⚠️ Disclaimer bahwa semua yang ada dalam Novel ini hanyalah cerita fiktif belaka. Tidak bermaksud untuk menyinggung atau menghina pihak suatu kelompok tertentu. Terdapat adegan dan perkataan kasar dalam novel ini. Dimohon kebijakan dari pembaca ⚠️
Kevin Flashback
Aku datang ke Negeri Tirai Bambu kurang lebih setahun yang lalu. Meninggalkan Korea Selatan juga bukanlah hal yang buruk ataupun baik bagiku. Kenapa begitu? Aku tidak ingin menceritakan itu sekarang. Ironisnya Ayah-Ibu ku sangat ingin pergi kesini. Karena keputusan ini 'sepenuhnya' demi kebaikan ku.
Beruntungnya aku lahir di keluarga yang kaya. Karena mungkin kami akan seperti imigran ilegal, yang hanya jadi sampah masyarakat disini. Di Negara Sosialis seperti ini, tak punya uang banyak untuk pegawai mu adalah bencana, apalagi kalau tidak punya uang untuk dirimu sendiri.
Untungnya Ayah ku tidak berpikir untuk menetap atau menjadi warga negara ini. Jadi aku tidak perlu berkutat belajar berbisnis disini. Yah, itupun jika memang aku diberi waktu untuk mempelajarinya.
Awalnya aku tidak terlalu menikmati tempat ini. Aku bahkan belum menemukan sekolah yang cocok untukku. Jadi sampai sekarang aku belum masuk ke sekolah manapun. Aku sangat cemas saat berada di kerumunan. Apalagi ditempat yang begitu berbeda seperti ini. Bahasa warga lokal yang beraneka ragam, sistem pendidikan yang berbeda kontras, dan komunikasi yang menjadi kendala bagiku untuk dilalui. Rasanya benar-benar membuatku ingin mati. Walau begitu, aku tidak terlalu merasa kesepian. Ibuku mengenalkanku kepada seseorang yang nantinya menjadi teman dekatku disini.
Dia berumur 16 tahun, empat tahun lebih tua dariku. Namun malah anehnya kami se-frekuensi. Mungkin karena dia orang yang paling fasih berbahasa Inggris yang kutemui disini. Aku biasa memanggilnya Da-gege. Haha, kalau kalian melihat wujud aslinya kalian pasti akan menertawainya. Bukan karena hal yang buruk, percayalah. Nanti kalian paham sendiri maksudnya.
Da-gege berasal dari kalangan menengah kebawah, keluarganya bisa dibilang bahagia. Hanya saja aku merasa banyak orang yang mendiskriminasi mereka. Mungkin karena mereka kaum minoritas. Da-gege sudah terbiasa untuk menahan diri dan mengabaikan orang-orang seperti itu. Namun, belakangan ini dia terus gelisah dan tak bisa diam saja.
Karena adik perempuannya sekarang sedang menjadi sasaran empuk para anggota geng motor di kota. Tidak tahu pula apa yang menyebabkannya, tapi si adik sampai tidak berani untuk keluar rumah, bahkan hanya untuk sekedar membeli jajanan.
Awalnya dia berusaha untuk menutupi masalah itu dariku. Tapi bagaimana mungkin masalah seperti ini tertutupi begitu saja? Karena sekarang para anggota geng motor itu menyerang dan menginterogasi ku soal itu. Aku tak bisa marah pada Da-gege, itu hanya akan menambah jarak diantara kami. Aku hanya ingin membantu sebisaku. Maka dari itu, saat diinterogasi di taman kota soal dimana rumah Da-gege berada, aku menjawab dengan anarkis.
"Tapi sepertinya, itu malah akan membuat Da-gege dalam masalah," ujar pilu Kevin. Yulia dan Wendy saling bertatapan mata. Merasa bahwa Yulia juga berada diposisi yang sama, membuat dorongan untuk semakin membantu Da-gege. Tapi bagaimana caranya?
Mereka cuma anak-anak remaja kelas menengah dari kalangan buruh biasa. Mau menuntut pun belum tentu menang di pengadilan. Anak-anak konglomerat seperti para bedebah sok itu sudah pasti bisa bebas dari hukum sesuka mereka.
"Aku mendapat berita dari bibiku kalau kebanyakan dari anak-anak geng motor adalah anak pejabat dan polisi. Entah bisa atau tidak hukum berpihak membela kita," kata Yulia merasa sedikit putus asa.
"Kamu juga jadi sasaran mereka, Yulia?" tanya khawatir Kevin kepada Yulia. Yulia dan Wendy saling bertatapan satu sama lain. Bingung ingin memutuskan siapa yang akan bercerita lebih dulu kepada Kevin.
Pada akhirnya Yulia menarik nafas, lalu melepaskannya untuk menguatkan diri. Hendak bercerita apa yang terjadi padanya. Wendy juga membantu Yulia bercerita sedikit, menenangkan Yulia dengan elusan dipunggungnya. Setelah mendengar cerita kronologi pembullyan yang dialami Yulia, Kevin mulai merasa bahwa level geng motor dan geng cewek nakal itu benar-benar berbahaya. Namun, seperti yang lainnya. Dia tak bisa berbuat banyak atas masalah tersebut.
