Jakarta, awal 2012
Pukul 05.00, Raka sudah berdiri menghadap cermin wastafel kamar mandi dengan pikiran kusut. Isi otaknya penuh dengan pertanyaan dan prasangka yang cukup membuatnya penasaran. Ini semua gara-gara istrinya!
Wanita mana, sih, yang akan dengan sengaja memilih tanggal pernikahannya tepat pada hari pertama dia mendapat jadwal menstruasi? Memangnya dia tidak tahu hal yang biasanya paling ditunggu-tunggu oleh pengantin baru, terutama bagi seorang pria? Menikmati suasana romantis sebagai suami-istri, shalat berjamaah, berdoa bersama, dan berlanjut ibadah lain yang sudah halal bagi mereka berdua. Raka tahu istrinya itu tidak bodoh. Meski istrinya beralasan kebetulan saja jadwal datang bulannya bertepatan dengan hari pernikahan mereka, Raka tetap tidak percaya. Tidak mungkin gadis itu tidak tahu cara menghitung siklus bulanannya sendiri.
Dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, dan mulai membasahi telapak tangan, berkumur tiga kali, lalu membasuh wajahnya. Dinginnya kucuran air keran belum cukup membuat pikirannya segar. Raka tahu risiko yang harus dia hadapi dari pernikahannya. Namun, tidak bolehkah dia berharap mereka bisa mencoba untuk lebih intens? Kenyataannya, bahkan shalat Subuh pada hari ketiganya sebagai seorang suami harus dijalani seorang diri. Apa bedanya dengan saat dia masih melajang?
Sejak mendapat pesan singkat “Aku ‘dapat’ hari ini” dari gadis itu, tepat beberapa jam sebelum pernikahan mereka berlangsung, hatinya langsung mencelus. Dengan cepat, dia menghitung waktu menstruasi sang istri dan masa cutinya yang sama-sama satu minggu. Bayangan honeymoon romantis dalam pikirannya langsung buyar. Saat bertemu di meja akad pun, gadis itu hanya tersenyum anggun tanpa dosa.
Raka mendesah pelan dan menatap wajahnya sendiri yang terpantul di cermin. Diperhatikannya air wudu yang menetes dari sebagian rambutnya. Aku sudah jadi seorang suami. Pikirannya bicara sendiri. Segera diambilnya handuk kering di gantungan dekat wastafel untuk mengeringkan wajah. Dia keluar dari kamar mandi.
“Subuhan?”
Sapaan lembut campur serak yang mampir di telinga Raka membuatnya tersentak. Dilihatnya sosok seorang gadis sedang berdiri di samping dispenser sambil memegang segelas air putih. Gayanya begitu santai hanya dibalut kaus putih longgar dan celana pendek, rambut bergelombangnya sedikit berantakan karena baru bangun tidur, dan sorot matanya masih tampak mengantuk. Penampilan sederhana yang membuat aliran darah di tubuh Raka mulai menderas.
“Iya. Baru bangun?” Raka balik bertanya datar. Sekuat tenaga dia meredam semua gejolak di hati dan pikirannya.
“Mau tidur lagi.” Gadis itu menjawab santai. Dengan cueknya dia berjalan melewati Raka dan masuk ke dalam kamar.
Raka hanya mampu menatap pintu kamar yang perlahan tertutup dengan pandangan gemas. Dia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya. Suasana subuh di apartemen mereka kembali hening.
***
Mata Halya mengerjap pelan, rasa kantuk masih begitu kuat menyergapnya. Samar-samar dia merasa silau oleh cahaya matahari yang masuk melalui kisi-kisi jendela. Seketika dia terperanjat menatap jam dinding. Pukul tujuh. Aku terlambat ke kantor! pikirnya panik. Namun, otaknya dengan cepat memberi informasi, hari ini dia masih mendapat jatah cuti. Cuti honeymoon.
Tok! Tok!
“Al! Kamu udah bangun belum?” Seorang pria berseru dari balik pintu.
Halya bergumam tak jelas. Wajahnya masih tersuruk di bantal empuk dan terasa berat untuk bangun. Dia hanya menggaruk rambutnya yang semakin kusut.
“Udah ...!” Dia berseru malas dari balik selimut.
Tidak ada balasan suara. Berarti Raka sudah beranjak dari depan kamar tidurnya, mungkin masak sarapan. Halya mendesah pelan. Mencoba bersikap santai, juga meredakan debaran jantungnya. Sekarang ini aku resmi jadi istri Raka, sahabatku sendiri. Hati dan otaknya kembali bertengkar akan fakta yang sudah terjadi. Mereka benar-benar menikah, mereka resmi suami-istri. How come?! jeritnya depresi.
Dia hanya mampu mengerang frustrasi dari balik bantal.
***
“Kamu itu tiap pagi sarapan mi instan, bisa melilit beneran nanti ususnya. Nggak sehat, tauk.” Halya meletakkan piring berisi telur mata sapi di meja. Mengambil dua lapis roti tawar, meletakkan telur di atas roti, ditambah selada, irisan tomat, dan sedikit saus. Sandwich sederhana.
