Pak Fadil sebagai Manager HRD adalah pahlawan bagi Nando, karena beliaulah yang telah berjasa memasukkan Nando ke perusahaan itu. Nando, walaupun lulusan luar negeri, tapi bukan dari negara dan universitas terkemuka, hingga ia tidak serta merta lancar melamar pekerjaan di Indonesia. Kedekatan suku dengan Nando serta jabatan yang dipegangnya, membuat Pak Fadil dengan mudahnya meloloskan Nando masuk ke perusahaan itu. Namun tak pernah ada yang menyangka manajemen perusahaan akan berubah. Direktur utama perusahaan Mr.Tanaka harus kembali ke negara asalnya di Jepang, hingga digantikan oleh Mr.Nagoya yang sebelumnya menjabat sebagai manager produksi. Perubahan Dirut itu merubah sedikit manajemen perusahaan. Ada beberapa departemen yang digabungkan, dihilangkan bahkan ada tambahan departemen baru. Tentu saja hal itu menimbulkan gesekan dengan departemen HRD, terutama dengan Pak Fadil yang telah membuat beberapa kontrak kerja dengan para karyawan. Ketidak cocokan persepsi antara HRD dan Dirut ini semakin meruncing dan memanas, hingga jalan keluarnya adalah salah satu dari mereka harus mengalah. Pak Fadil memilih hengkang dari perusahaan karena sudah tidak sejalan dengan pemikiran Dirut yang baru. Tak lama posisinya digantikan oleh Pak Ilham yang konon sudah mempunyai pengalaman yang cukup mumpuni. Nando sebagai orang bawaan Pak Fadil pun kini seperti kehilangan pegangan.
Peraturan baru diperusahaan mulai dikeluarkan dimasa jabatan Dirut yang baru. Dengan alasan cost down, perusahaan mulai melakukan perampingan karyawan. Apalagi orderan kini semakin menurun karena issue krisis ekonomi dunia. Beberapa karyawan kontrak tidak lagi diperpanjang masa kerjanya. Suasana sedih dan haru mulai meliputi ruang produksi saat satu persatu karyawan mengucapkan salam perpisahan. Kegelisahan para buruh pabrik lainnya tak bisa dihindari, mereka mulai meratapi nasib mereka kedepannya. Beberapa dari mereka mulai di PHK. Suasana berangsur panas disaat para buruh mulai menuntut hak pesangon mereka. Nando termasuk orang yang kritis dengan manajemen baru dan merasakan ketidakadilan itu. Sebagai pekerja yang tidak merasakan susah payahnya melamar pekerjaan, Nando tumbuh menjadi pekerja yang bermental gencar menuntut hak, namun lalai terhadap tanggung jawab. Posisi diatas angin dulu dimasa jabatan Pak Fadil telah berubah mejadi posisi kritis untuknya setelah tergantikan oleh Pak Ilham. Perasaan tidak aman mulai menghantuinya, karena Dirut yang baru tidak menyukai Pak Fadil dan ia mengkhawatirkan posisinya sendiri sebagai orang bawaan Pak Fadil. Rasa ketidaknyamanannya membuat Nando mulai berdesas desus di ruang marketing, Ia menyampaikan kegelisahan dan kekesalannya terhadap manajemen perusahaan saat itu.
Sementara itu, Natali semakin gerah melihat gerak-gerik Nando yang selalu mendekati Indy. Tak sedikitpun Nando melirik padanya, kecuali urusan pekerjaan. Bahkan Nando sudah memberanikan diri lagi mengajak Indy kencan.
“Nanti sore kita jalan yuk In, abis pulang kerja”, ajak Nando saat menghampiri ruangan produksi.
Ruang kerja yang terbuka tanpa sekat itu selalu dilalui para Supervisor yang lalu lalang untuk urusan pekerjaan. Saat ajakan Nando itu terucap, kebetulan sekali Natali sedang berada di ruangan itu, sedang sibuk mempersiapkan laporan. Walaupun suara bising mesin produksi terdengan sampai ke ruangan itu, Natali masih dapat menguping pembicaraan mereka berdua. Hawa panas mulai menjalar disekujur tubuh Natali, bukan karena AC ruangan yang sedang rusak, namun hatinya panas mengetahui rencana kencan Nando dan Indy nanti malam.
