Keluarga dan para wali hanya diperbolehkan mengantar sampai di luar gerbang. Kedua Monsieter yang bertugas menyambut di depan gerbang benteng raksasa, yang hanya bisa dibuka dengan Potrait khusus.
Namun, hal tersebut tidak berarti banyak bagi Luze. Tidak ada keluarga ataupun wali. Kedudukan Bibi Kopi baginya hanyalah inang rumah tempatnya tinggal, dan wanita tua itu harus membuka tokonya.
Setelah berbagai drama perpisahan telah selesai dan hanya tersisa para calon siswa, Seorang Monsieter itu merapalkan kalimat-kalimat rumit, cahaya ungu menyeruak dari tubuh mereka, berbentuk seperti lecutan cambuk, menjalari pintu gerbang yang terbuat dari batu. Batu tersebut secara perlahan tergeser, mengeluarkan bunyi gesekan yang mirip auman singa dalam gua, sementara itu Monsieter yang seorang lagi menggiring para calon siswa seperti kawanan biri-biri, memasuki benteng Akademi.
Luze melirik ke belakang. Gerbang itu telah ditutup kembali, hanya saja tampilannya berbeda, dari dalam tidak tampak satu pun garis pintu, seolah batu besar tadi menyatu dengan bagian benteng lainnya. Mungkin jika ia kembali lagi kemari setelah menyelesaikan masa pembelajarannya, ia akan lupa bahwa pernah ada satu pintu di tempat tersebut.
Terdengar bisik-bisik yang semakin lama semakin keras seperti dengungan lebah dari barisan depan.
"Apa maksudnya semua ini? Jurang?" pekik seseorang.
Para calon siswa itu refleks berjalan mundur, menyebar ke samping, membukakan jalan bagi Luze untuk melihat keadaan sebenarnya.
Di hadapannya, berjarak sekitar seratus meter, berdiri menara Akademi Crivelli yang menjulang tinggi. Luze tidak dapat melihat puncaknya untuk saat ini. Namun, yang membuat para calon siswa tercegang bukanlah menara yang terlihat menakjubkan tersebut, melainkan jurang pemisah yang mengelilingi menara.
Luze tersenyum kecil, membayangkan dirinya tersandung untuk saat ini dan dengan tidak sengaja mendorong seorang gadis di hadapannya akan menyebabkan akhir yang dramatis.
Kedua Monsieter itu berdiri tepat di pinggir jurang, sekali lagi merapalkan kalimat-kalimat, cahaya Potrait melecut keluar. Terdengar bunyi gemuruh dari arah bawah sana, batu-batu raksasa terangkat, seperti potongan puzzle, menyatu satu sama lain, membentuk jalan setapak dengan rapi.