“Ma, berangkat, ya!” seorang gadis berkucir kuda melesat dari gerbang rumahnya. Tahun ajaran baru selalu saja mampu memompa semangatnya berkali-kali lipat. Sudah dua minggu ini ia sibuk merencanakan hal-hal apa saja yang akan dilakukannya di semester yang baru. Mulai dari ikut lomba matematika lagi—karena ia belum berhasil lolos saringan DKI tahun lalu—ikut science club yang baginya super-fun karena bisa bereksperimen sesuka hati, sampai mengajukan diri menjadi calon ketua OSIS. Yang terakhir ini adalah agenda terpentingnya.
Ia menatap gedung sekolah yang perlahan mulai muncul di ujung jalan. Jakarta Prime School atau yang lebih dikenal dengan JPS tetap berdiri angkuh seperti biasa. Jauh lebih gemerlap dibanding rumah-rumah di sekelilingnya. Sayangnya, banyak orang yang merendahkan keberadaannya. Tak jarang ia mendengar cibiran warga tentang betapa elitenya JPS, tapi tidak mampu membawa dampak untuk sekitarnya. Makanya ia ingin jadi ketua OSIS. Ia berharap dengan program-programnya nanti ia dapat memperbaiki citra JPS, sekolah yang memberi warna dalam masa-masa SMA-nya.
“Sessa!” suara seorang perempuan yang familier begitu ia memasuki lobi sekolah.
“Sini, sini!” dilihatnya Agta melambaikan tangan dari depan papan pengumuman. Melihat ekspresi sahabatnya itu, Sessa yakin mereka sekelas lagi tahun ini. Kecuali, kalau dugaannya salah dan Agta sesenang itu karena bisa sekelas dengan Lukas, gebetan barunya.
“Kita di kelas XI IPA 2, Ses,” Agta menunjukkan papan pengumuman.
“Yoza? Pisah kelas, ya?” Sessa mencari-cari nama sahabatnya yang satu orang lagi.
“Iya. Sayang banget, ya,” Agta berusaha menahan posisi berdirinya karena banyak murid mulai berdesakan untuk melihat daftar nama tersebut.
“Jangan pada sedih gitu dong, Ladies,” Yoza tiba-tiba muncul dengan senyum ala playboy yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya muntah. “Kita, kan, masih bisa ketemu kapan aja.”
“Ih, siapa, sih, yang sedih? Ge-er banget,” Sessa meninju ringan bahu Yoza.
“Atau jangan-jangan elo lagi yang bakal kesepian gara-gara nggak ada kita?” Agta menimpali saat mereka berusaha keluar dari kerumunan yang semakin menyemut.
“Iya, ngaku aja, deh, Yoz—Aduh!” kalimat Sessa terpotong akibat tubuhnya tertabrak seseorang yang menyeruak kasar ke dalam kerumunan.
Yoza dengan cepat menyambar pergelangan tangan Sessa sebelum tubuh cewek itu menyentuh tanah.
“Oi, hati-hati dong, kalau jalan!” tegur Sessa kesal, tapi laki-laki yang menabraknya sama sekali tidak menggubrisnya. Sessa bahkan yakin anak itu tidak mendengarnya.
“Udahlah, Ses. Nggak ada gunanya ngomong ama anak kayak Ezra,” Yoza mengajak kedua sahabatnya ke kelas.
“Elo kenal dia?” tanya Sessa.
“Elo nggak?” tanya Yoza, seakan ketidaktahuan Sessa adalah hal yang aneh.
“Ya, ampun, Ses. Elo, salah satu anak paling populer di sekolah nggak kenal siapa dia?” Agta menaikkan alisnya.
“Yang populer, kan, gue, bukan dia. Wajarkan kalau gue nggak tahu?” Sessa tertawa kecil, sekalipun ia risi dengan sebutan populer yang selalu saja dikenakan kepadanya. Walaupun eksis di berbagai kegiatan sekolah, tetap saja ia tidak nyaman dicap sebagai anak populer. “Emang siapa, sih, dia?”
“Ezra Setiocakka, anak yang langsung masuk blacklist dari hari pertama masuk sekolah. Bermasalah banget, deh, tuh anak,” sahut Agta.
“Bermasalah? Kok, gue nggak pernah denger?” Alis Sessa berkerut.
“Yah, nggak sampai bentak guru atau adu jotos sama murid lain, sih. Tapi, tetep aja kelakuannya yang nggak peduli ama orang dan sering bolos kelas itu bikin guru-guru gondok,” gantian kini Yoza yang menerangkan.
“Dia angkatan berapa?” tanya Sessa lagi, sudah lama ia tidak bergosip ria dengan kedua sahabatnya itu.
