Lace termenung menatap langit malam yang tertutup awan mendung.
"Apa yang sedang kau lakukan, Lace?"
Lace terkejut. "Ayah?"
Lace berjalan mendekati Tuan Schneider dan mendorong kursi roda ayahnya dengan perlahan.
"Bagaimana, Lace?"
Lace menunduk. "Lace ... Lace tidak yakin, Ayah."
Tuan Schneider hanya tersenyum. "Lace, akademi adalah sebuah tempat untuk belajar, dan kau pergi ke sana karena kau seorang pelajar. Kalah dan gagal adalah hal yang akan sering kau dapati untuk mendapatkan suatu pelajaran."
Lace terdiam.
"Ingat, Lace. Akademi bukanlah tempat persaingan. Kau hanya perlu mengetahui apa tujuanmu ke sana."
Lace menghela nafas.
Tuan Schneider tersenyum menatap Lace dari kaca jendela. "Lace, anak Ayah adalah seorang pejuang."
Lace akhirnya mengangguk. "Baiklah."
Tuan Schneider mengambil kain rajutan Lace di atas meja yang belum selesai.
"Kau suka merajut, Lace. Namun, kau belum menyelesaikan ini sejak lama?" tanya Tuan Schneider.
"Lace tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya."
"Barangkali, Lace ... kau akan menemukan apa yang kurang dari rajutanmu jika kau pergi ke sana, apa yang kurang untuk mengakhiri sebuah rajutan."
Lace menghela nafas setelah ayahnya keluar ruangan. Ia harus meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar baik-baik saja. Lace menatap langit malam, mengingat kembali kejadian tadi pagi. Ya, semua hal itu bermula saat pagi tadi.
LACE mulai membuka tirai jendela dan membersihkan beberapa alat untuk merajut yang tersebar di lantai kamarnya. Lace membuka jendela lebar-lebar dan termenung di sana sesaat. Digenggamnya terdapat sebuah kain rajutan bermotif burung yang belum selesai dibuat. Ia kembali memikirkan percakapannya dengan adik lelakinya beberapa waktu lalu, sesaat sebelum masuknya tahun ajaran baru.