"Juditttthhhhh, kamu suka sekali suruh-suruh,” teriak Deo ketika saya memintanya mengerjakan soal-soal latihan matematika.
Kok nih anak manggil saya yang adalah gurunya dengan nama? Nggak sopan amat ya? Nggak masalah buat saya. Kecuali kalo dia memanggil saya Clara atau Sarah atau Madona , nah baru saya bermasalah. Buat saya ya, dipanggil nama oleh murid sendiri itu berarti dianggap teman. Dan dianggap teman oleh anak TK itu seperti dikasih akses VIP untuk transfer ilmu tanpa menggurui. Dan saya salah satu yang beruntung mendapatkan akses itu dari Deo.
Cowok kecil ini berumur 5 tahun, kurus dan suka sekali bengong menatap dahi saya, entah kenapa, sampai sekarang saya nggak pernah punya jawabannya. Deo divonis ADHD, kemampuan IQ setara anak umur 12 tahun, dan kemampuan sosial setara dengan anak umur … 1,5 tahun.
Dialah salah satu murid saya yang dilabeli “berkebutuhan khusus”. Tapi saya percaya dari awal kalo kita sebenarnya memiliki kebutuhan masing-masing, yang seringkali khusus juga. Maka saya memutuskan tidak memberinya label apa pun.
Oh iya, saya mengajar di sekolah inklusi. Artinya, anak-anak yang berkebutuhan khusus belajar di kelas yang sama dengan mereka yang normal. Susah? Jelas! Does it come up with something? For sure! Seperti saya sudah sebutkan, Deo ini punya social skill yang rendah. Intinya dia sama sekali nggak paham rules. Saat saya menerangkan sesuatu di depan, dia bisa tidur-tidur di atas meja. Saat pelajaran menggambar, dia bisa asyik ngobrol dengan white board. Apa yang diobrolin? Hanya dia dan white board yang tahu. Yang jelas dia bisa terkekehkekeh sendiri.
Deo, seperti anak-anak seumurnya, suka ajaib dan random. Meski mungkin kadar kerandoman dia beberapa level di atas anak-anak lain.