"Karl yang mau, aku tidak minta."
"Sekalian. Aku juga belum sarapan."
Mobil berbelok di gang, menepi di sebuah rumah makan sederhana. Tempat yang berjarak sepuluh meter dari lokasi kejadian tempo waktu lalu. Memang benar apartemen kecil Fuji dekat dengan tempatnya ketika diserang, tapi ia masih menyimpan sejuta tanya. Tidak mungkin tubuh ringkih wanita seperti Fuji Tsuruta mampu mengangkatnya.
"Karl mau pesan apa?"
Menilik barisan huruf di atas kertas, Karl lalu memutuskan, "Sama denganmu saja."
"Eh?" Fuji memiringkan kepala. "Kalau begitu susu vanila dan bento saja."
Karl mengernyit, "Ini menu yang biasa kau makan?"
"Ya."
Anak sehat, batin Karl. Bergizi, protein tinggi, jauh dari zat-zat kimia yang berpotensi merusak tubuh. "Kalau daging?"
"Minimal seminggu sekali, sih. Aku tidak begitu suka daging-dagingan, apalagi yang mentah.”
Karl respon mengedar pandang. Kalimat Takashi Yamashita semalam tiba-tiba mengganggunya. Pria itu memang tidak memberi detil dan perinciannya, tapi Karl mengerti maksudnya.
Sebab semua orang yang masuk ke dalam daftar People of the Year adalah tersangka, dan 10 pemuda yang mengguncang dunia adalah bencana.
"Karl kerja di kepolisian mana? Apa di dekat sini?"
Karl membuang jauh-jauh pikiran negatif. Ia telah mencoret Fuji Tsuruta dari daftar bencana. "Ya. Di Port Royal, dekat The Royal Palace.”
"Oh… lumayan jauh, ya. Aku kuliah di Universitas Persepolis, sepuluh menit dari rumah kalau naik kereta."
"Kau tidak punya kendaraan pribadi?"
Kepalanya digelengkan, “Tidak, aku biasa dengan transportasi umum.”
Matanya masih memandang tatap tenang si wanita, tidak menghujam, tapi juga tidak lembut. "Begitu, ya."
Sesuatu terasa aneh ketika menyelidik dalan-dalam isyarat mata Fuji Tsuruta. Menjalar rasa gelisah, tapi sisi lain berusaha menolak mati-matian.
.
Karl bergegas kembali ke markas. Mengambil alih komputer setelah memberi titah pada bawahan. Keyboard touch screen berteknologi tinggi ditekan beberapa kali. Layar transparan menampilkan sejumlah kotak dialog, mencari informasi mengenai mahasiswa Universitas Persepolis yang memang sudah tersimpan lengkap di memori super komputer.
Sistem patuh ketika ia memberi perintah untuk memindai. Menyusutkan data, mencari kemungkinan. Orang-orang terdekat, kehidupan masa lalu, juga kasus kriminal yang mungkin saja menghampiri.
Fuji Tsuruta. 21 tahun. Strata dua jurusan Sastra. Universitas Persepolis. Lajang. Diakui sebagai warna Negara secara legal.
Karl menekan layar super komputer, menggeser slide. Sejarah hidup—lahir normal, masa kecil dijalani seperti orang biasa, tidak menonjol, hobi mambaca buku, keahlian tidak terspesifik, daftar perguruan tinggi yang ditolak beasiswanya, gosip asmara, wawancara terakhir—Karl sudah kenyang.
"Aku ingin kau menjaga mahasiswa ini. Dia memang tidak kelihatan mencurigakan, tapi sepertinya punya hubungan di antara sembilan orang ini. Kau tahu alasannya, Karl. Dia hanya seorang mahasiswa, tak mungkin menyadari ada pemancar di dalam tubuh manusia. Kau pasti dioperasi, tak mungkin dilakukan di rumah. Kita sudah mencari namamu di seluruh penyimpanan data rumah sakit, tapi tak ada. Apa? Kau pasti berpikir dia pakai nama lain, kan? Agen kita juga ada yang seorang dokter, dia sudah membuktikan kau tidak ada di rumah sakit mana pun."
Kalau bukan karena curahan hatinya Takashi semalam, Karl enggan untuk menyelidik. Ia tidak menyangkal argumen si rekan, hanya saja terbesit naluri bahwa Fuji Tsuruta bukan tipe personil kelompok kudeta, meski keceredasannya di atas rata-rata.
.
Telapak tangan mencengkram kerah baju bermotif kura-kura, membanting lawan setelah membenturnya ke dinding. Kemudian tubuh seorang pria lain diangkat dan ditabrakkan ke dinding. Tangan kanan yang menggenggam senjata api paksa ditelusupkan ke mulut korban. Laras pistol mendesak kerongkongan. Karl menatap tajam, "Kau punya waktu lima detik."
Korban memberontak, mulutnya meracau tak jelas. Di belakang punggung tegap lelaki berkemeja merah sejumlah pria tergeletak. Ada yang bersimbah darah, ada pula yang muntah busa.
Karl De Stacy menarik senjata, pria di cengkramannya terbatuk. "Aku serius, sialan. Tidak ada seorang pun yang muncul selain satu orang itu.