“Seangkatan, kok, sama kita, cuma mungkin elo nggak pernah lihat aja. Maklumlah, JPS, kan, gede banget. Dan, dia, tuh, lebih sering menyendiri. Beda banget, deh, ama elo yang doyan menclok sana menclok sini. Oh, ya, dia sepupunya Yoza, lho.”
“Serius?” mata Sessa membelalak. “Beneran, Yoz? Kok, lo nggak pernah cerita, sih?”
“Yah, elo nggak pernah nanya.”
“Itu, mah, sesuatu yang seharusnya lo ceritain tanpa perlu ditanya kali. Kita udah sahabatan berapa tahun, sih? Kok, bisa-bisanya gue nggak tahu hal sepenting itu?”
“Bukan hal penting. Agta aja, nih, yang kebanyakan gosip. Udah ah, ngapain, sih, bahas sepupu gue yang nggak jelas itu? Mending cerita-cerita soal liburan. Gimana liburan lo berdua?” Yoza berusaha mengubah topik.
“Liburan gue? Asyik bangetlah!” Agta langsung bersemangat. “Akhirnya, gue bisa juga datangin tempat kelahiran Suju! Nanti, deh, gue kasih lihat lo foto-fotonya.”
“Sebenernya, sih, gue nggak butuh foto-foto, paling juga isinya elo semua, kan? Yang penting, mah, oleh-olehnya aja,” tagih Yoza.
“Oleh-oleh dari lo sendiri mana, nih, Yoz?” gantian kini Sessa yang angkat suara. “Elo jadi ke rumah oma lo di Palembang, kan?”
“Nah, itu dia. Kemarin ini gue udah beliin lo berdua pempek Palembang. Tapi, pas gue nyampe Jakarta lagi, lo belum pulang, Ta. Terus elo juga lagi pergi, Ses. Jadinya, ya …, gue makan sendiri, deh, pempeknya. Daripada rusak, kan, mubazir,” Yoza nyengir kuda. Jujur saja, sebenarnya ia lupa membelikan oleh-oleh untuk kedua sahabatnya itu.
“Huuuu …. Bisa aja ngelesnya!” Sessa menoyor Yoza, ia tahu banget gaya sahabatnya yang satu ini kalau lagi nyari alasan. “Gue, kan, cuma pergi sehari, elo harusnya bisa telepon gue lagi besoknya. Lagian, kenapa lo nggak titipin aja di rumah gue?”
“Haha …. Jangan gitu, dong. Sori, deh, nanti kapan-kapan kalau gue jalan-jalan lagi, gue beliin, deh,” Yoza menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Eh, elo sendiri gimana? Jadi liburan ke panti asuhan punya om lo?”
Sessa mengangguk, seulas senyum puas terukir di wajahnya. “Rumah Merdeka. Kalian mesti coba ke sana kapan-kapan. Dijamin nggak bakal nyesel, deh.”
Agta bergidik, “Apa, sih, enaknya main sama anak-anak begituan?”
“Kalau belum nyobain sendiri emang nggak bakal ngerti asyiknya. Tapi, begitu lo ketemu langsung dengan mereka, lo pasti ketagihan. Soalnya, ngelakuin sesuatu buat mereka, tuh, efeknya ke sini, nih,” Sessa menunjuk hatinya. “Nggak ada, deh, yang ngalahin hal-hal macam gini, bahkan uang sekalipun.”
Yoza mengangguk-angguk mendengar idealisme Sessa. Nggak heran, sih, kalau Sessa bicara seperti ini, sahabatnya itu memang aktivis sejati. Buktinya aja, nggak pernah satu hari pun ia lewati tanpa kegiatan di luar pelajaran sekolah. Entah itu kegiatan OSIS, olahraga, ataupun sains club. Sessa memang nggak pernah bisa diam.
“Jadi, elo sama sekali nggak nyesel, nih, nggak jadi ke Raja Ampat bareng Sedna?” Yoza ingat betapa kecewanya Sessa saat orangtua Sessa melarangnya ikut sang sepupu ke Pulau Surga itu.
“Sayang juga, sih, soalnya gue udah sampai mimpi-mimpi diving di Pulau Kri, foto-foto di Waigeo, tapi, yah, mau gimana lagi. Tapi, gue bersyukur, kok, bisa dapet sesuatu yang nggak kalah seru dari backpacking bareng Sedna.”
“Bener-bener, deh, ya, Ses. Gue masih nggak bisa ngerti selera have fun lo,” Agta geleng-geleng kepala. “Ya, backpacking-lah, kegiatan sosiallah, apanya yang liburan kalau jadi rempong gitu?”
Sessa tertawa mendengarnya. “Yah, namanya aja selera. Pasti beda-bedalah. Gue, sih, nggak bakal betah kalau disuruh duduk di bus seharian sambil dengerin tour guide cerita panjang lebar tentang sejarah, atau window shopping di Dong Dae Mun. Rasanya bukan gue banget.”