“Apaan sih telpon-telpon…lagi meeting tau, ganggu aja!”, ucapan Indy dengan nada berbisik, takut terdengar peserta meeting lainnya, dari balik ponsel saat Toby menghubunginya.
Indy segera mematikan telpon itu dan kembali fokus mendengarkan materi meeting pagi itu. Toby saat itu belum menyelesaikan mata kuliahnya, sedangkan Indy sudah bekerja di perusahaan asing. Toby gelisah karena lama tak dengar kabar dari Indy, dan rasa rindu dengan suara Indy itu telah menderanya hingga tak tahan untuk segera menghubungi Indy. Entah mengapa dengan teganya Indy bersikap sombong seperti itu, ia tidak mengerti dan peduli dengan kondisi dan perasaan Toby saat itu, hanya terlena dengan status barunya saat ini sebagai pekerja kantoran seperti cita-citanya selama ini.
Perasaan sedih berkecamuk di dada Toby, “Apa Indy udah gak peduli lagi sama gue?
Beberapa malam kemudian, Toby kembali mencoba menelpon Indy. Pikirnya, malam hari adalah waktu yang tepat dan tidak akan mengganggu waktu Indy.
“Ngapain sih malam-malam telpon? aku capek tau baru pulang kerja, pusing lagi nih kepalaku, pengen tidur”, Indy pun langsung mematikan telpon dari Toby itu.
Natali yang berada satu kamar dengan Indy, tak sengaja mendengarkan percakapan itu, “Kasar banget sih lo, kasian kan dia”, ujarnya.
Di hati Indy sedang tidak ada Toby saat itu, dia terlalu serius dan semangat dengan pekerjaan dan dunia barunya, hingga melupakan Toby. Hubungan mereka mereka sering putus nyambung beberapa kali selama tiga tahun hubungan mereka, dan kali ini adalah kesempatan Indy untuk benar-benar lepas dari Toby. Rasa hampa dan komunikasi yang tak pernah nyambung adalah penyebab emosi Indy selalu tersulut saat bersama Toby. Apapun yang diucapkan Indy terasa tdak masuk dalam otak Toby. Sementara jarak antara mereka berdua yang semakin jauh ini menjadi mimpi buruk bagi Toby, karena ia tidak pernah mau kehilangan Indy sedetikpun seperti masa kuliah dahulu. Indy adalah cinta pertama dan cinta terindah yang pernah dimilikinya.
*****
“Cewek…..godain kita dong!”, sapaan Hadi dengan kerlingan mata kirinya kepada Indy di suatu sore selepas jam kerja. Tingkah Hadi itu memberikan kesan nakal dan justru membuat Indy jadi takut. Tubuh gempal Hadi dengan rambut acak-acakan semakin menegaskan dirinya sebagai laki-laki nakal dengan rayuan gombal seperti itu, begitulah yang ada di benak Indy. Indy pun tidak menggubrisnya, malah memalingkan muka dengan dahi mengkerut karena merasa aneh. Sikap penolakan dari Indy tersebut membuat Hadi melaju kencang dengan sepeda motornya dengan perasaan sakit hati, dan tak pernah menegur Indy lagi sejak saat itu.
Sementara, Herry yang selalu terlihat santai, keesokan harinya menghampiri Indy di meja meeting produksi seraya berkata, “Elo mah tinggal tunjuk aja In….gak perlu milih lagi”. Diam-diam Herry mengagumi Indy. Menurutnya semua laki-laki di kantor itu tak ada yang tak mau dengan Indy, karena wajahnya yang manis dan sejuk dipandang mata serta perangainya yang keibuan dan sabar. Tak sengaja tangan Herry yang terasa dingin bagai es itu menyentuh lengan Indy, membuat hati Indy bergetar. Efek dari putus cinta dengan kekasihnya, tak hanya membuat hatinya dingin, tapi juga darah dan suhu tubuhnya ikut mendingin. Putus asa dengan mantan kekasihnya, Herry mencoba membuka hati lagi dan mendekati Indy.
“Gue setuju kok lo sama dia, Her”, Rahma yang memperhatikan gerak-gerik teman SMA-nya yang sedang flirting itu memberikan dukungan, walaupun Rahma bersahabat dengan mantan kekasih Herry, namun ia tahu hubungan mereka telah usai.
Getaran-getaran itu sempat merambat di aliran darah Indy, tapi nyatanya tak pernah berlanjut lebih serius, bahkan hanya sebatas angin lalu belaka disaat Herry kembali ke pelukan mantan kekasihnya itu.
“Gue putus karena dia gak mau diajak nikah In. Sekarang dia minta balik lagi sama gue”, curhat Herry yang sekaligus membuyarkan harapan Indy.