang dokter sukarelawan muda yang baru saja tiba di negara ini.
Wanita tersebut kemudian memperkenalkan namanya yaitu Catalina Tuchel. Seorang Wanita asal Venezuela yang sudah beberapa tahun tinggal di Miami yang merupakan kordinator proyek sukarelawan di tempat tersebut dan akan menjadi pengawas Grazia dan kedua teman barunya. Usai memperkenalkan dirinya, ia kemudian memperkenalkan staf satu-satunya yang juga orang yang menjemput mereka dari Santa Patricia, yaitu seorang pria kulit hitam berusia 30-an, Demont Yorke, pria asal Kosta Rika, yang lahir dari pasangan imigran asal Jamaika dan bekerja sebagai staf Red Line di Costa Blanca, sejak beberapa tahun yang lalu. Demont sendiri pekerjaannya disini bukan hanya pengemudi, tapi juga bertanggung jawab pada seluruh urusan non-medis seperti distribusi obat, pengantaran dokumen dan perawatan kantor.
Usai memperkenalkan diri dan Demont, Kali ini giliran Grazia dan dua kawannya yang memperkenalkan diri. Si pria yang paling pertama memperkenalkan diri, yaitu Pedro Villarraigosa, pemuda asal Puerto Riko dan menjelaskan alasannya datang ke Costa Blanca karena ingin menolong mereka yang kesulitan akses Kesehatan. Usai Pedro, giliran Grazia yang memperkenalkan dirinya dan bercerita bahwa dirinya datang ke tempat tersebut karena ingin melihat dunia yang berbeda dari negaranya, Italia. Terakhir, si Wanita memperkenalkan dirinya sebagai Parvaneh Norani, Wanita asal Inggris keturunan Afghanistan. Wanita tersebut memilih alasan yang sama dengan Grazia Ketika ditanya mengapa datang ke Costa Blanca. Entah karena memang kebetulan atau dia hanya malas mencari alasan lain. Parvaneh juga bercerita dengan Bahasa campuran Spanyol dan Inggris karena Bahasa Spanyolnya masih jauh dari fasih.
“Aku penasaran, bagaimana kalian bisa bekerja hanya berdua saja di tempat yang sangat sulit diakses ini?” Parvaneh bertanya penasaran kepada Catalina usai memperkenalkan dirinya.
“Sejujurnya, kami sangat kerepotan. Karena itu aku berharap kalian bertiga bisa membantu kami disini.” Jawab Catalina singkat sambil tersenyum manis.
Catalina sendiri tidak ingin memperpanjang diskusi dan segera mempersilahkan ketiga orang sukarelawan organisasinya untuk masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah yang sebelumnya adalah rumah dari salah satu pejabat desa tersebut dan disewa oleh Red Line, sudah disulap menjadi tempat praktek di bagian depan, sedangkan bagian belakangnya tetap berfungsi sebagai rumah tempat tinggal. Catalina kemudian menjelaskan bahwa di rumah tersebut terdapat tiga kamar yang tidak terlalu luas, dimana dirinya tidur seorang diri di dalam kamar yang juga merangkap sebagai ruang kerjanya. Lalu ada kamar Demont yang sekarang juga akan ditempati Pedro, sementara Grazia dan Parvaneh harus berbagi kamar. Grazia sendiri tidak mempermasalahkan harus berbagi kamar dengan Parvaneh dalam kamar kecil yang tidak memiliki ranjang, dan hanya ada dua buah kasur tanpa dipan, yang kelihatannya memang sudah disediakan bagi keduanya.
Kondisi yang saat ini akan dialami Grazia seakan berkebalikan dengan kondisi hidupnya selama ini. Lahir di kota Milan dari pasangan kelas menengah keatas bernama Gianmarco dan Immaculata Battaglia. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan Pasta Gigi asal Jerman, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Grazia menghabiskan masa kecilnya di Meksiko, karena ayahnya ditugaskan menjadi Manajer Pemasaran di negara tersebut, sebelum kembali ke Milan pada saat SMA. Lulus SMA, Grazia memutuskan mengambil sekolah kedokteran di Universitas Wurzburg, Jerman, karena bantuan beasiswa dari perusahaan ayahnya. Alasan Grazia ingin menjadi dokter sebenarnya cukup sederhana, yaitu karena ia tidak menemukan jurusan kuliah lain yang dianggapnya menarik di Jerman selain kedokteran dan ia memang ingin kuliah di Jerman, karena sejak kecil, ia ingin merasakan tinggal di negara itu. Lama tinggal di luar Italia, membuat Grazia fasih berbicara dalam empat bahasa, yaitu Italia, Spanyol, Inggris dan Jerman.