Tiba-tiba Ibu Kevin memanggilnya ke dapur. Membicarakan sesuatu yang sepertinya membuat yang lain merasa canggung. "Eh, teman-teman. Bagaimana kalau kita main-main ke rumah Da-gege?" tanya Kevin dengan raut wajah tak nyaman.
"Loh? Kok tiba-tiba? Tidak bahaya tah?" tanya Bombon dengan polos tanpa bisa membaca situasi. Mereka semua dengan grasak-grusuk menyeret tubuh gempal Bombon keluar dari rumah Kevin.
"Eh? Kok main narik langsung sih? Bikin kesal saja!" jerit Bombon memberontak. "Kita itu diusir sama mamanya Kevin dasar 愚蠢的!" seru Wendy memaki.
"Eh? Betulkah itu Kevin? Kita diusir nih?" tanya Bombon lagi tanpa pakai pikir. Kevin yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa diam. Dia sesekali melirik ke jalanan didepannya yang penuh hiruk-pikuk lalu lintas dengan ekspresi khawatir dan waspada.
"Kita lewat belakang rumahku yah. Jangan berisik. Pastikan kita berjalan satu-persatu disana." instruksi Kevin kepada mereka. "Loh? Kenapa begitu-"
"Udahlah Bombon, ikut saja apa katanya," sela Loen memberhentikan mulut berisik Bombon. Bombon langsung murung setelahnya.
Setelah jalanan lengang, Kevin melewati pintu belakang rumahnya menuju ke sebuah gang. Dilanjutkan lagi dengan teman-temannya yang lain, saat ketika tidak ada kendaraan yang lewat. Mereka sengaja mengendap-endap dan perlahan seperti itu, supaya tidak diikuti anggota geng motor kerumah Da-gege. Tentu demi kebaikan semua orang.
Mereka semua berjalan kedalam gang sempit yang hanya cukup untuk dilewati seorang. Setelah berjalan cukup lama ke kedalaman gang yang terhimpit dua gedung itu, mereka akhirnya sampai ke jalan keluar. Sebuah hamparan tanah lapang dibelakang gedung pabrik menyambut mereka disana. Dari kejauhan terlihat beberapa perumahan kumuh yang berjejer dipinggir sungai. Kevin kemudian menyuruh mereka untuk berjalan di pinggiran jalan gedung menuju ke perumahan kumuh itu.
Untuk alasan yang sama lagi, yaitu untuk menghindari para anggota geng motor yang mengintai. Mereka akhirnya sampai ke bagian perumahan tersebut. Terlihat salah satu pintu sebuah rumah tercoret cat semprot bertulisan "F*ck Your Shit, Musl*m!". Yulia terbelalak bukan main seketika melihat fandalisme tak senonoh itu.
"Astaga tuhan ..." sebut Yulia mengelus dada.
"Apa-apaan ini? Ini benar perbuatan orang kota? Tidak berpendidikan sekali!" ujar geram Wendy kesal setelah menyaksikan itu. "Ini alasan kenapa aku tidak ingin mereka menemukan rumah Da-gege," Kevin terdengar sedih, bersimpati atas apa yang terjadi. Yang lain hanya bisa terdiam, bingung harus berkata apa.
"Kevin-Oppa? Apa itu kamu?" tanya seseorang dari dalam rumah tersebut.
"Mei-Syah? Apa Da-gege ada dirumah?" tanya khawatir Kevin pada seorang gadis yang berada di dalam rumah itu.
"Maaf Kevin-Oppa. Gege sedang tak dirumah. Dia masih pergi mengambil dan mengirim koran," jelas gadis itu.
"Apa Da-gege belakangan ini bersekolah?" tanya Kevin kembali, kali ini gadis tersebut menjawab dengan jeda sejenak.
"Sudah hampir satu bulan Da-gege tidak sekolah. Dia belakangan fokus bekerja ...." Jawaban itu membuat raut wajah Kevin semakin me-milu, kulit putihnya pun nampak semakin pucat.
Mengejutkannya Yulia mulai bertanya. "Dimana biasanya kakakmu mengantar koran di jam segini?" Sang gadis dengan ragu-ragu menjawab.
"Biasanya di jam segini Gege akan mengambil kembali surat kabar yang baru dari kantor surat kabar kota. Lalu akan mengirimkannya ke mall dan perumahan sekitar. Memang ada apa kak?" Yulia lalu menatap ke arah Kevin, memberikan kesempatan kepadanya untuk memutuskan. Kevin lalu berpikir sejenak.
"Baiklah Mei-Syah, Oppa permisi pamit. Kamu jaga dirimu baik-baik yah. Kalau ada perlu jangan sungkan untuk menelepon," pamit Kevin dengan lembut kepada gadis bernama Syah di dalam rumah itu. Syah hanya bisa terdiam, mendengar Kevin dan kawan-kawannya pergi menjauh.
"Kumohon ...."