“Makhluk aneh omongannya memang selalu aneh-aneh, ya,” sahutku sengit.
“Orang yang lo panggil makhluk aneh ini punya nama. Nggak usah pura-pura nggak suka sama nama keren gue, deh,” balasnya penuh percaya diri. Lalu, bersama dengan senyum lebar, dia mengedipkan satu matanya.
Aku membuka mulut, siap berdebat, tapi perhatian orang-orang sudah tertuju kepada Rahmat yang berseru untuk meminta kami memilih lagu. Beberapa detik kemudian, suara tawa terdengar. Aku menoleh, hanya untuk melihat dia sedang tertawa lepas bersama Dewa dan Widyo. Dan, ingatanku terlempar pada dua tahun yang lalu, saat kali pertama aku melihatnya ….
YYY
Bagaimana bisa dia tertawa sebebas itu?
Pertanyaanku menggema dalam pikiran, sedangkan mataku menangkap sesosok pemuda dengan tawa terurai tanpa beban. Tubuhnya yang cukup tinggi membungkuk demi menahan gelak tawa. Dia berdiri di antara puluhan temannya, di depan pintu kelas X 8, dan masih berusaha bicara yang hanya membuat tawanya semakin keras.
Saat itu juga, aku merasa hidupku berputar dalam kecepatan tinggi. Aku tidak tahu alasannya, tapi aku terpesona. Aku terperangkap dalam tawa ringan seorang pemuda yang bahkan tidak dapat kulihat dengan jelas wajahnya, hanya bisa kudengar tawanya.
“Lo ngapain? Ayo, katanya tadi haus tingkat dewa,” tegur Gieva sambil menarik lenganku.
Aku tergagap dan tanpa daya berjalan mengikutinya.
Seluruh rasa haus yang sebelumnya kurasakan menguap entah ke mana. Karena kini segala hal yang dapat menghuni benakku adalah sosok asing penuh iringan tawa itu. Aku bahkan tidak menyadari kami sudah masuk ke area kantin yang terdiri atas beberapa kios yang berjajar—ada mi ayam, aneka jus, juga jajanan kemasan—dan Gieva memesankan segelas es teh manis untukku. Aku masih melamun hingga akhirnya Gieva menepuk pipiku dengan gemas.
“Lo kenapa, Rum? Tadi heboh bilang kehausan, sekarang malah ngelamun. Kesambet dedemit, ya? Kalau ganteng, bagi ke gue, dong,” cerocosnya tak acuh sambil duduk di salah satu kursi dekat kios jus.
Aku mengabaikannya dan menyeruput es teh manis perlahan. Suasana bising di sekitar kami bahkan tidak mampu membuatku keluar dari benakku. Aku masih dihantui tawa itu.
“Bumi memanggil Arrum Lanisa! Mayday! Mayday! Lo kenapa?! Jangan bikin gue takut! Gue nggak serius waktu bilang mau dibagi dedemit, biarpun ganteng,” kata Gieva panik.
“Gue lihat cowok ganteng di depan kelas X 8 tadi. Dia lagi ketawa, ngakak bebas … ah, susah dijelaskan,” ucapku dengan satu gelengan kepala.
Gieva mengerutkan kening. “X 8? Memang ada cowok ganteng, ya, di sana? Lo ingat, nggak, ocehan Bu Sita kemarin, yang katanya anak X 8 itu isinya calon dedemit semua?”
Aku berdecak. “Lo apaan sih, ngomongnya dedemit melulu? Gue kasih beneran baru tahu rasa.”
Sambil menyengir kuda, Gieva membalas, “Jangan, dong. Gue kan, calon Putri Indonesia tahun depan. Lagian lo kenapa juga sensi banget? Es teh manis gue yang traktir, tuh.”