Crossing on My Path

Arlindya Sari
Chapter #1

Prolog

Tak tik tok…, suara detak jarum jam di dinding kamar yang lembab mengisi keheningan sepertiga malam. Disisi kanan tempat tidur ukuran double-bed itu tergeletak dengan pulas seorang wanita setengah abad dengan garis-garis rambut yang telah memutih. Bola mata coklat gadis muda itu masih terbelalak dan berlarian kesana kemari seolah ikut berjalan mengikuti alur pikiran yang tak tentu arah. Tak kunjung dapat memejamkan mata, gadis muda berambut ikal nan pirang dan berparas oriental itu perlahan-lahan bergerak turun dari tempat tidur, berusaha meminimalisisr suara agar tidak membangunkan sosok yang tidur  disebelahnya. Keran air di kamar mandi yang berjarak lima meter dari kamar itupun diputar perlahan-lahan oleh gadis muda tersebut hingga menimbulkan suara gemericik air yang jatuh membasahi lantai keramik yang mulai berlumut. Bibir mungil gadis muda itu seperti mengucapkan sesuatu, kemudian ia mulai membasuh tangan, wajah dan kakinya. Air wudhu yang membasuh kulitnya itu sedikit mengalirkan ketenangan. Kembali ke kamar, ia mulai menggelar sajadah tipis berwarna merah oleh-oleh dari Mekkah dan memasangkan seperangkat mukena ke tubuhnya, kemudian melantunkan ayat-ayat suci dalam gerakan sholat. Di akhir rakaat, ia menyentuhkan dahinya diatas sajadah dalam waktu yang cukup lama untuk melangitkan doa. Dua rakaat di sepertiga malam itu membuat hatinya kembali tenang dan perlahan menuju keperaduan malam. Sosok disebelahnya tak sengaja telah terbangun sejak tadi oleh suara gemericik air di kamar mandi dan diam-diam memperhatikan gerak gerik anak gadis semata wayangnya itu.

Sudah tiga bulan gadis muda itu mengalami insomnia. Mondar-mandir di dapur mencari sesuatu yang bisa dikunyah hanyalah pembunuh waktu atas malam yang terasa lebih panjang. Pikirannya riuh bagai pasar malam dengan berbagai angan dan cita-cita yang berseliweran. Semangat idealisme yang tinggi telah memonopoli jiwa dan pikirannya. Mimpinya untuk segera membahagiakan dan membanggakan kedua orang tuanya telah menghantui malam-malamnya. Sosok eksekutif muda dalam balutan jas kantor profesional di sebuah perkantoran bergedung tinggi ditengah ibukota dan mengendarai sebuah mobil eksklusif adalah sosok ideal yang menjadi standard-nya untuk melukis senyum kebanggan di wajah kedua orang tuanya. Sialnya, mimpi itu membangunkannya pada kenyataan bahwa ia hanyalah seorang mahasiswi yang sedang menganggur, menunggu antrian jadwal sidang skripsi yang akan jatuh tahun depan. Usahanya yang cukup keras untuk mengejar mata kuliah S1-nya dalam empat tahun itu nyatanya tak memuluskan jalannya menuju sidang skripsi. Nyinyiran dan cibiran karena melangkahi mata kuliah kakak kelas adalah makanan sehari-hari yang harus ditelannya. Tak ingin membebani orang tua lagi dengan hutang untuk biaya kuliah, modal ijazah SMA pun tak mampu membukakan jalannya untuk menggapai mimpi.

Insomnia itu telah menumbangkan gadis muda itu hingga tak mampu menahan bulir-bulir air mata yang keluar di pelupuk mata karena menahan sakit di kepala. Seorang ibu selalu memiliki ikatan batin dengan anaknya, apapun yang dirasakan sang anak akan sampai ke kalbu sang ibu. Rasa tak tega melihat keadaan anaknya, sang ibu berusaha mencari jalan keluar untuk menenangkan pikiran anak perempuan satu-satunya itu. Sang ibu membuka group chat keluarga dan berkonsultasi dengan salah satu anggota keluarga tersebut hingga akhirnya membuahkan suatu titik terang. Seseorang yang dianggap sangat spiritual menjadi pelabuhan terakhir untuk memberikan solusi bagi anak perempuan satu-satunya itu. Kekhawatiran sang ibu sirna tatkala gadis muda itu tak merasa keberatan atau tersinggung, bahkan gadis muda itu sangat setuju karena sadar ingin segera keluar dari masalah yang telah membelenggunya itu. Beberapa kali gadis muda dan ibunya itu mengikuti terapi yang dihelat setiap malam Jumat disebuah pendopo yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Setiap minggu mereka berangkat malam hari melewati keramaian pasar ikan dengan bau anyir yang menyengat. Berbagai doa yang diajarkan telah dipanjatkan selama terapi yang berlangsung hingga subuh itu. Doa yang dipanjatkan pun tak lain dan tak bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan, doa anak muda yang idealis yang bagi sebagian besar orang dewasa dengan masalah yang lebih pelik adalah bukan doa yang paling krusial. Pikiran polos seorang anak muda yang belum memiliki beban hidup seperti orang dewasa, yaitu niat yang mulia untuk lepas dari beban orang tua dan segera membalas budi. Kehidupan yang pas-pasan bahkan terkadang kurang, menyiratkan rasa iba kepada orang tuanya untuk tidak lama-lama lagi pontang-panting membiayai kuliahnya. Idealisme tinggi anak kuliahan untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah itu telah sukses menyita pikirannya.

Lihat selengkapnya