Tata yang lulusan D3 sempat merasa minder karena menganggap dirinya tak setara dengan Indy yang lulusan S1. Ia berusaha membuat dirinya layak dimata Indy dengan pindah kerja ke ibukota dan melanjutkan kuliah S1. Setelah mempunyai sesuatu yang bisa ia banggakan, Tata mulai percaya diri dan kembali menyambangi kost Indy, kali ini dengan mobil dinas perusahaan dan pakaian jas berdasi. Sabtu siang Tata kembali mengajak Indy jalan-jalan dengan mobil kebanggannya. Didalam mobil, mereka mengobrol tentang keadaan perusahaan saat ini dan juga kabar teman-teman lainnya. Indy menceritakan tentang kabar Nando di tempat kerja barunya.
“Kok kena shift sih, pasti dia kerja dibagian produksi itu. Gak mungkin di office kena shift”, Tata merasa heran dengan status Nando yang diceritakan Indy.
“Perusahaan Vietnam katanya, dibayar pake dollar”, Indy kembali membanggakan Nando.
“Hahaha…gak mungkin lagi buruh pabrik dibayar pake dollar, bullshit aja dia mah, ngomongnya ketinggian”, ledek Tata sambil tertawa nyinyir.
Perjalanan panjang akhirnya membuat mereka terdiam karena kehabisan bahan obrolan. Berkeliling ibukota di siang hari tanpa tujuan dengan suasana mobil tanpa suara radio atau musik membuat Indy dihinggapi rasa bosan dan mengantuk.
“Cari makan yuk, udah siang nih”, celetuk Indy memecah keheningan.
Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 12 siang dan perut Indy mulai mengeluarkan bunyi-bunyi aneh. Tata pun mulai kelimpungan, didompetnya hanya tersisa uang Rp.50.000,-, tak akan cukup untuk makan mereka berdua, pikirnya.
“Aku antar pulang aja ya ke rumah”, jawab Tata untuk menghindari permintaan Indy, berharap ia bisa ngirit dengan makan siang di rumah Indy saja.
Namun rasa galau menyelimutinya, tatkala saat kembali ke rumah, ia tidak akan punya waktu lebih lama lagi untuk berduaan dengan Indy. Tata pun tak kehilangan akal, ia berusaha membuat perjalanan lebih lama dengan berputar-putar di lokasi yang sama.
Namun, Indy menyadari posisinya kini yang hanya diputar-putar oleh Tata, “Kok, kesini lagi sih? sudah berapa kali kita lewat sini, muter-muter aja ini sih”.
Dengan kesal Indy membentak Tata minta turun, karena ular naga di perutnya sudah berontak minta makan. Sebenarnya, Indy tak pernah berharap Tata akan mentraktirnya makan, karena ia bukan tipe wanita seperti itu saat bersama mantan-mantanya terdahulu. Indy adalah tipe wanita mandiri yang tidak pernah mengharapkan previlege dari pasangannya. Baginya posisi wanita dan pria adalah sejajar, tak harus selalu pria yang memanjakan wanita. Namun rasa tak enak Tata dan etika yang dipegangnya membebani dirinya sendiri. Baginya kewajiban laki-laki lah untuk membahagiakan pasangannya. Dengan kesal, Indy turun meninggalkan Tata dan langsung meluncur ke warung pecel lele yang ada di seberang jalan. Indy juga wanita sederhana yang tidak terlalu memikirkan gengsi atau kemewahan. Mobil Tata terparkir seadanya karena ia terburu-buru mengejar Indy. Seporsi nasi, ayam goreng dan lalapan kemudian tiba dihadapan Indy dengan Tata yang duduk disampingnya menemani, hanya melihat tanpa memesan makanan. Mau tak mau Indy membayar makanannya sendiri.
Sore itu Tata sampai di rumah Indy dan bertemu dengan sang ayah yang sedang leyeh-leyeh di balai bambu yang terletak di pinggir kali dekat rumahnya. Dengan percaya diri, Tata mengajak ngobrol sang ayah yang menanggapinya sambil terkekeh dengan sepuntung rokok yang tak pernah lepas dari tangan. Tata adalah sosok pria gentle yang diharapkan Indy. Seandainya Nando bisa seperti itu, pikirnya. Ia tak menyadari telah memberikan Tata harapan dengan membiarkannya mengajak jalan-jalan dan kini bertemu dengan sang ayah. Sementara sang ayah tidak terlalu serius menanggapi obrolan Tata.
