Terengah.
Derap langkah menggema dipantul dua dinding berjarak satu meter. Pemilik kaki berlari menyusuri lorong gelap. Tangan kanan mencengkram pinggul kiri, menahan rembes cairan merah yang menodai kemeja. Material bening milik langit menemani setiap langkah, bantu menyamarkan noda merah yang bertengger di pelipis kiri.
Setitik cahaya menginterupsi. Matanya membeliak. Tidak mungkin, atap gedung sebagai sumber cahaya itu terpaut lima kilometer jaraknya. Bahkan Sniper handal pun bisa meleset jika target berada dalam ruang redup cahaya.
Optimis, ia terus berlari. Dua meter hingga keluar dari lorong, berbelok di tikungan, maka dirinya lepas dari sasaran bidik.
'Tzing'
Sontak dirinya rubuh. Satu meter menuju gang kecil. Merayap tidak membantu, betisnya terlanjur dihunjam peluru musuh. Meleset?
Alat komunikasi tiada lagi yang tersisa. Ia bertanya-tanya akankah bala bantuan datang atau tidak, namun yang pasti dirinya tidak akan berakhir di sini.
Matanya melirik tajam ke atap gedung arah jam dua belas. Setitik cahaya itu hilang. Ia segera beranjak, bertahan dengan satu kaki dan menyeret langkah. Pada sekon berikutnya, kedua mata membelakak. Sebuah peluru sukses bersarang di atas dada. Berasal dari sebuah siluet yang berdiri di antara dua gedung, satu meter dari lokasi injaknya. Rintik hujan telah menjadi saksi atas insiden krusial itu.
Yang diketahuinya pasti, meski pAndangannya mengabur, ia tidak akan mati.
Suara langkah mengisi lorong sunyi, ditemani dentuman peluru air yang kian deras menikam luka.
-0-
Ia memijat kepala, pening. Sengaja tak buka mata karena tahu semuanya akan berbayang. Hidungnya mengendus aroma asing—yakin tidak berada di rumah sakit. Ganti memijat mata, ia lalu melihat dunia. Langit-langit dengan sebuah lampu silinder yang sengaja dipatri agar menerangi ruang kepala. Menoleh ke lain arah, ia dapati bilik kosong berminim perabot. Hanya ada lemari di sudut dinding dan pintu yang nyaris tertutup. Di samping ranjang terdapat sebuah meja. Ia bisa melihat sebuah pistol-miliknya, beserta satu stel pakaian formal.
Pundaknya menggigil dihempas udara. Matanya melirik ke arah AC yang menyala. Ketika sadar penuh, tubuhnya tidak mengenakan garmen. Kulitnya dibungkus oleh lilitan kain yang melingkari dada hingga abdomen. Hendak menarik selimut, ia dapati kaki kanannya bernasib sama.
Seingatnya ini bukan rumah yang dikenal. Baik komponen ruangan maupun aroma yang terendus oleh indera penciuman, sama sekali tidak familiar. Dugaannya meramal tempat ini akan jadi objek baru yang mungkin akan disinggahinya lagi. Mungkin.
"Oh, Anda sudah sadar, ya?"
Tangannya refleks menyambar pistol di atas meja, di arahkan ke sumber suara di ambang pintu. Dalam hati mengutuk diri, bagaimana mungkin ia bisa lengah, tak menangkap aura kehadiran sedikit pun dari seseorang yang kini berjalan santai ke arahnya.
Sosoknya mendeskripsikan wanita muda, dengan rambut panjang bergelombang dilengkapi setelan santai a la gadis rumahan. Kedua tangannya diangkat sembari menyunggingkan senyum tipis. "Tuan seorang polisi, ya? Saya menemukan Anda tergeletak di dekat rumah saya."
Yang menggenggam senjata tidak bergerak, masih mengancam akan menarik pelatuk.
"Syukurlah Anda sudah sehat. Maaf karena saya tidak membawa Anda kerumah sakit, di sana penuh. Tapi tenang saja, saya punya dokter pribadi yang merawat luka Anda." sahut si wanita perlahan menurunkan tangan. "Fuji. Nama saya Fuji Tsuruta."
Ia tidak gentar, alisnya yang menukik menjelaskan curiga bercampur marah, "Siapa kau?"
