Crossroad

Mizan Publishing
Chapter #1

Sebuah Rencana Perjalanan

Entakan kasar bus saat pengemudinya menginjak rem dalam-dalam membangunkan saya seketika. What the … pikir saya kesal. Tidur pulas saya langsung buyar akibat sentakan keras yang hampir melemparkan wajah saya ke bangku depan bus. Dengan kesadaran yang masih belum pulih sepenuhnya, saya berusaha melihat sekitar. Ini di mana? Sudah satu jam lebih saya tidur dalam posisi duduk, namun bus yang saya tumpangi tampaknya belum berhasil menembus kemacetan ibu kota. What, baru mau masuk daerah Semanggi? Satu jam lebih yang saya habiskan di malam ini hanya berhasil menempuh jarak Grogol–Semanggi? Huuuff … saya hanya mampu mengembuskan napas panjang dan berharap kekesalan akibat macet ini dapat ikut menguap bersamaan dengan helaan napas yang keluar dari mulut.

Ternyata kekesalan saya hanya mampu bertahan sebentar. Detik berikutnya, saya langsung bergidik ngeri melihat jumlah penumpang yang berdiri memenuhi lorong sempit bus. Dengan jumlah penumpang nyaris membeludak, masih ada berpuluh penumpang lagi di halte Semanggi yang menanti bus datang untuk mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing. Pasti bus Mayasari Bakti nomor 43 jurusan Grogol–Cibinong sudah lama tidak lewat karena terjebak kemacetan sehingga banyak penumpang yang terlantar dan semakin menumpuk di halte bus.

Benar saja, tidak lama kemudian, bus menepi ke sebuah halte di bilangan Semanggi dan seketika itu pula terdengar jeritan-jeritan penumpang yang berebut masuk. Mereka berusaha memperjuangkan sisa ruang di dalam bus yang tidak mungkin ditambah lagi. Teriakan kondektur bus yang sedikit memohon terdengar membahana di tengah jeritan protes para penumpang, “Tolong Pak, Bu, digeser sedikit berdirinya. Busnya lama datang karena macet.” Saya maklum, sebenarnya sopir maupun kondektur bus ini bukan mencari sebanyak mungkin uang dengan mengangkut sebanyak-banyaknya penumpang. Mereka hanya ingin mewujudkan harapan setiap komuter Jakarta malam ini: secepatnya sampai ke rumah dan mengakhiri keletihan hari ini. Terlepas apakah hal tersebut benar atau tidak, yang jelas bus yang over capacity seperti ini sebenarnya tidak aman.

Jeritan penumpang dan teriakan kernet bus sebenarnya sudah cukup membuat runyam suasana, namun suara peluit dan hantaman tongkat polisi ke badan bus jadi menambah chaos suasana. Suara yang terakhir saya sebutkan merupakan tanda bahwa bus sudah terlalu lama berhenti di halte dan polisi tidak akan ragu untuk mengenakan tilang jika bus tidak segera beranjak pergi. Sopir bus perlahan menjalankan kendaraannya pergi meninggalkan halte, meninggalkan sejumlah besar penumpang lain yang tidak dapat terangkut. Semoga bus selanjutnya cepat datang sehingga para penumpang itu tidak terlantar lebih lama lagi dan dapat segera pulang untuk beristirahat. Hari ini sudah cukup berat dengan pekerjaan kantor yang menyiksa, mereka butuh untuk cepat-cepat pulang dan bersantai menikmati sisa hari yang ada bersama keluarga yang menanti di rumah.

Aah, inilah Jakarta, dengan segala keruwetan, kemacetan, dan alat transportasi publik yang tidak memadai. Pemandangan seperti ini sudah menjadi santapan seharihari, hingga membuat saya jadi mati rasa dan perlahan tapi pasti kehilangan sebuah rasa bernama empati. Walau pantat mulai terasa panas karena terlalu lama duduk dan tulang punggung terasa remuk, saya memilih untuk tidak melepaskan kursi ini untuk penumpang lain yang sudah berdiri lebih dari satu jam. Kursi yang saya duduki sekarang terasa sangat mahal jika melihat perjuangan komuter lain untuk bisa naik ke atas bus demi bisa menumpang pulang ke rumah masing-masing.