“In, ajakin Tata ke Bandung yuk, mumpung dia bawa mobil”, Eny merayu Indy untuk memenuhi hasrat belanjanya di FO Bandung. Bagi Tata, apa sih yang tidak bisa buat Indy. Eny mengambil kesempatan dari situasi ini, dan Tata pun menyanggupinya hanya karena Indy. Bagi Eny yang sehari-harinya hanya berkutat di pabrik, bisa jalan-jalan ke Bandung naik mobil adalah kesempatan langka yang tidak datang dua kali.
“Kapan lagi bisa refreshing jalan-jalan kayak gini, butek juga ngeliat isi pabrik terus-terusan”, pikirnya.
Mobil mungil milik Tata pun melaju kencang di jalan tol Cipularang membawa rombongan tiga wanita. Eny terlihat sumringah sejak pagi dengan baju bunga-bunga yang cerah, terlihat sangat modis ala mojang Bandung. Bersama Anti, leader produksi yang akrab dengannya tak hentinya mereka berkicau sepanjang jalan sambil menikmati pemandangan bukit yang disuguhkan di kanan kiri dari balik kaca mobil.
“Biarin aja…..itu tandanya dia lagi seneng”, ungkap Tata ketika Indy yang hanya senyam-senyum di kursi depan mendengarkan ocehan Eny, mulai menyeletuk sambil memperhatikan mereka berdua yang duduk di kursi belakang, “Gak capek apa kalian ngoceh terus dari tadi…..hehe”.
Walaupun mobil Tata tidak ada perangkat audio, namun suasana tetap seru dengan tingkah ceriwis Eny. Setibanya di kota kembang itu, mereka langsung menyambangi beberapa FO satu persatu dan keluar dengan membawa tentengan belanjaan masing-masing. Puas berbelanja, acara weekend hari itu dilanjutkan dengan hunting oleh-oleh dan kuliner Bandung disebuah pusat bakery yang terkenal di Bandung.
“Kapan lagi kan bisa manfaatin mobil Tata”, ujar Indy ketika menceritakan acara liburannya kepada Hadi ketika di kantor.
“Huh! Kalo gue sih, langsung gue turunin aja di tengah jalan biar pulang sendiri jalan kaki”, jawab Hadi dengan muka kecut, berpikir bahwa Indy sengaja memanfaatkan Tata.
Indy seketika terperangah dengan ucapan Hadi itu. Tak disangkanya Hadi berkomentar sekasar itu hingga membuatnya tak bergidik.
“Mungkin dia kesal dan rasa solidaritas membela sesama kaum pria saja”, Indy membatin untuk menghibur diri.
Departemen marketing menjadi tempat yang nyaman untuk Indy dan ia menemukan passion-nya disini. Berteman dengan para cowok yang asyik seperti Hadi dan Deny membuatnya kembali ceria. Kerap kali mereka bercanda hingga melontarkan kata-kata julid, namun tak pernah ada rasa sakit hati sedikitpun diantara mereka.
“Tulisan lo sexy ya. Lo tuh punya inner beauty tau!”, terucap alasan Hadi menggoda Indy waktu itu, sambil tersenyum nyengir meledek tulisan tangan Indy yang sedikit acak-acakan bagai tulisan dokter bila sedang terburu-buru.
Godaan Hadi itu menyiratkan ia masih tertarik dengan Indy, walaupun Hadi yang sempat dicampakkan itu masih menyimpan rasa kesal hingga kadang bersikap galak dan keras kepada Indy. Namun semua itu lumer dengan sendirinya karena interksi pekerjaan diantara mereka yang menuntut sikap profesionalitas. Apalagi Hadi telah menemukan tambatan hati dan sedang rajin menjalani puasa Senin-Kamis agar hubungannya lancar sampai hari H dengan perempuan yang telah dijodohkan dengannya di kampung.
“Lo puasa Di? Tumben!”, Indy menggoda Hadi dengan wajah keheranan.
“Iya dong…..emang elo tuh udah banyak dosa, gak puasa lagi, wkwkwk” mulut Hadi terbuka lebar dengan tawa terbahak.
“Enak aja! Gue sih gak punya dosa kali, jadi gak perlu puasa…..hehe”, jawab Indy ngeles menutupi kekesalannya.