Setahun lalu, tepat empat tahun gadis muda itu menyelesaikan mata kuliahnya. Ia termasuk mahasiswi yang cerdas dikampusnya dengan IPK yang selalu diatas 3.5 setiap semester. Kampus yang tidak begitu elit karena keterbatasan biaya, mengajarkan hidup bagi gadis muda itu bahwa nilai tidak selalu yang utama, tetapi ditempat itu ia belajar untuk berbicara dan bersosialisasi, sesuatu yang tidak bisa dilakukannya semasa SMA. SMA favorit tempat sekolahnya dulu yang dipenuhi anak-anak ber-IQ tinggi dan berkehidupan mewah secara tak sadar membuatnya kecil hati hingga terdiam seribu bahasa. Di kampus itulah ia mengenal teman-teman yang berstatus sosial menengah kebawah, namun membuatnya nyaman dan percaya diri untuk bergaul. Indy adalah sapaan teman-teman untuk gadis muda itu. Dengan pergaulan ditempat itu pula lah ia mulai terbuka hingga mengenal kehidupan asmara untuk pertama kali. Cinta pertamanya yang begitu dalam dengan seorang kakak kelas yang menjadi idola basket di bangku SMA dan selalu mengendarai mobil mewah itu menyadarkan dirinya yang bagaikan punduk merindukan bulan dengan kondisi keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan diusia yang masih sangat muda, ia telah dipusingkan dengan pikiran untuk mencari uang dari mana, dikala teman-teman sebayanya sedang asik hangout di mall untuk menghamburkan uang.
Di kampus yang terlihat jauh dari kata bagus itu ia bertemu banyak anak laki-laki kategori biasa bahkan dibawah standard bila dibandingkan teman-teman SMA-nya. Banting setir, menyadari ia bukan dari kalangan elit, ia membuka hati untuk teman laki-laki yang biasa itu untuk dekat dengannya. Murah senyum adalah gaya Indy untuk menyapa ramah teman-teman yang baru dikenalnya di kampus itu. Suatu ketika senyumannya itu menjadi magnet bagi seorang bertubuh kekar dengan wajah hitam manis yang langsung terpincut dengan sapaan ramah khas Indy tersebut. Tak biasa mendapatkan senyuman manis dari seorang gadis, laki-laki itu menganggap pesonanya telah memikat gadis tersebut. Perasaan itu mulai tumbuh dan menggerakkan hasrat laki-laki yang bernama Andri itu untuk mendekati sosok perempuan yang dianggapnya sangat manis dan lembut. Sayangnya, sifat pemalu yang menjadi karakter Indy sejak kecil justru merusak suasana. Tak kuasa menahan jantung yang berdegup kencang tatkala laki-laki itu mendekat, Indy merasa tak bisa berdiri lama-lama lagi didekat Andri. Spontan Indy meninggalkan Andri sendirian dan membuat Andri kecewa bercampur bingung dengan sikap Indy. Perasaan ditolak dan dijauhi, itulah yang dirasakan Andri. Padahal itu adalah sikap yang wajar bila seseorang memiliki perasaan terhadap lawan jenis yang sedang mendekatinya, justru akan terkesan menghindar. Andri adalah sosok sederhana yang berasal dari keluarga kurang berada. Namun tingkahnya yang humoris telah membuat dunia Indy menjadi berwarna-warni dan sejenak terlupakan akan sosok kakak kelas yang tak kesampaian itu. Melalui telpon yang intens selama berjam-jam setiap malam, Andri mampu menciptakan gelak tawa dan rasa bahagia untuk Indy.
Gerak gerik yang kikuk diantara mereka menyiratkan mereka bukan teman biasa. Ada rasa diantara mereka berdua yang membuat suasana kaku saat bertemu, dan pemandangan itu tertangkap mata oleh teman-teman mereka. Rumor itu menjalar sangat cepat hingga satu angkatan tak ketinggalan dengan kabar kedekatan mereka. Mereka saling memendam rasa hingga satu tahun. Hanya tatapan mata dan senyuman yang menyalurkan isi hati mereka masing-masing.
“Semester depan baru gue bisa jadian sama dia”, ucap Andri ketika Heny dengan gregetnya menanyakan kejelasan sikap Andri.
Heny mengagumi sikap Indy yang santun dan terlihat bagai anak baik-baik hingga membuatnya ingin bertemen dekat. Heny adalah sahabat dekat Indy yang pertama, maka Heny selalu memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya itu.