Dari balik jendela bus, bias lampu jalanan bersinar kuning redup memayungi jalanan Jakarta yang dipenuhi kerlip merah terang lampu rem. Saya kembali mendesah demi melihat macet panjang yang kemungkinan besar masih akan menahan saya lebih lama di dalam bus ini. Sepertinya bukan hanya bus saya yang harus menginjak rem dalamdalam. Semua kendaraan yang memadati jalanan ibu kota melakukan hal yang sama. Macetnya Jakarta kali ini memang sangat keterlaluan! Tidak ada hujan, tidak ada banjir, tidak ada demo, dan bukan pula hari Jumat yang menyebabkan macet sehebat ini. Hanya ada empat hari libur panjang yang berjejer manis dari Kamis sampai Mingggu. Cukup untuk memicu reaksi massal dari seluruh komuter dan penduduk Jakarta (tentu dengan kendaraan mereka masing-masing) untuk pergi meninggalkan kota ini. Pergi berlibur untuk meninggalkan kepenatan yang ditimbulkan oleh masalah khas ibu kota.

*

Bagi saya, ada lima tempat terlarang yang tidak boleh dikunjungi saat libur panjang terjadi: kawasan Puncak di Bogor, Bandung, Jogja, Bali, dan Singapura. Tempat-tempat tersebut adalah tujuan wisata favorit yang bahkan di hari libur akhir pekan pun sudah penuh dengan kunjungan wisatawan lokal. Bayangkan apa yang akan terjadi saat libur panjang empat hari seperti ini terjadi. Dijamin kelima tempat tersebut akan penuh bagai cendol yang berdesakan dalam gelas. Hiiihh, membayangkannya saja saya sudah ngeri duluan!

Saya sendiri tidak terlalu bersemangat menyambut liburan panjang ini. Koreksi: saya sebenarnya tidak rela menghadapi liburan panjang ini. Mengapa? Karena aturan konyol pemerintah bernama cuti bersama. Yah, kenapa sih pemerintah harus ribet mengatur hak cuti seseorang? Seenaknya memotong jatah cuti seseorang untuk dimasukkan ke dalam kategori cuti bersama. Berhubung saya hanya memiliki jatah cuti superminim, saya sangat keberatan! Jatah cuti saya yang hanya 12 hari setahun itu harus dikurangi utang cuti sebanyak tiga hari karena tahun lalu saya nekat minggat ke Skandinavia, lalu tahun ini pemerintah menetapkan cuti bersama sebanyak empat hari kerja. Ada yang tahu bagaimana caranya saya bisa tetap waras dan bertahan hidup dengan hanya bermodal sisa lima hari cuti selama setahun? Aaaarrgh, it’s driving me nuts! (terjemahan bebas: Aaaarrgh, ini menyetir saya jadi kacang!). Tapi untuk cuti bersama yang jatuh di hari Jumat ini dapat saya terima dengan senyuman superlebar, karena BI menetapkan hari Jumat yang terjepit sebagai cuti bersama yang tidak memotong jatah cuti tahunan. Yeeeaayy! Lumayan, satu hari cuti saya di tahun ini bisa terselamatkan.

Keputusan murah hati dari BI secara tidak langsung ikut menyelamatkan mood liburan saya. Tahun ini, saya memang tidak menetapkan satu destinasi khusus untuk dikunjungi mengingat jatah cuti (dan sisa tabungan) yang sangat tipis. Tapi, melewatkan libur empat hari begitu saja?

oh, please, kapan lagi saya bisa have fun tanpa perlu adu urat leher dengan teman sekantor untuk berebut tanggal cuti? Momen ini harus saya manfaatkan dan lima tempat yang saya sebutkan tadi harus dicoret dari daftar. Kali ini, saya hanya ingin berlibur di dalam negeri, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk wisatawan lokal, dan ada teman yang bisa dimintai tolong sebagai guide lokal.

Pilihan pertama jatuh ke adik saya yang baru menamatkan kuliahnya.

