Olivia menemui Kristian di sekolah. Olivia tidak menerima kalau Kristian memutuskannya begitu saja. Ini tidak adil. Padahal Olivia sudah berkorban mati-matian demi keutuhan cinta mereka. Kristian yang siang itu berada di kantin bersama Tasya, kaget bukan main. Olivia menarik tangan Kristian hingga keluar kantin dan mengundang perhatian teman-teman yang lain.
”Lo apa-apaan sih, Liv?” Kristian mengehempaskan tangan Olivia dengan kasar. Olivia menatap tajam wajah Kristian yang menyebalkan. Matanya berkaca-kaca saat mengingat kebersamaanya dengan Tasya, cewek yang kemaren turun dari mobil mewah.
”Lo tega banget ya mutusin gue gitu saja. Lo gak punya otak, Kris! Gue sangat mencintai lo dan gue rela berkorban demi lo, Kris! Tapi apa balasan lo?!”
”Eh, yang gak punya otak itu lo, Liv! Dasar cewek begok! Mau saja diperalat. Lo tahu gak, kalau gue cuma manfaatin lo saja. Sedikit pun gue nggak cinta sama lo! Lo sadar dong, masyak gue mencintai gadis gembrot kayak lo?!”
”Kris! Gue cinta banget sama lo!”
”Tapi gue nggak sungguh-sungguh mencintai lo, Liv. Kasihan banget lo.”
”Oh, begitu? Setelah gue berkorban demi lo, lo mau ngelepasin cinta gue begitu aja? Lo benar-benar brengsek, Kris! Gue nggak terima kaputusan lo!”
”Terserah lo mau menerima atau tidak, Liv. Kita sudah putus dan tidak ada hubungan apa-apa lagi!”
”Kristian! Lo keterlaluan!” Mata Olivia berkaca-kaca. ”Gue nggak terima lo mutusin gue, Kris!”
”Lo nggak perlu berharap, Liv. Itu keputusan gue!”
”Lo bajingan, Kris! Setelah lo ngabisin tabungan gue dan lo menguras semua kartu kredit papa gue, lo mau lepas tangan begitu saja? Di mana hati nurani lo, Kris?!”
”Sudahlah, Liv. Jangan seperti anak kecil. Gue capek ngadapin lo. Bukannya lo yang menawarai gue make kartu kredit papa lo?”
”Tapi nggak begini caranya, Krist.” Olivia memelas sedih.