Lulus dari Wurzburg, ia sempat bekerja sebentar di sebuah klinik di Jerman, sebelum kembali ke Milan dan bekerja di salah satu rumah sakit disana. Akan tetapi, rasa jenuh bekerja di rumah sakit kemudian membuatnya melamar program Doctor Serve The World, program sukarelawan untuk para dokter dari negara maju dan berkembang untuk mengabdi di negara-negara dunia ketiga yang diselenggarakan LSM Red Line. Red Line sendiri adalah LSM yang bergerak di bidang medis dan didirikan di kota San Fransisco, AS oleh dua Warga Negara Amerika Serikat yaitu Ju-Xiang Zhang dan Fethullah Berkay pada tahun 1996. Selama ini, Red Line sudah berhasil mengirim banyak dokter ke daerah terpencil dan konflik. Dari enam negara yang tersedia dalam program tersebut, Grazia akhirnya memilih Costa Blanca. Tidak ada alasan khusus mengapa Grazia memilih Costa Blanca. Hal itu karena dari enam negara yang tersedia, Costa Blanca adalah satu-satunya negara yang menawarkan pantai indah laut Karibia. Sudah cukup lama ia ingin menikmati hidup di Kepulauan Karibia, sehingga ia berpikir mungkin bisa mencuri waktu dísela kegiatan sukarelawannya, untuk mengunjungi pantai-pantai indah tersebut, walau setelah tiba di Kabekwa, ia sadar kelihatannya keinginannya tersebut sangat sulit diwujudkan. Usai terpilih, ia pun tidak bisa langsung berangkat, karena kedua orang tuanya tidak setuju ia pergi ke negara antah berantah di Amerika Tengah. Apalagi setelah mereka mencari tahu, negara Costa Blanca bukan dikenal sebagai negara yang ramah dan aman untuk turis, apalagi disana baru saja terjadi kisruh politik. Akan tetapi keinginan kuat Grazia untuk melihat dunia dan mengasingkan diri beberapa saat dari kehidupan kota besar di Milan membuatnya tetap bersikukuh untuk berangkat kesana. Pada akhirnya, kedua orang tuanya terpaksa mengalah pada keinginan putri tunggal mereka, dengan syarat, ia harus mengirimkan surat minimal setiap dua minggu sekali. Persyaratan yang akhirnya disetujui Grazia.
Sementara itu, usai Grazia dan lainnya melihat rumah yang akan mereka diami, Catalina kemudian menjelaskan bahwa aliran listrik di desa Kabekwa sangat terbatas, sehingga setiap malam desa ini akan gelap gulita, karena listrik dimatikan, sehingga ada baiknya jika di malam hari, Grazia dan lainnya tidak berkeliaran diluar rumah yang disulap menjadi tempat tinggal dan praktik serta kantor LSM Red Line tersebut. Akan tetapi, untuk tempat yang biasa disebut La Sede tersebut, stok listrik tidak terganggu karena mereka memakai genset. Catalina tidak lupa mengingatkan bahwa di tempat ini tidak ada jaringan internet, sehingga ia meminta ketiga orang dokter sukarelawan tersebut untuk tidak mencoba mengunggah apapun di sosial media selama berada di desa ini. Hal tersebut juga membuatnya harus mengirimkan setiap laporan bulanan kegiatan di tempat ini melalui kantor pos di kota Navalidad, yang jaraknya sekitar dua jam dari desa ini, namun infrastruktur dan jalanan yang buruk kadang bisa membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari itu.
“Apakah kalian tidak memiliki telpon satelit?” Pedro bertanya kepada Catalina.
“Aku sudah mencoba mengajukan sejak setahun yang lalu, tapi mereka belum bisa memberikan. Mereka bilang akan segera dianggarkan.” jawab Catalina sambil tersenyum.
“Jadi maksudmu, satu-satunya sarana kami berkomunikasi dengan dunia luar hanya melalui surat?” Grazia nampak tidak percaya hingga dahinya mengerut.
“Ya begitulah, kita hanya bisa berharap semoga tidak ada peperangan atau bencana alam di tempat ini, karena kondisi itu akan benar-benar menyulitkan kita.” Grazia dan lainnya tidak paham apakah Catalina sedang bercanda atau curhat terkait nasibnya selama ini, namun yang pasti ia terus meyakinkan dirinya bahwa pilihannya untuk tetap berangkat ke Costa Blanca bukanlah sesuatu yang salah.
“Ya, aku pikir itu tidak masalah. Kau tahu permasalahan dengan generasi milenial? mereka terlalu asyik dengan dunia maya sampai melupakan bagaimana indahnya melihat dunia nyata.” Pedro kali ini berusaha untuk menghibur Grazia dan Parvaneh agar tidak merasa kecewa.
“Oh ya, ucapanmu terdengar seperti orang tua yang kesal karena anaknya menghabiskan waktunya bermain sosial media padahal ketika dikenalkan dengan Sosial media, mereka jauh lebih sering menghabiskan waktunya disana dibandingkan dengan anaknya.” Grazia mencemooh Pedro yang dianggap bersikap layaknya generasi Baby Boomer.
“Aku tidak mengerti ucapanmu wanita Italia, tapi yang pasti aku memang tidak pernah memiliki akun sosial media.” jawab Pedro yang membuat Grazia dan Parvaneh terkejut.
“Apa kau serius?” Tanya Parvaneh dengan wajah terkejut dan tidak percaya, seperti ketika ia menonton film dokumenter kehidupan di Afghanistan pada tahun 1960-an yang sangat kontras dengan apa yang ia lihat dari negara leluhurnya itu, pada saat ini, dan pertanyaan itu dijawab dengan anggukan oleh Pedro.
“Baiklah, walau diawal kalian mungkin akan sedikit tersiksa, tapi aku percaya lama-lama kalian akan terbiasa dengan kondisi desa ini.” ucap Catalina yang memutuskan memotong obrolan ketiganya agar ia segera bisa mengerjakan kembali pekerjaannya dan ketiga sukarelawan barunya bisa beristirahat dulu hari ini.