Di perusahaan ketiga setelah resign dari kantor pertamanya dulu, Indy tak bisa menahan bulir-bulir air mata yang mengalir deras dipipinya setiap berangkat dan pulang kerja. Duduk di kursi pojok sebuah angkot tanpa ada yang mengenali, Indy hanya menutup hidung dan mulutnya dengan masker untuk menutupi air matanya yang terus mengalir tiada henti. Isak tangis itu kadang samar terdengar oleh penumpang lain yang menimbulkan rasa iba saat melihatnya. Merasa sendirian dalam senyap didalam angkot yang penuh sesak itu membuatnya serasa berada didalam gua meditasi untuk meluapkan segala kesedihan yang menyesakkan dada. Angkot itu menjadi saksi, sekaligus menjadi satu-satunya tempat private baginya untuk meluapkan perasaan sedih, karena di kantor ia berusaha tegar sekuat tenaga untuk menahan tangis, walaupun dadanya sesak dan suaranya parau menahan perih di hati.
“Kok suaranya kayak mau nangis gitu sih, In?”, ungkap Bakti dan Rolland tatkala mendengar Indy berbicara.
Suasana ramai di kantor mengalihkan pikiran Indy dari kisah sedihnya. Kesedihannya terpendam didalam hati dan menjelma dalam suara yang lirih. Kerja…kerja…kerja, bahkan hingga lembur tengah malam dijalaninya hanya untuk melupakan kisah cintanya yang tragis.
Di kamar tidur, Indy dan sang bunda saling memandang membisu, tapi dengan bola mata yang bergerak mengikuti alur pikiran masing-masing. Minggu depan seharusnya hari pernikahan Indy, sesuai tanggal gedung yang telah di booking. Namun semua sudah dibatalkan tanpa kejelasan dan hangus sia-sia. Tidur membelakangi punggung sang bunda, tanpa suara, Indy menumpahkan seluruh kesedihannya dalam air mata yang mengalir deras membasahi bantal.
“Habis nangis ya semalam?”, sang bunda melihat bantal Indy basah saat bangun tidur.
Sang bunda akhirnya lega melihat putrinya menangis, karena beberapa minggu ini Indy terlihat begitu tegar tanpa rasa galau dan sedih sedikitpun. Indy selalu menyimpan masalah dan perasaannya sendiri, bahkan dari orang tuanya sendiri. Namun kesedihannya itu telah merenggut senyum dari wajahnya. Bahkan teman seantero kantor mencap Indy si muka murung tanpa senyum. Hanya Rolland yang kadang-kadang mengeluarkn joke garing untuk membuat Indy tertawa, namun tetap saja gagal.
“Matamu pandangannya kosong”, ungkap Chris, teman sekantor Indy saat berbicara menatap mata Indy.
Hari itu seharusnya tanggal pernikahan Indy dengan Raul, partner kerja di kantor keduanya yang hanya bertahan beberapa bulan. Kisah cintanya kandas seiring perpisahan mereka dengan kantor tersebut. Hari yang seharusnya sakral itu, nyatanya Indy tak duduk di pelaminan dengan gaun pegantin, tapi duduk di kursi kantor depan komputernya dengan tatapan kosong. Nyatanya, berita pernikahan itu datang lebih dulu dari Nando. Ratih mengabari Indy perihal rencana pernikahannya dengan Nando. Mendengar cerita Indy yang gagal menikah, Ratih tak mau menyebut tanggal pernikahannya, hanya membiarkan semuanya berjalan lancar sampai hari H.
“Lo bakalan ketawa deh kalau tau ceritanya, lucu deh pokoknya, gue aja sampe malu”, ungkap Ratih saat Indy menanyakan kisahnya dengan Nando hingga sampai ke pelaminan.
Ternyata mimpi Indy melihat undangan pernikahan Nando dengan wanita lain itu adalah suatu pertanda. Kabar pernikahan Ratih dengan Nando membuatnya sedikit linglung saking tak percaya, seperti menampar wajahnya sendiri hingga membuatnya tersadar akan kenyataan.
*****