COUPLE KASYA

Andini Maulidia
Chapter #9

9. Kafe Kesukaan

Membaca novel, berselancar di dunia maya, mengerjakan tugas, serta bermain berdua dengan seekor kelinci merupakan kegiatan hari-hari yang monoton Alasya setiap akhir pekan. Namun, Sabtu ini terasa berbeda.


Jam sembilan pagi Kaze sudah menjemputnya. Hampir satu jam menempuh perjalanan hingga tiba di tempat tujuan. Lalu, bersenang-senang di kebun binatang cukup menghabiskan tenaganya.


Hembusan angin sore yang sepai-sepoi menambah rasa kantuk Alasya akibat kelelahan. Memang benar terlalu senang juga tidak baik.


Alasya memajukan kepalanya. “Gue izin peluk lo ya,” ucapnya tidak bersemangat.


Tanpa menunggu jawaban Kaze, tangan Alasya melingkar di perut laki-laki itu. Lalu, menempelkan wajah pada punggung cukup lebar tersebut. Membuat detak jantung Kaze agak tercekat menerimanya.


Sorry, Sya gue cuma manfaatin lo doang. Mata Kaze lurus ke depan jalan. Terfokus menyalip kendaraan-kendaraan lain yang juga melintas.


◇•🥕•◇


Tapi, begitu sampai di rumah. Berdiskusi dengan isi kepala dan hatinya yang mulai tidak kontras seperti awal. Kini terselip perasaan tidak tega secara manusiawi yang membuatnya dilema.


Di depan cermin wastafel usai menggosok giginya Kaze menyeka lapisan bibirnya yang terdapat bekas odol.


Pikirannya melayang ke beberapa jam lalu. Di mana dengan bibir ini dia menyentuh pipi lembut nan halus Alasya. Tapi, bukan raut merona yang ia dapati melainkan seolah benar-benar jijik disentuh.


Kaze menghela nafas sembari menyeringai. Bisa-bisanya ia berekspektasi seperti itu.


Sedetik dua detik kemudian layar ponselnya menyala dan memunculkan bar pemberitahuan tentang update-an terbaru Naomi.


Di saat Kaze sedang tersenyum-senyum sendiri melihat postingan lucu Naomi. Di ruang lain, Alasya mengurung dirinya di dalam kamar.


Kelima jarinya mencengkram kuat helaian rambutnya ke belakang. Ia terduduk lemas di atas ubin dengan hamparan kertas yang tidak berbentuk di sekitarnya.


Hatinya rasa tercabik-cabik, sesak menahan tangis yang hampir pecah. Bagaimana bisa koleksi yang Alasya jadikan sebagai motivasi dirinya kala tenggelam dalam keresahan dan mumet yang tidak dapat ia ceritakan ke orang lain itu dihancurkan oleh orang terdekat.


Poster, poto card, dan juga printilan K-popnya hancur berserakan ketika Alasya memasuki kamar.


Matanya merah memanas, ternyata orang terdekat termasuk keluarga sekalipun terkadang tidak akan mengerti apa yang disukai atau apa yang diinginkan.


Samar-samar di luar kamar terdengar perdebatan antara kakaknya dan sang bunda meributkan dirinya.


“Kebanyakan Korean sampai jarang belajar. Suka ngehambur-hamburin uang buat hal-hal gak penting, cuma buat beli kertas doang. Itu pun bukan buku belajar. Foto-foto orang gak jelas.” Rentetan unek-unek Sarah, bunda Alasya.


“Tapi, gak kayak gitu, bun. Barang-barang itu kesayangannya Ala. ” Andra mencoba pembelaan.


“Kamu sama Ala itu cuma beda dua tahun tapi, sangat berbeda. Kamu udah bisa kuliah sambil cari uang sendiri. Sementara, Ala malah jadi anak nakal,” ucap Sarah menggebu-gebu. “Coba bayangin gimana malunya bunda pas dipanggil ke sekolah karena kecurangan adik kamu itu. Dia berani-beraninya rekayasa buku nilai!”


'Adik kamu itu'. Kata-kata itu terdengar menyesakkan. Seolah Sarah begitu malu terhadapnya sampai tidak ingin mengakuinya.


Kepala Alasya yang semula menunduk perlahan menengadah. Ia mengambil ponsel dari dalam sling bag.


Tut... Tut...


“Halo, kenapa, Sya?” Suara nge-bass tersebut menyapanya dari seberang sambungan.


Masih tidak ada balasan padahal Alasya duluan yang menelpon. Maka Kaze menyapanya kembali untuk kedua kalinya.


Lihat selengkapnya