Segelintir orang di office yang tahu keberadaan Nando tak mau bersuara, sementara pihak manajemen masih gencar mencari Nando. Tuntutan perusahaan atas ganti rugi 1M karena berhentinya produksi selama demo berlangsung masih bergulir. Seorang karyawan mengatakan Nando telah bekerja disebuah perusahaan di daerah atas bantuan seorang teman di kantor itu. Suasana kerja menjadi sedikit tegang, sudah tak senyaman dulu. Dua minggu berlalu, Nando akhirnya menghilang dan tak ada kabar lagi. Semua itu untuk menghilangkan jejaknya, begitu juga dengan Herry. Posisi marketing yang kini kosong dua kursi itu membutuhkan penggantinya dengan segera. Pihak manajemen tak lagi membuka lowongan untuk karyawan baru untuk menghemat anggaran. Proses interview dilakukan dengan karyawan yang sudah ada saat ini. Pak Arman dan Pak Hendi mulai meng-interview para Supervisor Produksi dan Bahkan ibunda Toby berniat menjodohkan Toby dengan seorang gadis yang masih
satu per satu. Sebagian besar dari mereka menolak posisi yang ditawarkan karena tidak ada kesempatan untuk lembur. Lemburan menjadi nilai jual tersendiri untuk menambah pundi-pundi uang saat gajian. Berbeda dengan Indy yang sejak dulu tak pernah tertarik untuk lembur, bahkan sebisa mungkin ia berusaha menghindarinya. Baginya, hidup bukan untuk bekerja. Ia ingin menikmati sisi lain kehidupannya. Pandangannya tentang masa depanlah yang membentuk prinsipnya. Kelak disaat berkeluarga, ia tak mau waktunya habis untuk bekerja, bukan untuk keluarga.
“Prioritas yang utama tetap keluarga, bukan pekerjaan”, pikirnya.
Maka, sejak dini ia membiasakan diri untuk membagi waktunya tak melulu untuk pekerjaan, tapi juga untuk kehidupan pribadinya.
Hani si Supervisor baru dan Indy adalah dua orang yang bersedia menerima posisi marketing yang kosong tersebut dengan resiko tak ada lembur. Hal itu tentu saja tidak menjadi masalah buat Indy. Indy baru mengetahui kalau Hani adalah adik kelas di kampusnya dulu. Semasa kuliah Indy tak pernah mengenal Hani, tapi ternyata Hani mengenal Toby karena pernah bekerjasama dalam pembuatan skripsi tentang information technology.
“Oh dia cowok lo? bukan tipe gue sih, soalnya gak pinter, nanya mulu, hehe…..sorry ya?”, ungkap Hani saat Indy bercerita tentang kekasihnya dimasa kuliah itu.
Hani yang seminggu lebih dulu masuk ke departemen marketing menjadi tempat Indy untuk bertanya-tanya, namun kenyataannya banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Hani. Hal itu membuat harga diri Hani terjatuh. Kadang kala Hani terlihat ingin menunjukkan kemampuan trouble shooting-nya saat ada masalah dengan jaringan komputer mereka agar telihat lebih pintar di mata Indy dan mengangkat kembali harga dirinya. Persaingan yang tak tersirat itu membuat suasana sedikit tegang diantara mereka.
“Hi, I am Alice, can I speak to Indy, please?”. telepon pertama yang diterima Indy dari buyer yang berada di Singapore.
Di ujung telepon itu, Alice berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih hampir sepuluh menit lamanya tanpa henti untuk mengecek status order miliknya. Syarat utama untuk posisi marketing haruslah mahir berbahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dengan buyer baik melalui telepon atau email. Sebenarnya semua staff diwajibkan mengerti bahasa Inggris, karena para expat Jepang pun sehari-harinya selalu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan karyawannya. Namun, Alice berbicara sangat cepat, membuat Indy hanya bisa bengong mendengarnya. Hanya mengangguk tanda paham, Indy hanya menangkap inti dari pembicaraan yang ditanyakan Alice. Alice sengaja mengetes kemampuan bahasa Inggris Indy untuk memastikan ia dapat berkomunikasi dengan lancar kedepannya dengan Indy. Pelajaran bahasa Inggris yang benar-benar dari native speaker-nya langsung itu membuat Indy dipaksa belajar cepat secara outodidak. Tak pernah terbayangkan ia akan menjadi cas cis cus berbahasa Inggris seperti itu justru bukan dari kursus bahasa Inggris, namun karena tuntutan pekerjaan.
Posisi marketing memberikan rasa nyaman untuk Indy, namun tak bisa dihindari suasana yang sedikit kaku dengan Hani membuatnya sempat mengalami gesekan saat berebut line produksi. Lagi-lagi Indy tersandung masalah perebutan kapasitas produksi karena salah paham. Komuniksi yang buruk karena sifatnya yang pendiam telah menyulitkan dirinya sendiri. Entah mengapa leader produksi lebih memilih mengerjakan order Indy lebih dulu ketimbang orderan Hani. Raut wajah yang mengundang rasa iba menjadi keuntungan tersendiri untuk Indy. Hani mendatangi Indy dengan muka merah padam saat mengetahui hal itu. Ia geram karena ia yang lebih dulu mem-booking line produksi tersebut, namun justru orderan Indy yang dijalankan lebih dulu oleh leader produksi.
“Kok lo nyerobot line gue sih, In?”, serang Hani dengan muka cemberut dan mata melotot, menghampiri Indy.
“Loh, gue gak tau kalo lo udah booking duluan, gue cuma minta dijalanin aja order gue sama leader kok”, jawab Indy dengan nada gemetar, ketakutan dengan gertakan Hani.
“Saya gak pernah meminta orderan saya dijalankan lebih dulu, itu hanya inisiatif leader produksi saja”, jelasnya kepada Pak Arman yang menghampiri mereka untuk mencari penjelasan.
Pak Arman segera melerai percekcokan di pagi hari itu dan langsung memberikan pengarahan kepada semua leader produksi dalam meeting dadakan.
“Tolong untuk semua leader, setiap permintaan order mohon dilihat tanggal deadline-nya mana yang lebih urgent, bukan siapa yang minta lebih dulu”.
Suasana pun sedikit mencair setelah meeting itu, namun hati Indy dan Hani masih panas dan jadi saling membisu seharian itu. Ada rasa persaingan yang tersirat diantara mereka, karena mereka memegang customer yang berbeda dan sama-sama ingin terlihat yang terbaik dimata customer mereka masing-masing dan juga terlihat yang terbaik dimata Mr.Sakato, manajer mereka. Hal itu membuat team work mereka sedikit merenggang.
Pertemanan lintas negara dengan para buyer di Singapore, Hongkong dan Jepang membuat Indy merasakan mempunyai lingkungan pertemanan baru, dikala teman-teman pergaulannya dengan geng di kantor dan kost itu sedang menjauhinya. Lama-lama Indy merasakan keasyikan tersendiri dan seperti memiliki dunia baru, hingga tenggelam dalam suasana kerja yang akrab dengan para buyer luar negeri. Indy sebenarnya tipe gadis pendiam, namun bisa menjadi sangat supel bila lawan bicaranya bersikap ramah. Bahkan kolega seperti buyer di luar negeri pun dapat menjadi teman baiknya. Tak disadari, kini Indy tak menghiraukan lagi pertemanannya dengan geng di kantor dan kostnya itu. Bahkan Ia mulai tak peduli dan lebih bersikap masa bodo dengan teman-teman pergaulannya di kantor dan kost.
“Seneng banget gue bisa punya temen di luar negeri, keren banget kan”, Indy cekikikan sendiri didepan komputernya.