Wendy kemudian berbisik-bisik pada Yulia. "Yulia, coba kau lihat kearah rumah itu. Apakah ada orang atau tidak?" Yulia kemudian menelaah keadaan rumah tersebut, setelah beberapa saat ia lalu berkesimpulan.
"Aku rasa ada orang disana. Di kamar terlihat ada siluet orang. Memangnya kenapa Wendy?" tanya Yulia penasaran. Wendy tidak menjawab. Dia terdiam sesaat.
"Aku punya teman yang tinggal disana. Tapi belakangan ini dia jarang sekolah dan terlihat seperti disiksa. Aku ingin bertanya apa yang terjadi padanya, tapi dia terlihat tidak ingin terbuka soal itu," Wendy menjelaskan dengan raut sedih.
"Ah, kalau melihat dari kondisi rumahnya, menurutku sepertinya harus dilaporkan ke polisi. Rumahnya saja sudah cukup memprihatikan untuk kondisi rumah yang ditinggali," jelas Yulia khawatir.
"Memangnya dia tinggal dengan siapa Wendy?" tambah Yulia penasaran.
"Setahuku setelah ayahnya pergi, dia tinggal sendiri dengan Ibunya. Tapi aku tidak yakin, karena ada beberapa orang asing yang sering keluar masuk rumahnya sekarang," jelas Wendy penuh khawatir. Yulia tak bisa berkata apa-apa.
Dia tak bisa berbuat apapun, karena pada dasarnya itu adalah masalah keluarga orang lain. Sebelum ada bukti dan keinginan korban untuk melapor, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Wendy melanjutkan perjalanan, mengarahkan laju sepeda kearah jembatan sungai. Penghubung jalan utama dan jalan desa. Yulia dibuat kagum dengan pemandangan sungai yang ia lihat dari ketinggian jembatan.
Mereka lalu sampai ke jalan pedesaan yang dihiasi hutan hijau. Hutan itu sendiri tidak terlalu rimbun, namun dengan mendengar kicauan burung yang ramai memenuhi jalan, bisa disimpulkan bahwa hutan tersebut masih asri dan terawat. Yulia terkesima dengan pemandangan dan suasana tersebut. Namun Yulia tersadar, betapa jauhnya mereka berdua telah bersepeda sekarang.
"Eh Wendy, kita ada dimana sekarang? Kamu sudah sering kemari?" Tanya Yulia sedikit khawatir, merasa waspada dengan tempat baru itu. Wendy menjelaskan kalau dia selalu melewati jalan ini bersama Bocai. Jalan yang biasa mereka lewati saat ingin mendistribusikan panen Bocai ke desa terdekat. Yulia mengangguk lega. Rasa khawatir itu menghilang.
Sekarang Yulia melihat pemandangan hamparan sawah dan pemukiman desa. Terlihat beberapa anak-anak di desa bermain ria di saluran air persawahan. Wendy masih tidak berhenti mengayuh sepeda. Dia mengarahkan laju sepeda ke sebuah jalan aspal tua menurun di bawah bukit. Di jalan tersebut, Yulia melihat dari kajauhan mata yaitu sebuah ... gua?
"Woah~" Yulia terkejut atas pemandangan yang ada dihadapannya.
"Aku dan Bocai selalu pergi kesini kalau bosan Yulia. Kadang kalau sedang kurang adrenalin kami sering uji nyali juga saat malam disini," Wendy menjelaskan sembari memberhentikan gayuhannya.
"Aku tidak akan pernah tahu soal tempat ini kalau bukan karena kau Wendy," kata Yulia pada Wendy atas pemandangan dihadapannya itu.
Di antara pepohonan rindang, di atas jalan aspal tua itu terdapat jalan terowongan dengan panjang ±7 meter, tinggi dan lebar 5 meter. Dalam gelapnya terowongan itu, terdapat begitu banyak coretan dan lampu neon berwarna-warni yang bercahaya.
Yulia dan Wendy masuk menyusuri terowongan tua. Beberapa tulisan aksara mandarin terlihat tertulis di dinding. Bercahaya dengan warna-warni neon dalam gelap, menunjukkan nuansa khas didalamnya. Yulia terperangah.
"Aku tidak menyangka bakal melihat hal indah di tempat yang seperti ini. Kalau saja bukan karena kau Wendy," ungkap Yulia dengan nada tulus. Wendy cuma tersenyum bangga mendengarnya. "Ini bukan apa-apa kau tahu. Kalau bukan karena coretan anak kecil dan lampu neon disini, pasti kau pasti akan merasa tempat ini menyeramkan," Wendy menyanggah. Yulia lalu membalas.
"Kalaupun tidak ada hiasan, maka memori yang ada didalamnya lah yang menghiasi tempat ini, Wendy."
Wendy tertegun mendengar itu, tercerahkan dengan perkataan Yulia, dia pun berpikir untuk mengenalkan Yulia dengan teman-temannya yang lain. Dengan keinginan untuk membuat memori yang indah dengan Yulia. Karena dia..., juga tidak tahu sampai kapan dia dapat lebih lama 'disini'. Wendy berseru. "Kalau gitu, kita tambah memori kita bersama disini! Ku yakin kau juga bosan kan? Apalagi dengan pertemanan yang kecil dikelas yang sok elit itu."
