Hari pertama di kelas XII IPA 2 dan aku sudah menghela napas panjang. Semester ini tidak akan mudah karena selain pendalaman materi yang harus dilakukan setiap pulang sekolah, akan ada banyak ujian praktik.
Salah satunya mata pelajaran Kesenian. Dan, guru Kesenian kelas XII adalah Pak Jamil Gentayangan—nama akun Twitter-nya, bukan sebutan dari kami para murid—yang saat ini sedang membacakan pembagian kelompok untuk ujian praktik nanti. Aku tidak terlalu mendengarkan, justru sibuk menatap teman-teman baruku. Sejak penjurusan di awal masuk kelas XI sampai sekarang saat aku naik ke kelas XII, teman kelasku selalu berubah. Mungkin hanya beberapa orang yang kembali satu kelas denganku dan aku bersyukur sahabatku adalah salah satunya.
“Lo ingat, nggak, tahun kemarin kakak kelas kita mau loncat dari atap karena ujian praktik seni ini?” bisik Gieva.
Aku menaikkan alis. Serahkan kepada Gieva urusan gosip-gosip dari berbagai angkatan juga kalangan. Aku yakin Gieva bahkan tahu nama lengkap setiap subjek gosipnya.
Gieva adalah seorang gadis bertubuh langsing dengan rambut lurus bagai lidi. Matanya sipit, dengan senyum lebar yang selalu berhasil membuat matanya tertutup. Dia sahabatku sejak detik pertama menapaki gerbang SMAN ini dan selama dua tahun terakhir, Gieva telah menjadi salah seorang bagian terpenting dalam hidupku.
“Nggak usah sok naikin alis. Gue tahu alis lo bagus, tebel, item. Bikin bete, tahu,” gerutunya.
Aku menahan tawa. Berbeda dengan Gieva, tubuhku tidak langsing, meskipun tidak gemuk juga. Rambutku lurus, tapi tidak selurus rambutnya. Dan, aku tidak memiliki bakat bergosip.
“Kenapa mereka mau loncat dari atap?” balasku berbisik.
Dengan membelalakkan mata, Gieva berkata, “Ih! Lo nggak denger barusan? Kita disuruh aransemen lagu secara total! Harus dipentasin dalam waktu lima bulan, lengkap pakai kostum, video klip—entah buat apa—juga koreografi. Gue aja siap terjun dari atap sekarang!”