Rasa asing mendekap kala telapak tangan lembut membelai halus rambutnya. Satu matanya terpejam menahan pilu. Bekas cairan merah diseka dari sudut bibir. Mulutnya menggores senyum—dipaksa selebar mungkin untuk mengonfirmasi bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi ia tahu, gagak hitam imajiner di belakang si wanita mulai menampakkan diri jadi seribu. Memberi isyarat akan perpisahan.
Tangan menggapai udara, Karl De Stacy sontak membuka mata. Langit-langit putih jadi pandangan pertama. Satu tangan berfungsi memijat pelipis.
Ia bangun dan beranjak menuju cermin di wastafel, khawatir kalau-kalau timbul kerutan di bawah mata. Dirinya mulai mengidap insomnia sejak kasus besar menimpa Negara. Tidak bisa tidur bukan karena terpikir soal keamanan bangsa, melainkan karena suatu hal yang ia sendiri ragu mengutarakannya.
Karl masih heran, mengapa wanita itu selalu menghampirinya dalam kondisi menyakitkan. Pada mimpi yang biasanya dipenuhi warna pelangi sebagai perefleksi cercahan hati, disubsitusi jadi merah pekat yang menerornya dengan pesan-pesan misterius—entah kenapa Karl tidak mengerti. Seolah ada suatu hal penting yang dilupakannya.
Sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Matanya mengerling menatap cermin. Khawatir mengulang kebiasaan buruk akan menurunkan kadar ketampanan pada parasnya. Karl memutar keran air, mendekam kepala lebih dalam pada ceruk wastafel. Kedua tangan diadahkan untuk menampung air, lalu dibasuhkan ke wajah.
Awal tahun selalu memberi kesan buruk. Berita hiperbolis yang mengelu-elukan penduduk Negeri, parade-parade merusak dan mengotori lingkungan, bunyi gaduh pengganggu ketenangan tidur di malam hari, segala macam yang ditimbulkan pada awal tahun selalu membuat Karl De Stacy pening.
"Kalau begitu aku mengerti. Biar kujelaskan, Karl. Kuharap tidak ada kesalahpahaman di antara kita. Sekadar informasi kalau Karl belum tahu. Kalian tetap tak bisa menangkapku, karena aku tidak bersalah—ya, tidak ada bukti bahwa aku bersalah. Memaksaku hanya membuat kalian masuk dalam kuburan yang kalian gali sendiri. Karl mengerti, kan? Politik Negara ini kuat. Kami akan menjatuhkan kalian-para pengikut Ratu karena menghukum orang yang tidak bersalah—; Tsuruta."
Suara lembut mengalun di seluruh ruangan. Karl melirik pada sekelompok orang di sudut dinding, diketahui sebagai tim analisis yang bertugas untuk menerjemahkan makna dari kalimat, perilaku, dan seluruh hal yang ditunjukkan oleh korban interogasi.
"Lalu soal hubungan pribadi kita. Maaf saja, Karl. Aku memang tidak berniat membunuhmu. Apa Karl tahu tujuanku merawatmu? Kalau tidak akan kuberi tahu; Bicaramu terlalu panjang; Itu benar, Karl. Kau—kalian, sudah masuk ke dalam jerat kami. Sebentar lagi pemerintahan Ratu Stella Magnolia De Witt akan segera lengser. Terlalu banyak kepalsuan yang Negeri berikan—; Tsuruta; Monarki tidak selalu bagus."
Ia berjalan menyusuri koridor, memutar direksi sepatu pantofel kilat ke arah kanan, menyapa tiga orang kawan tanpa suara. Seperti biasa mendekam di depan televisi, menonton channel gosip berkedok pekerjaan.
"Karly, kau telat lagi..." satu pria yang paling awal menyadari kehadirannya adalah Mario Luft. Diikuti oleh Lean Abhinav yang masih antusias menatap layar LCD, dan Guerino Stirlo refleks menoleh ketika sejumlah mie masih bertengger di mulutnya.
"Hari ini penting, Karl. Lihatlah, Takashi masuk televisi!"
.
Derap langkah dipercepat. Karet hitam yang berotasi silih gant masuk ke dalam mesin. Jari tangan dibalut kain putih menekan layar. Perlahan bunyi mesin memelan. Pria berkacamata berniat mengakhiri rutinitas jogging-nya dan turun dari electric treadmill, lalu menyeka keringat dengan handuk yang meggantung di leher.