Revolver di sodokkan lagi, air liur mengalir bersamaan dengan erang perih korban. Karl menarik lagi.
"Kalau kau memang tidak percaya pada kami, pergi saja, brengsek!"
Tangan kiri melepas cengkraman. Pria bertubuh besar terbatuk sebelum rubuh. Karl berbalik, meninggalkan lorong untuk menuju sebuah mobil yang menunggu di tepi jalan raya. Matanya melirik kamera pengawas di dinding toko.
CCTV di seluruh kota sudah masuk dalam kendali organisasi. Karl sudah menyelidiki satu persatu, melihat kemungkinan. Tapi tak satu pun kamera menangkap gambar dirinya, Fuji Tsuruta, maupun Sniper yang sudah melukai dirinya. Orang-orangnya juga sudah meneliti, tak ada yang membajak. Lantas dengan cara supranatural seperti apa yang dilakukan si penolong padanya, Karl terrtarik mencari tahu.
.
Sekarang ia sedang duduk manis di sofa mobil, memangku dagu di kaca jendela yang terbuka. Satu kilometer dari gedung utama Universitas Persepolis. Semakin menolak hasil penyelidikan oleh organisasi, ia memutuskan untuk turun tangan sendiri. Karl De Stacy akan membuktikan bahwa Fuji Tsuruta tidak bersalah.
Mario Luft sudah menyarankan agar ia mengawasi dengan samaran, atau lewat kamera pengawas yang terpasang di seluruh sudut kota. Tapi Karl memutuskan untuk sewa mobil di rental terdekat dan meyakinkan diri bahwa ia tidak salah.
Karl De Stacy bisa melihat entitas yang dinanti melewati pintu gerbang universitas. Fuji terlihat berpisah dari kawannya, berjalan lurus dan masuk ke stasiun. Karl tidak ikut di kereta, melainkan melacak keberadaan Fuji Tsuruta lewat sinyal ponsel dan mengikutinya hingga tiba di distrik Pavlopetri, Karl lalu turun dari mobil untuk melihat langsung.
Anak itu normal.
Tapi rasanya aneh. Semakin menyelidiki, semakin Karl tertarik.
Entahlah.
.
Bulan purnama di tengah kelamnya langit malam disertai riuh angin dingin menusuk kulit adalah sinyal pesta pelaksana misi. Karl De Stacy tidak ikut berkumpul sampai akhir ketika para agen lain mengadakan diskusi. Ia pergi untuk menuntasi hasrat.
Menekan bel dan masuk ke dalam ruangan yang sama. Fuji Tsuruta hangat menyambutnya, seolah tak terjadi apa-apa meski yang terjadi pada Karl adalah hal sebaliknya. Handuk si wanita dipijit di kepala, aroma tak asing menusuk hidung. Bau yang sama ketika ia sadar dari tidur panjang. Begitu khas. Cokelat, dengan paduan hangat dan tatap mata yang tak bisa dibilang takut, namun juga tidak begitu berani. Fuji Tsuruta ternilai sangat baik dalam membalut topeng.
Karl menutup pintu sendiri, lalu menodongkan senjata api ke arah tuan rumah.
Fuji Tsuruta perlahan mengangkat kedua tangan, "K-Karl...?"
Ia benci situasi ini. Kenapa pula wanita ini malah bersikap polos? Kenapa tidak melawan, atau menjerit seperti perempuan pada umumnya saja.
"Ikut denganku, sekarang." titahnya mutlak.
Karl bisa melihat raut wajah Fuji. Ekspresi yang sama, namun mengisyaratkan gelisah. Ia bisa melihat jari si wanita bergetar di sana.
"A-Mpa? Ma-maaf, Karl..."
Karl menyambar sebilah pisau dari saku, menelusupkan pistol ke balik jaket. Ia menarik kaos oblong Fuji dan merobeknya dengan benda runcing benda tajam mengilat. Yang diserang sontak melompat, menutup pembungkus tubuh sebagai perlindungan.
"A-apa yang kau lakukan...?!" respon primitif terkuar, Fuji lantang meninggikan suaranya, merasa dilecehkan.
"Tenang, aku tidak akan melukaimu." lalu bilah pisau diarahkan ke penutup bagian bawah, membelah kain celana pendek Fuji jadi dua. "Aku hanya memastikanmu bersih.”
Tindakan preventif selanjutnya adalah menutup bagian bawah. Fuji malu berat. Ia hendak menampar Karl bilamana pria itu tak mengancam dengan pistol dan pisau.
"Aku hanya memastikan kau tidak macam-macam. Sekarang lepas seluruh pakaianmu, dan ikut aku." tukas Karl cepat, berbalik ke pintu dan berjalan cepat.
Fuji Tsuruta melangkah mundur. Kakinya bergetar. Karl bisa melihat jelas raut wajah ketakutan yang menatapnya cemas. "Hentikan, Karl... aku tidak mengerti apa yang kau mau...."
"Kau akan mengerti." sahut Karl pendek, menarik tangan kurus si wanita dan menggiringnya menuju pintu. "Kita pergi dari sini. Di mobilku ada baju, kau akan memakainya."
.