Cowok berambut ikal dengan seragam sekolah putih abu-abu berdiri di koridor. Cowok dengan tinggi 170 cm itu bernama Satria. Ia juga murid baru di sekolah itu. Baru setahun berjalan. Semuanya berjalan seperti biasanya. Namun ada yang menarik yang membuat pikirannya tertaut dengan Olivia. Gadis dengan postur tubuh sedikit berisi melekat di hatinya. Ia tertarik ketika gadis itu berbaik hati menawarinya minuman. Sejak itu ia pun mulai dekat dengannya.
Satria cowok biasa saja, malah terkesan sederhana. Lantas mengapa ia bisa masuk di sekolah yang mahal? Itu menjadi rahasia pribadinya. Ya mungkin saja orang tuanya sudah mempersiapkan uang untuk sekolah Satria atau mereka memiliki tabungan? Hmmm.
Satria terpaku ketika melihat seorang gadis yang berlari tergesa-gesa dengan nafas yang ngos-ngosan berusaha memasuki gerbang sekolah. Bell sudah berbunyi beberapa kali. Satria melangkahkan kakinya masuk ke ruangan.
Olivia ngos-ngosan berlari dari pintu gerbang memasuki sekolahnya. Ia sudah terlambat sepuluh menit. Tidurnya kurang nyenyak karena memikirkan Kristian dan ia terlambat bangun pagi. Untung saja pak Mamad masih mau membukakan pintu gerbang karena rayuan Olivia, kalau tidak papa bakalan ngoceh lagi seperti gledek. Tak sengaja ia melihat Kristian dan Novita masih berada di halaman sekolah. Hati Olivia seperti mau meledak dan pecah berhamburan. Ia benar-benar cemburu melihat Kristian bersama cewek lain.
Dari kejauhan ia mendengar seseorang memanggil namanya. Keysa berlari kecil dengan nafas tersengal.
”Oliviaaa. Tunggu.”
Olivia menghentikan langkahnya dan menoleh melihat orang yang memanggilnya.
”Keysa?”
Keysa berlari lagi. ”Tunggu, Liv.” Ucapnya dengan nafas memburu kencang.
”Lo terlambat juga?” tanya Olivia.
”Iya, biasa macet. Masuk yuk.” Jawab Keysa seraya mengatur pernafasannya.
Olivia bergeming. Pikirannya masih tertujuh ke Kristian yang jalan bersama gadis lain. Olivia terlihat murung dan sedih. Keysa lagi-lagi menangkap kesedihan Olivia dan menegurnya seperti biasa.
”Lo kenapa, Liv? Kok murung gitu?” Keysa lagi-lagi bertanya dengan nada ingin tahu. Ia memang perduli dengan sahabatnya itu.
“Hmm, tadi gue ngelihat Kristian, Key.”
“Lantas? Kenapa nggak lo tegur?”
“Dia lagi ama cewek lain. Gue males negurnya. Gue lihat aja dari jauh.”
“Oh my God, miris dong hidup lo.”
“Ughh, Keysa. Apa yang gue pikirin ternyata bener. Kristian pasti udah ngerayu cewek itu.” Olive merengut sedih.
“Udahlah, nggak usah dipikirin.”
”Nggak dipikirin gimana coba? Kemarin tagihan kartu kredit papa datang ke rumah.” Ucapnya sedikit menahan rasa kesal.
”Apa sangkut pautnya?” Keysa mengerutkan keningnya.
”Gue kaget aja, Key. Tagihan papa sampai sepuluh jutaan lebih.” Tutur Olivia, menatap wajah Keysa.
”Trus, apa yang lo bingungkan? Wajar dong papa lo make kartu kreditnya. Secara gitu loh papa lo pengusaha. Sepuluh juta mah masih kecil. Masih seujung kuku.”
”Kecil jidot lo?! Bukan itu masalahnya, Key.” Olive memberenggut seraya merengek seperti anak kecil.
”Lantas apa? Lo kan nggak ngomong ama gue?”
Olivia terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada miris. Ia melangkahkan kakinya pelan.
”Kristian yang pakai kartu kredit papa gue. Gue bingung dan takut papa tau dan marah, Key.” Ucapnya parau.
”Apa?” Keysa mendelik kaget mendengar penuturan Olivia. Ia menelan ludah yang hampir nyangkut di tenggorokan. ”Lo ngasih kartu kredit papa lo ke Kristian begitu saja? Oh Emjiiii. Olivia, Olivia. Lo benar-benar gadis dungu ya. Lo begok banget. Masyak lo mau ngasih kartu kredit papa lo? Di mana otak lo, Liv?” Ketus Keysa kesal.
”Keysa?” rengek Olivia lagi. "Otak gue masih di kepala."