“Untuk apa nunggu semester depan, nunggu apa sih dia?”, pertanyaan itu terlintas dikepala Indy dengan penuh rasa heran.
Pulang kuliah, seperti biasa Indy selalu duduk di balai bambu pertigaan dekat kampusnya, tempat para tukang ojek mangkal menunggu orderan. Indy pun ikut mangkal di tempat itu bersama para tukang ojek untuk menunggu bis yang lewat.
“In, si Andri lagi sakit tipes tuh. Kasian…kurus banget loh dia sekarang. “Tengokin yuk, gue temenin”, Binsar teman dekat Andri di kampus menghampiri Indy dengan wajah gusar dan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
“Hah…beneraan? Gimana keadaannya sekarang?”, Indy kaget dan merasa cemas dengan kondisi Andri.
Bergegas Indy bangkit dari duduknya sambil merogoh dompet dari dalam tasnya. Ketika dibukanya dompet itu, ternyata hanya tersisa satu lembar uang kertas untuk ongkosnya pulang, tidak akan cukup untuk ongkos ke rumah Andri yang berada diluar kota. Namun Indy merasa tak peduli, bagaimanapun ia harus sampai di rumah Andri, pikirnya. Ternyata Binsar sudah mempersiapkannya dan menawarkan untuk membayar ongkos Indy. Bis patas yang mereka tumpangi pun melaju sekitar dua jam. Jarak yang jauh memberikan waktu yang cukup lama untuk mereka mengobrol hingga perjalanan jadi tak terasa, walaupun hawa didalam bis itu terasa pengap karena tidak ada AC. Setelah keluar dari tol dalam kota, bis itu sampai di persimpangan jalan besar. Mereka turun dan melanjutkan berjalan kaki dibawah terik matahari melewati jalan yang rusak dengan bebatuan besar.
Indy melihat rumah Andri yang tampak sederhana dengan dinding yang sebagian terbuat dari tembok dan sebagian lagi terbuat dari kayu. Memasuki rumahnya, mereka menapaki lantai yang masih terbuat dari tanah liat. Pemandangan yang sangat miris yang dilihat Indy mengenai keadaan keluarga Andri. Mereka dijamu dengan sederhana oleh secangkir teh dan potongan buah pepaya. Andri menampakkan diri dari kamarnya dengan rambut yang kusut, namun raut wajahnya terlihat bahagia melihat kehadiran Indy. Binsar tak banyak bicara, hanya duduk dipojokan sambil kembali menghisap rokoknya. Ia hanya menemani mereka berdua mengobrol, memberi kesempatan kepada dua temannya itu untuk lebih dekat lagi. Binsar sangat tahu perasaan yang dipendam sahabatnya itu. Hari pun mulai beranjak sore, Binsar dan Indy akhirnya pamit pulang. Kembali Binsar merogoh koceknya untuk ongkos Indy pulang. Entah apa yang membuat Indy nekat pergi jauh tanpa uang yang cukup hanya untuk menjenguk Andri. Sebuah pengorbanan dan perjuangan yang spontan dari hati tanpa ia pikirkan, yang ada dibenaknya hanya rasa khawatir. Bahkan tak terpikirkan kalau ia harus pulang sendiri dan tak punya uang cukup untuk ongkos pulang kalau bukan karena Binsar yang membantunya.
*****
Di lingkungan rumahnya, Indy sangat jarang bergaul, tak seperti anak-anak sebayanya yang kerap menghabiskan malam minggu di tempat tongkrongan komplek rumah. Di seberang gang rumahnya, ada sosok laki-laki sebayanya yang diam-diam memperhatikan ada gadis manis yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Harie sedang kuliah penerbangan di Bandung, membuat penampilannya yang plontos menjadi ciri khas sekolah militer. Jarang sekali dia datang mengunjungi ibunya yang tinggal di komplek itu, hingga ia baru menyadari keberadaan gadis semanis Indy dikomplek tersebut. Sikapnya yang supel membuat pergaulan Harie cukup luas, bahkan semua anak komplek mengenalnya sebagai aktifis di kegiatan remaja mesjid komplek rumah. Alih-alih mencari cara untuk dekat dengan gadis di seberang gang rumahnya itu, Harie mendekati Indy dan mengajaknya ikut kegiatan di remaja mesjid. Loncat kegirangan didepan teman-temannya adalah ekspresi Harie saat merasakan bahagia sekaligus bangga bisa mengenalkan Indy kepada teman-teman remaja mesjid lainnya.