Baru keluar dari ruang gym, segerombolan orang beserta kamera berbagai ukuran berhimpitan mengerumuninya. Satu-dua flash terpaksa membuatnya memicing sesaat. Kakinya mundur selangkah mencari ruang untuk menghirup udara.
"Tolong jelaskan! Bagaimana mungkin Anda bisa mengatakan hal seperti itu di publik?"
"Terangkan pada kami!"
Pria itu menaikkan letak kacamata. Matanya mengerling, lalu berubah tegas menatap jajaran wartawan di hadapannya. Para petugas merapat demi menghalau para awak media yang menyesakkan jalan
Amore Gallo, 25 tahun, tercatat sebagai salah satu dari '10 Pemuda yang Mengguncang Dunia' dan masih bertahan pada profesi dokternya meski sudah jadi milyader termuda pada masanya—dua hari lalu menggelar konferensi pers yang sungguhan mengguncang Negara—bahkan dunia.
"Negeri ini akan segera runtuh. Rakyat menderita karena tingkatan kasta masyarakat antara keluarga kerajaan, kaum bangsawan, golongan elit dan rakyat menengah. Kasus kriminal yang tidak diurus sampai akhir—aku berjanji akan memperbaiki Negara ini. Bukan berarti aku mendukung Miraculum, tapi gertakan mereka cukup sempurna untuk memojokkan keluarga kerajaan. Kukatakan sekali lagi, Negeri ini butuh pemimpin, bukan orang elit." ujarnya tegas. Baik sorot mata maupun intonasi, Amore Gallo gamblang menyampaikan keyakinannya.
"Bukankah jelas itu berarti Anda memihak Miraculum? Teroris yang mengangkat senjata untuk mengkudeta Ratu Stella Magnolia De Witt?"
"Memihak? Tentu tidak. Kupikir Miraculum hanya sekolompok golongan anak kecil yang suka main-main. Kalian menyebutnya teroris, tapi tak pernah tersiar kelompok itu ada membunuh orang, satu saja. Kupastikan pada masa kejayaan berganti takhta, takkan ada satupun kelompok kudeta, dalam bentuk apa pun."
"Tapi, Amore Gallo, Anda memiliki darah bangsawan, apakah karena hal tersebut Anda jadi mempunyai niat untuk menguasai Negara?"
Amore Gallo mengoreksi letak kacamata, menatap tajam ke salah satu kamera dengan ukuran paling besar di antara kerumunan koresponden. "Aku akan menghapus tingkatan kasta, menjadikan seluruh manusia dalam derajat yang sama."
.
Mic salah seorang reporter direbut, pria berambut hitam dengan kacamata yang bertengger di puncak kepalanya berteriak, "Mohon tenang dulu, kalian semua!"
Satu persatu wartawan mengatup, menyisakan bisik-bisik yang saling mengingatkan agar segera tutup mulut. Jalan raya terpaksa ditutup karena gerombolan manusia berkumpul di depan rumah dengan khas bangunan tradisional Asia Timur—milik anggota parlemen yang mengajukan diri jadi kandidat pemimpin Negara berikutnya.
"Padahal Ratu Stella Magnolia baru memimpin dua tahun jika dihitung dari masa jabatan periode keduanya, kenapa Anda langsung memutuskan untuk menggantikannya? Apakah Anda menentang Ratu?"
"Apa motivasi Anda mengajukan diri jadi pemimpin Negara karena gertakan dari Miraculum?"
Pria berkacamata mendengus keras. Mic diarahkan ke mulut, menarik napas dalam sebelum berpidato. "Saya, Leonardo Abando, tidak peduli pada Miraculum atau apa pun. Hidup saya didedikasikan untuk Negara, wajar jika saya menginginkan kemajuan Negeri. Saya tidak bilang akan menentang Ratu atau apa pun itu, selama Negara krisis dan butuh tokoh untuk berperan, saya akan ikut andil dalam pembangunan itu!"
Leonardo Abando, 28 tahun, tercatat sebagai salah seorang dari '10 Pemuda Yang Mengguncang Dunia'.
"Mengapa Anda tiba-tiba memutuskan untuk mengajukan diri? Kalau bukan menentang Ratu, lalu apa namanya?"
"Apa kalian bodoh, hah?!" seketika membentak, bahu Leonardo Abando langsung ditepuk oleh seorang lelaki yang bertugas mengawal. Kemudian para polisi membentuk barisan, menjaga si anggota parlemen untuk kembali masuk ke dalam rumahnya.