Fika, gadis berkulit sawo matang menuntut janji-janji yang diutarakan Kristian. Cowok itu berjanji tidak akan ninggalin Fika begitu saja. Gadis semata wayang anak orang kaya. Dan lagi-lagi Kristian hanya memanfaatkan uangnya saja. Sampai Fika melihat Kristian bersama cewek lain. Fika tidak terima dan mengadu ke kakak lelakinya. Vino, anak mahasiswa baru di Universitas Jakarta. Vino melihat adiknya menangis sedih di ruang tamu.
“Kamu kenapa, Fika?” tanya Vino penasaran. Walau pun dia sendiri bukan cowok baik-baik, tapi Vino gak pernah memanfaatkan cewek. Fika yang ditegur Vino pun mengadu.
“Aku lagi sakit hati, Kak. Cowok yang baru aja jadian ama aku jalan ama cewek lain. Aku cemburu, Kak. Sakit banget hati aku.”
“Siapa nama cowok kamu itu? Tunjukin ama kakak, biar kakak kasih pelajaran.”
Fika masih sesenggukan, lalu menjawab singkat. “Kristian.”
“Satu sekolah ama kamu?” tanya Vino lagi.
“Enggak.” Fika menggeleng.
“Trus kenalannya di mana?”
“Temen aku yang ngenalin. Dia satu sekolah bareng Kristian.”
Vino mengepal tangannya dan meninju telapak tangan satunya. “Kamu tenang aja. Biar kakak kasih pelajaran.” Kata Vino dan berlalu dari ruang tamu.
Fika masih kesal dan sakit hati melihat Kristian. Padahal dia baru saja memberikan cowok itu jam yang mahal dan baju.
###
Tanpa banyak bicara Vino dan dua temannya mencari Kristian. Fika sudah memberikan fotonya lewat ponsel. Vino memperhatikan satu per satu murid SMU X Jakarta dan melihat cowok dengan gaya selengekan keluar dari gerbang sekolah. Vino pun menarik Kristian masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil tanpa ada pembicaraan apa-apa, Vino dan teman-temannya menghajar Kristian hingga babak belur. Kemudian mereka menurunkan Kristian begitu saja di tengah jalan. Wajah Kristian tampan sebagian lebam.
###
Seperti hari-hari kemarin, Olivia bengong dengan mata kosong. Semua mata pelajaran ditelan habis oleh waktu yang sia-sia. Belum lagi soal-soal yang diberikan bu Butet Manurung, tidak ada satu pun yang dapat dikerjakannya. Biasanya Olivia lebih dahulu menyelesaikan soal-soal fisika dan matematika. Kini pikirannya semakin kacau. Mikirin tigihan papanya yang membludak drastis.
“Lo kenapa sih, Liv? Bengong melulu?“ tanya Keysa diselah-selah istirahat siang.
“Duh, gue bete banget deh. Pertanyaan lo itu-itu melulu. Apa nggak ada pertanyaan lain?” Olivia sedikit sewot.
“Yee, gue tanyai baik-baik kok malah sewot sih. Gue itu heran aja ngelihat lo akhir-akhir ini. Nilai ujian dapet lima, nilai matematika empat, trus setiap pertanyaan yang diberikan bu guru nggak bisa lo jawab. Lo kemana saja siih?”
“Aduuuuh, lo kok nyangkut-nyangkuti ke bu Butet segala sih? Gue itu lagi banyak fikiran, Key.”
“Lo masih mikirin Kristian? Dasar begok. Cowok parasit begitu saja dipikirin. Dia itu sudah merusak masa depan lo, Liv. Merusak konsentrasi belajar lo dan pikiran lo.”
“Trus, gue harus gimana, Key? Menuntut keadilan?”
“Setidaknya lo jangan murung begitu. Lo harus kuat dan terus bangkit dari keterpurukan lo, Liv. Sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Lo mau tinggal kelas?”