“Pergi!” Wanita bergaun putih ketat, melepas kedua hak tinggi yang dikenakannya. Ia terpaksa melemparkan sepatu kesayangannya hanya untuk menghentikan sosok misterius yang sedari tadi mengikutinya.
Wujud berjubah hitam yang bergelagat mencurigakan, terus membuntutinya sejak kepulangannya dari hotel. Sekalipun si wanita bergaun putih telah masuk ke dalam rumah dan menutup semua akses masuk rapat-rapat, bukannya lekas pergi, orang aneh itu malah menggunakan segala cara untuk masuk. Sampai akhirnya, ia dapat memasuki kediaman sang target dengan menghancurkan pintu menggunakan sebilah kapak.
Wanita bergaun putih melangkah mundur. Ia menilik ke sekeliling, dan menunjukkan sebuah gunting tergeletak di meja. Menjumpai hal itu, dirinya cergas meraihnya, lalu mengarahkan ujung lancipnya pada si jubah hitam. “Menjauhlah dariku jika kamu masih ingin hidup!” Dia menggertak, berpikir bahwa orang misterius di hadapannya saat ini, akan bergidik ketakutan setelah diancam.
“Wanita pendosa sepertimu memang patut untukku singkirkan.” Sosok misterius tersebut membuka tudung jubah berserta masker hitam yang ia pakai. Dia memiliki ciri-ciri fisik yang rupawan. Kulit putihnya pucat dengan kelopak mata yang ganda, serta warna bibir merah alami. Bisa dibilang kalau dirinya tergolong pria yang tampan, tapi di lain sisi, terlihat menyeramkan.
Pria tersebut berjalan selangkah demi selangkah menghampiri wanita bergaun putih yang mencengkeram erat gunting di tangannya. Sosok berjubah hitam mengulas senyum sembari mengusap pipi targetnya dengan lembut.
Sewaktu wanita bergaun putih lengah, pria berkulit putih pucat itu lekas memanfaatkan kesempatannya. Dia merebut gunting, dan menikam ulu hati si wanita. Tak sekedar menikamnya, ia turut memutar guntingnya, dan diakhiri dengan mencabutnya dari tubuh.
Wanita bergaun putih sontak terjatuh, dan terkapar di lantai dengan tubuh yang berlumuran darah.
Sesaat dirinya akan pergi, terdengar samar derap langkah kaki yang berjalan menuju tempatnya berada. Pria berjubah hitam lantas bersembunyi, dan putuskan untuk tinggal selama beberapa saat untuk memastikan suatu hal.
Tak lama setelahnya, seorang remaja berkisar 12 tahun, menghampiri jasad wanita bergaun putih yang terkapar di lantai bersimbah darah. Anak itu terduduk lemas menjumpai sang ibu yang pulang dengan keadaan tak bernyawa.
“Mah?” remaja itu menyentuh tangan sang ibu yang dingin. Ia masih tak percaya dengan yang dilihatnya, dan kali ini dia mengguncang tubuh wanita bergaun putih sembari memanggil-manggilnya.
Meski sekuat apapun ia mengguncang tubuhnya, atau sekeras apapun dia memanggil namanya, namun, sang ibu tak menunjukkan respon sedikitpun.
Wajahnya memucat, sementara bibirnya bergetar menahan sesak. Cairan bening mulai luruh dari netranya, pandangannya memburam lantaran air mata yang tak terbendung. Remaja itu menundukkan kepalanya. Ia menangis dalam keheningan malam, bersama dengan angin dingin yang berhembus.
Banyak yang bilang, sebagai pria tidak seharusnya menangis. Tetapi, apa jadinya jika tiba-tiba melihat orang yang amat disayangi, terkapar berlumuran darah. Padahal, kita sudah cukup lama menantikannya pulang.
Berselang beberapa waktu, pria berkulit putih berjalan mengendap-endap mendatangi remaja yang menangis tersedu-sedu melihat ibunya yang tewas. Ia menepuk bahu anak itu, membuatnya sontak menoleh ke belakang.
“Anda siapa?” tanya si remaja sesaat melihatnya.
Pria berjubah hitam mengukir senyum tipis seraya membelai rambut remaja polos di hadapannya. Setelah itu, ia mendekatkan bibirnya pada telinga si anak wanita bergaun putih, dan berbisik, “Akulah orang yang menghabisi nyawa Ibumu.”
Remaja tersebut sontak terpaku. Kedua matanya terbelalak lebar mendengar apa yang dibisikannya. “Anda berbohong, ‘kan?” Ia bertanya, tak percaya dengan situasinya saat ini.