Cotton Candy ✂️ dan 🎀

Yukina Gelia
Chapter #9

•Bentrokan•

Aku berjalan keluar dari bus kota. Menunjukkan aku telah sampai ke halte tujuan. Halte yang menjadi pemberhentian ku ini adalah halte yang berlokasi disekitar pertokoan kumuh . Jalannya sepi, dengan ditambah suasana langit mendung dan pencahayaan yang remang-remang, akan menjadi teman ku sore ini.

Akan ku beritahu terus terang, malam yang akan aku habiskan selalu bukan malam yang tenang. Kini, gedung terbengkalai blok C di pinggiran sungai, terdapat sekitar 15 keroco yang sedang berjaga disana. Memantau dan mengawasi harta "Hijau" milik mereka. Aku melangkahkan kakiku ke sekitar salah satu gedung disana, harta yang mereka jaga ada di gedung ini, target utama dari misiku.

Seperti yang kubilang, cuaca mendung kali ini benar-benar mendukung. Yah ..., walau sebenarnya sore hari adalah waktu yang terlalu cepat untuk melakukan misi pembunuhan. Mau apa dikata, misi adalah misi. Aku hanyalah sebuah senjata, mesin pembunuh buatan dunia.

Aku mulai menganalisa situasi korban ku, kebetulan ditempat harta di jaga, hanya ada 5 orang disana. Aku pun memulai langkah misi ini dengan merekatkan perekam ke tubuh ku, lalu aku mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam, sekaligus menganalisa bentukan ruang dari gema suara mereka. Ruangan luas, dengan banyak mesin pabrik yang berdering halus disebabkan suara mereka yang bergema didalam.

Gema suara tentu tak terdengar keluar, apalagi didengar telinga orang awam. Tapi telingaku sudah sensitif sedari lahir. Aku dapat dengan mudah mengetahui barang apa saja yang kemungkinan ada disana. Tentu kemampuan ku itu berguna untuk merencanakan taktik menyerang para korban.

Aku kemudian memasuki gedung itu. Aku menggunakan penyamaran bandar narkotika ke hadapan mereka. Dengan mudah mengelabui mereka karena postur tubuhku yang seperti laki-laki ini. Setelah info dan barang jadi telah ku terima. Kini saatnya pistol ku bersuara.

Yah ..., walau sebenarnya aku tidak suka melakukannya dengan pistol. Suara dengung dan suhu panas setelah efek menembak benar-benar membuatku tersiksa. Apalagi dengan banyaknya keributan yang tercipta, akan sangat sulit untuk menutupi kejadian perkara. Yah, tentu aku tidak ditugaskan sendiri. Ada beberapa 'pembersih' yang berjaga disisi lain sungai, memantau ketika misi ku telah usai.

Aku menembak seorang pria dengan luka sayat diwajahnya. Dia adalah leader untuk misi sore itu. Jangan bertanya mengapa aku tahu. Ketua Gengster tentu tak ingin membuang waktu ditempat kumuh seperti ini.

Aku telah menciptakan pancuran air berwarna merah di kepala pria itu. Lalu dengan cegat dan cekatan, menembaki keroco yang tersisa dengan ganas. Mereka ada yang berteriak saat itu, memberikan insting kepada rekan-rekan mereka di gedung lain untuk datang membantu, ada yang bahkan sempat mengetik sebuah nomor di telepon sebelum kehilangan nyawa. Aku tidak perduli dengan latar belakang mereka, aku harus tidak perduli.

Kemanusiaan? Tidak berlaku lagi.

Misi hampir selesai, namun aku sudah kehabisan amunisi peluru. Dan nampaknya beberapa dari mereka mengeluarkan pisau untuk menyerang. Tak masalah bagiku, beladiri atau menembak, dengan senjata atau tangan kosong, membunuh adalah membunuh, itu tugasku. Walau perutku terasa terpelintir sangking muaknya, tetap aku tak bisa membangkang.

Mirisnya walau sudah mendapatkan bantuan tambahan dari rekan mereka, hampir setengah dari mereka sudah tak bernyawa. Menyisakan kelompok orang yang bermain dengan taktik 'sembunyi' untuk ku habisi. Yeah ..., aku juga tidak bisa meremehkan mereka, orang berkemampuan normal pasti akan melakukan taktik yang sama dengan mereka saat ini. Jadi, karena sudah terpojok, akupun mengeluarkan teknik senjata terakhirku.

"Tubuhku"

.

.

.

.

.

..

"Bagaimana nih? Kelihatannya tidak aman, kalau mau lewat pasti kita bakal jadi korban!" Bombon berkata sembari menganalisa situasi di hadapan mereka. Mereka sebenarnya hendak mengambil jalan lain karena peringatan dari Arslan. Tapi terpikir juga akan lama waktu yang mereka tempuh nanti jika mencoba memutar untuk mencari jalan lain. Tapi, bahkan belum mencapai bagian jembatan pun mereka sudah dihadang sesuatu yang berbahaya. Terlihat jelas dihadapan mereka sebuah mobil yang pecah, dengan suara seperti tembakan terdengar diantara kumuhnya pertokoan terbengkalai di sekitaran jalan itu.

Para sekawan itu sekarang ketakutan setelah mendengar teriakan beberapa orang disertakan suara tembakan yang semakin jelas dan membabi buta. Mereka semua bergegas meninggalkan jalan menuju jembatan itu. Terpaksa, mengambil jalan memutar yang jauh demi menghindari konflik yang entah apalah itu sebenarnya. Sayangnya langit berkata lain, baru sebentar berjalan, mereka sudah diguyur hujan. Membuat mereka memutuskan untuk berteduh dan mengistirahatkan diri dirumah teman mereka yang paling dekat. Rumah Bocai, si Juragan Tani (calonnya).

"Gila oiii, enak banget hujan-hujanan sambil sepedaan, dinginnya menusuk!" Seru Bocai kepada teman-temannya. Wendy dan yang lainnya merespon dengan penuh tawa dan candaan saat itu. Melupakan dengan mudah apa saja yang baru mereka saksikan di pertokoan tadi. Sesampainya mereka dirumah Bocai, Ibundanya langsung menyuguhi mereka dengan teh hangat dan bubur labu kreasi rumahan ciptaannya.

Lihat selengkapnya