Fuji Tsuruta melangkah, menuju pemuda yang masih setia mengacungkan senjata apinya. Seolah tidak peduli pada laras pendek yang bisa saja meletuskan kepalanya, ia menarik garmen di atas meja. Bibirnya mengulas senyum tipis saat tangannya menggengam lengan kekar si pemuda, lalu beregerak menurunkannya perlahan. "Saya hanya seorang mahasiswa. Anda sendiri?"
Matanya menyorot tajam, "Siapa aku tak ada urusannya denganmu." katanya sarkas, "Apa yang kau lakukan, aku tak butuh pertolongan. Singkirkan tanganmu dari bajuku, hei, aku bisa pakai sendiri."
"Tuan, Anda lucu sekali," sahut Fuji ringan. "Sebaiknya Anda tidak membuka selimut, karena tidak ada sehelai benang pun di atas sana, dan Anda pasti akan malu. Mau pakai baju sendiri?"
Mata membeliak kaget. Mencengkram selimut, tapi ragu untuk ditarik. Dirinya tahu lawan bicara sedang memberi lelucon garing, sebab ia bisa merasakan karet kain melingkar di pinggang. Sekarang ia makin kesal dengan wanita tengik yang tak menyimpan ketakutan apa pun meski verbal diancam.
"Saya kira Anda tidak akan bangun lagi, Tuan. Ini sudah hari ketiga sejak saya menemukan Anda." ujar Fuji pelan. Ia kembali meletakkan pakaian di atas meja, lalu beranjak, "Saya akan siapkan makan malam. Yang ada saja tidak apa, ya?"
Alis bertaut, "Apa maksudmu?"
"Tuan pasti bekerja sangat keras, ya? Dokter bilang Anda sangat kelelahan. Dan lagi, saat merawatmu, aku tidak menemukan apa pun dalam sakumu. Anda pasti mati-matian mengejar penjahat, kan? Aku suka keadilan, jadi tak segan untuk menolongmu."
Pemuda yang dirawat tidak menjawab.
"Anda bahkan tidak membawa dompet. Tenang saja, malam ini aku yang traktir. Asal gantian lain hari, ya?" sahut Fuji mengedipkan sebelah mata, lalu menarik kenop pintu dan beranjak keluar.
"Hei, kau."
Panggilannya menghentikan langkah si wanita yang lebih muda, "Karl. Namaku Karl De Stacy."
Ia tidak pernah menyebut namanya di hadapan orang asing. Tapi kalimat itu memaksa bebas.
"Baiklah, Karl. Tak apa kupanggil begitu?"
-0-
LCD berukuran sedang terletak di atas rak berkaki roda, Fuji Tsuruta mendorongnya kemari sebagai hiburan tambahan bagi tamunya. Karl enggan berterima kasih, tapi ia mengapresiasi dengan melahap hidangan sederhana yang sudah disajikan.
"Kenapa sup kacang merah?" tanyanya pendek.
"Karena aku punyanya itu?" Fuji balik bertanya.
Karl berpaling setelah menyorot tajam, curiga.
"Bercanda. Aku mencium aroma kacang merah dari mulutmu saat itu."
Karl De Stacy mengernyit. Ia tidak bodoh, tapi ucapan si wanita masih berproses dalam pencernaannya. Karl bukannya takut digoda, hanya memastikan agar tak terjerat rayuan si perempuan yang terkesan melantur di awal perbincangan mereka.
Ah, sudahlah. Setelah mengisi stamina ia akan mangkir dari sangkar ini. Kembali ke markas untuk menghajar senior yang tidak berkeprimanusiaan. Nyawa orang itu berharga, seharusnya keselamatan rekan lebih diutamakan.
"Kenapa kau merawatku?" pertanyaan itu sebagai pengisi sunyi, menggantikan suara tayangan drama di televisi.
Fuji Tsuruta tidak mengalih dari layar. Mulutnya masih sibuk menyedot minuman rasa cokelat dari gelas plastik di tangannya, "Karena kau kebetulan ada di dekat rumahku."
"Bukan. Kenapa kau ada di sana?"
"Oh, kebetulan aku sedang belanja makan malam. Aku menemukanmu di gang kecil."
Karl menurunkan mangkuk, meraih segelas air mineral di atas meja, meneguk, lalu menjejakkan kaki di atas lantai. Menyembunyikan desisan dan mulai melangkah.