“Daripada kamu, tiap hari makan telur. Lama-lama bisa bintitan,” balas Raka sembari menyeruput kopi.
“Telur itu sehat, asupan gizi supaya otak pintar.”
“Iyalah, kamu, kan, lemot.”
Bibir Halya manyun. Dia tidak berminat melanjutkan perdebatan dan mulai menikmati sandwich ditemani segelas jeruk hangat. Tatapannya lurus menembus ke luar jendela, ke arah pemandangan Kota Jakarta pagi hari dari lantai lima belas apartemen Raka, yang kini juga menjadi tempat tinggalnya. Langit biru cerah, gedung-gedung tinggi menjulang, dan kemacetan. Sudah dua hari dia menatap pemandangan yang sama.
“Mau ke mana hari ini?” tanya Raka. Sarapan mi instannya sudah tandas.
Halya memutar-muta bola matanya, kebiasaan jika sedang berpikir.
Empat hari lalu dia dan Raka melangsungkan acara pernikahan mereka. Keesokan harinya, mereka kembali dari Bandung ke Jakarta. Kemudian, dia pindahan dari apartemennya ke apartemen Raka. Membutuhkan waktu seharian untuk beres-beres dan sangat melelahkan. Hari kedua setelah pernikahan, mereka hanya jalan-jalan dan belanja keperluan sehari-hari. Hari keempat, ya, hari ini.
Mereka mendapat jatah cuti honeymoon selama seminggu. Masih ada empat hari libur termasuk Sabtu-Minggu sampai Senin saat dia dan Raka kembali masuk kantor.
“Kamu itu sekarang suamiku, ya, Ka?” gumam Halya. Dia menatap pria di hadapannya yang tampak serius membaca koran.
“Empat hari kita menikah dan setiap pagi kamu bertanya hal sama. Kalau sampai Jumat kamu tanya begitu lagi, dapat payung, deh,” tutur Raka asal. Selama empat hari juga aku harus menahan diri.
“Habisnya aku bingung, nggak pernah menyangka bakal jadi istri kamu.” Bibir Halya mengerucut.
“Kamu kira aku nggak bingung.”
“Kan, kamu yang ngelamar aku.”
“Kamu juga yang nerima lamaranku,” balas Raka tak mau kalah.
Halya terdiam. Telak tak bisa menjawab. Dia hanya mampu mendesah resah.
“Aku mau tune-up mobil, mumpung libur. Kamu mau ikut?” Raka berdiri, membawa piring dan gelas kotor yang baru saja dipakainya.
Pandangan Halya mengikuti Raka yang beranjak menuju dapur. “Nunggu di bengkel … begitu?” serunya.
“Kita jalan atau nongkrong aja,” jawab Raka sembari mencuci piring di bak.
Sesaat, Halya merasa bingung. “Ikut, deh, daripada bengong sendirian.”
“Ya, udah sana, kamu mandi duluan. Kamu kalau dandan lama.”
“Kayak kamu nggak lama aja kalau mandi sama sisiran,” ledek Halya.
Dia beranjak membawa gelas dan piring kotornya, mencuci di bak, lalu mengambil handuk. Saat akan masuk ke kamar mandi, dilihatnya Raka menyalakan televisi, santai menonton berita. Halya ingin mengirim pesan batin yang biasanya sering sampai tanpa dia perlu berkata-kata. Kamu nggak merasa menyesal, kan, Ka?
***
Suasana toko buku siang itu tampak sepi. Mungkin karena bukan weekend, tidak terlalu banyak pengunjung yang datang. Ditambah lagi, sekarang masih jam kantor dan sekolah sehingga hanya segelintir orang yang berada di sini.
Halya berjalan perlahan menyusuri rak-rak buku. Sesekali diambilnya salah satu buku yang dipajang, lalu membaca sinopsisnya. Dia memasukkan beberapa buku yang tampak menarik ke dalam tas belanja. Sudah ada empat buah buku di tas itu. Akhirnya, dia berencana menghabiskan masa cutinya dengan membaca buku saja.
Halya menghela napas pelan. Pandangannya menerawang menyapu rak-rak buku yang berjajar rapi. Sayangnya, pikirannya tidak ke sana. Aku tidak percaya hal ini bisa terjadi, bisiknya dalam hati. Dia masih belum percaya statusnya yang sudah berubah menjadi istri seseorang. Istri seorang Raka, sahabatnya sendiri sejak SMA. Sebenarnya, bukan berarti dia berniat untuk tidak menikah sama sekali. Halya pernah akan menikah, nyaris, dengan seseorang yang teramat dia cintai. Namun, nasib lebih rumit dibanding rumus fisika saat SMA, tidak sesuai kehendak dan rencana manusia, tidak terprediksi.
Langkahnya tertuju ke meja kasir. Setelah membayar semua buku yang dibeli, dia mencari-cari ponsel di dalam tas sembari berjalan ke luar toko. Hendak diteleponnya Raka, tetapi niat itu diurungkan. Halya memutuskan untuk jalan-jalan sendiri menyusuri gerai-gerai di mal yang sering menjadi tujuan tempat hang out penduduk Jakarta.
Di Jakarta itu emang cuma ada wisata mal, ya.