Yulia terkejut, namun ia tak mampu menyangkal apa yang Wendy katakan itu. "Yah, itu bukan hal yang buruk kok. Aku janji, pasti ... akan ada banyak memori indah yang bisa kita ciptakan. Tapi aku rasa itu akan terjadi kalau aku tidak dibully ...."
Yulia berusaha memberitahu Wendy akan fakta itu. Dengan wajah palsu yang sebenarnya sedih, Yulia berusaha meninggalkan terowongan itu. Menandakan penolakannya pada ajakan Wendy. "Oh ayolah, Yulia! Persetan dengan para pembully keroco itu. Kalau kau berkata seperti itu, kesannya mereka benar-benar mempengaruhi dirimu. Anggap mereka bukan apa-apa, dan jadilah dirimu! Nikmati apa yang bisa kau nikmati!"
Yulia terperangah dengan perkataan lantang Wendy. Tersadar akan apa yang sudah ia pikirkan. "Jalani saja dulu bersamaku, ayo!" Wendy menarik lengan Yulia dan mengajaknya untuk mengendarai sepeda lagi. Yulia dengan sedikit dorongan tadi pun menerima ajakan paksaan itu. Mereka lalu berjalan kembali, menyusuri hutan melewati daerah terowongan tadi. Wendy kemudian mengayuh sepeda itu kearah sebuah tempat dimana banyak orang berkumpul dan berbicara. Terlihat pula mereka saling bertukar uang dan barang disana.
"Pasar? Bahkan ada pasar di tengah hutan?" tanya Yulia sedikit keheranan.
Ia lalu diejek Wendy setelah mengatakan itu."Iyalah. Kan kamu jarang jalan-jalan, anak rumahan tuh makanya ga tahu yang begini ada disini." Yulia hanya manyun sembari mencubit Wendy.
"Ah aduh! Hahaha! Tersinggung malah main cubit. Lucu ih~"
Mereka pun bercanda-canda sembari menyusuri pasar tersebut. Tiba-tiba seorang bocah lelaki tinggi berambut merah cepak menyapa Wendy. Kulitnya yang natural dan wajahnya yang manis, membuat setiap orang senang akan keberadaannya.
"Hei Wendy! Kau tidak sekolah? Siapa gadis yang ada dibelakangmu itu?" tanya si bocah lelaki.
"Oh ini teman baruku dari perumahan kaya didepan rumahku. Yulia ini Loen, Loen ini Yulia," Wendy memperkenalkan mereka berdua.
Yulia dan Loen pun berkenalan, namun sedikit banyak dapat terlihat bahwa Loen tertarik dengan Yulia. "Hei kau masih tidak jawab pertanyaan pertamaku loh Wendy," cetus Loen pada Wendy. Wendy kemudian menjawabnya dengan menceritakan tentang kejadian tadi pagi. Loen tentu khawatir dan geram mendengarnya. Namun, tentu dia tak bisa berkata banyak soal itu.
Loen lalu bertanya, "Kamu anak tante si pebutik itu kan? Bukannya uang ibumu cukup untuk pindah dari kota ini?" tanya mempertimbangkan dari Loen.
Yulia tentu hendak menjawab pertanyaan itu dengan membahas sesedikit mungkin soal keluarga dan ayahnya. Namun, Wendy langsung menyela Yulia dan langsung membalas Loen dengan lantang bahwa itu urusan keluarganya Yulia, kita pada akhirnya cuma bisa bertanya-tanya dalam diam. Yulia sedikit merasa dilindungi karenanya. Namun, tiba-tiba ada seorang gadis gempal seumuran Yulia yang datang dan menghadang mereka semua.
"Stop! Perkenalkan dulu anggota baru itu, baru aku kasih lewat!" Seru polos gadis gempal itu. Loen dan Wendy terkejut. Lalu tertawa bersama, sementara Yulia sedikit heran. Berpikir bahwa gadis gempal itu mengajak berkelahi dengan mereka.
"Ini Yulia, si anak tante pebutik yang kemarin datang itu." jelas Loen pada si gadis gempal.
"Wah! Anak tante butik! Sungguh! Ayok kerumah ku sekarang! Kita makan kue buatan ku yang masih segar dari panggangan. Jangan main-main sama mereka, nanti kamu jadi jelek dan kutuan loh!" kata si gadis gempal pada Yulia tuh!" Loen merespon dengan tawa terbahak-bahak atas pertengkaran Wendy dengan si gadis gempal.
"Ih! Dasar baperan. Aku kan cuma memberitahu Yulia. Tolong omongan mereka jangan di peduliin yah, emang suka menghina kalau sudah berteman."
Si gadis gempal berkata seolah perkataannya sendiri tidak menghina. Tapi itu membuat Yulia tergelitik untuk tertawa. Mereka pun tertawa bersama di tengah hiruk-pikuk pasar yang sedang beroperasi.
"Eh! Aku belum kenalan yah. Aku Kim Bum Soo. Panggil aja Bombon!" Ujarnya semangat kearah Yulia.
"Ayok dong ke rumahku, emang beneran ada kue loh. Sumpah demi truk bapak Loen deh!" seru penuh semangat Bombon atas ajakannya itu.