“Pik, libur panjang bulan Mei gue main ke Semarang ya. Lo temenin gue jalan-jalan di sana dan kota sekitarnya.”

Pesan pendek bernada perintah tersebut saya kirimkan di pengujung April saat saya mulai kebingungan mencari rencana liburan yang cukup menyenangkan. Sayang, res-pons yang kurang mengenakkan datang dari adik saya yang minus jiwa petualangan itu.

“Sori, Teh, di tanggal segitu gue lagi sibuk wawancara dan ikut job expo.”

What? Tanggal libur kok ada wawancara dan job expo? Tidak masuk akal! Begini nih kalau anak kuliah baru lulus, semangat banget cari kerjanya. Coba nanti pas sudah kerja, pasti mati-matian cari cara untuk bisa liburan. *ngamuk ke HP yang tidak berdosa*

Back-up plan. Saya punya teman yang berdomisili di Lampung dan dengan senang hati akan menampung saya di sana, plus menjadi guide yang baik. Hmm, jalan-jalan ke Teluk Kiluan pasti seru, bermain ombak di pantai yang masih sepi, berenang di laut, dan puncaknya saat pagi buta melihat lumba-lumba yang sibuk berkejaran di alam bebas.

“Finie, gue main ke Lampung yaaa pas libur panjang bulan Mei.”

Pasti saya akan disambut dengan hangat di sana.

“Si Acha nikahan pas tanggal segitu, Cha. Gue sibuk jadi panitianya.”

*

Krik krik …. oh, my Lord, apakah Engkau tidak merestui rencana liburanku ini? Dan sebuah awan hitam besar menggelayut di kepala saya menghadapi ketidakpastian untuk menyambut libur panjang ini.

Rencana Perjalanan

Gtalk, beberapa minggu sebelum libur panjang Mei datang.

Merry-go-round: Buzz!

Merry-go-round: Gue ditolak di sana sini buat ngabisin waktu liburan *suram*

adVentura: Hahaha, temen lo sibuk semua ya.

Merry-go-round: Iya, adik gue lagi ribet banget cari kerja. Temen gue yang di Lampung sibuk nyiapin pesta pernikahan sahabatnya. Gue? Garing nggak punya rencana liburan.

adVentura: Lo ke sini aja. Belum pernah ke Makassar, kan? Gue pengen ke Toraja.

Merry-go-round: Makassar? Cari tiket mepet gini? Peak season pula. Pasti mahal *tambah desperate*

….

….

….

adVentura: Buzz!

adVentura: Cha, are you still there? Ayo, ke Makassar aja, kita explore kotanya barengan. Udah hampir sebulan gue di sini tapi belum sempet ke mana-mana. Sibuk banget sama kerjaan.

Merry-go-round: Uuummh, Makassar ya …

Toraja …. Main ke kuburan gitu …

Hhhmm … Coba lo cariin deh, kalau ada tiket murah gue berangkat ke sana. Sepertinya Toraja seru.

adVentura: Sip! Wait a moment please …

adVentura: Yah, rata-rata di atas 800 ribu semua untuk sekali jalan.

Merry-go-round: Tuh kan, nggak mungkin nemu tiket murah di tanggal mepet kayak gini.

And there goes my holiday, keluh saya dalam hati.

*

Well, Toraja? Kata itu layaknya sebuah virus yang menempel di kepala. Memang Toraja itu ada di Makassar, ya? Tadinya saya kira Toraja itu terkait dengan etnis Batak yang berdomisili di daerah Sumatra Utara. Ah, pantas saja nilai pelajaran geografi saya selalu anjlok. Dan lagilagi ilmu geografi saya yang terbatas membuat saya menggunakan mesin pencari Google dengan kata kunci Toraja dan Makassar. Sebuah awal yang pada akhirnya membuat saya gatal untuk membuka situs skyscanner. com demi melihat beberapa maskapai penerbangan yang menyediakan rute Jakarta–Makassar. Oke, pertanyaan berikutnya yang kemudian hadir di kepala adalah: Makassar

Lihat selengkapnya