Menjelang sore, tiba-tiba Natali mengumumkan bahwa akan ada meeting produksi dadakan setelah jam pulang. Natali menceritakan kepada Pak Arman mengenai rumor yang mulai memanas dikalangan para buruh pabrik saat itu. Ia sengaja mengajak Pak Arman dan Pak Hendi untuk membahas masalah tersebut saat itu juga, hanya untuk menggagalkan rencana kencan Indy dengan Nando. Pak Armand dan Pak Hendi pun sepakat untuk mengumpulkan para leader dan Supervisor, sebagai penyambung lidah kepada para buruh pabrik, agar situasi tidak memanas.
“Yahh…gimana nih rencana kencan gue sama Nando, kenapa sih dadakan banget”, pikir Indy kesal sambil merengut.
Segera ia menuju ruangan Nando dan menghampirinya. Namun wajah Nando terlihat datar, seperti sudah tahu apa yang akan Indy katakan.
“Barusan ada pengumuman meeting produksi dadakan, gimana nih jadinya rencana kita?”, dengan nada kecewa Indy menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.
“Ya udah meeting aja dulu, nanti rencana kita pas lo udah ada waktu aja”, jawab Nando tenang dengan tatapan yang syahdu.
Indy menyesalkan keputusan meeting dadakan itu. Entah dari siapa datangnya ide itu, merusak rencananya saja, pikirnya. Indy tak sekedar introvert, namun isi kepalanya yang hanya dipenuhi oleh Nando membuatnya tidak peka dengan kehebohan situasi dan kondisi perusahaan saat itu. Hari itu terasa cepat berjalan hingga bel pulang pun berbunyi. Semua leader produksi dikumpulkan berikut para Supervisor. Pak Arman dan Pak Hendi sebagai Kepala Produksi memimpin jalannya meeting.
“Selamat sore semuanya. Kami ingin menyampaikan bahwa pesangon karyawan akan segera dibayarkan oleh pihak manajemen minggu depan. Harap semuanya tenang dan tertib”, seru pak Arman dengan suara khasnya yang lembut berlogat Sunda.
Suasana pun menjadi gaduh seketika dengan gerutuan para pekerja saat mendengar pengumuman tersebut dari para leader dan Supervisor Produksi. Muka masam dan cemberut mewarnai wajah-wajah mereka sore itu saat berhamburan keluar. Rasa tidak puas tersirat dari wajah mereka. Hanya angin surga, pikir mereka. Kabar berita seperti itu sudah sering mereka dengar beberapa minggu belakangan ini, namun tak ada satupun dari berita itu yang menjadi kenyataan.
*****
Pagi itu, tak seperti biasanya bis jemputan datang terlambat ditempat Indy menunggu, dibawah pertigaan lampu merah. Berdiri dibawah paparan matahari pagi selama setengah jam cukup mengalirkan bulir-bulir keringat dari sela-sela pelipis dahinya. Tak lama bis pun datang, namun dengan suasana yang sedikit berbeda. Terlihat banyak bangku yang kosong, tak seperti biasanya yang selalu penuh.
“Pada kemana ya karyawan hari ini?”, Indy bergumam dalam hati dengan wajah bingung, hingga menyiratkan garis-garis kecil di dahinya.
Suasana bis terasa lega dan sepi. Beberapa Supervisor laki-laki yang biasanya duduk di kursi belakang, hari ini tidak terlihat, termasuk Nando. Tiba di kantor, bis jemputan terlihat tak sebanyak biasanya, namun puluhan karyawan telah berhamparan memenuhi jalan raya depan kantor. Beberapa orang berteriak menahan bis agar tidak masuk, begitu pula dengan para karyawan yang ada didalam bis, mereka dipaksa untuk tidak masuk kedalam pabrik, tapi ikut turun dan berkumpul di jalanan.
“Loh, ada apa ini, kenapa nggak boleh masuk?”, ujar salah seorang karyawan didalam bis.
Indy pun merasa bingung dengan situasi tersebut, dengan perasaan kalang kabut karena ketakutan dengan beringasnya perilaku para buruh, ia berusaha menerobos masuk kerumunan masa bersama beberapa orang Supervisor untuk memasuki ruang kantor. Selamat masuk ke ruangan kantor, suasana didalam terlihat sepi, hanya ada beberapa orang Supervisor Produksi dan QC, termasuk Hadi, satu-satunya tim marketing yang tidak ikut demonstrasi tapi menerobos masuk kedalam ruangan kantor.