Biasanya setelah pesawat berhenti, saya selalu bergegas mengambil bagasi di kabin dan berdesakan di lorong kecil pesawat dengan penumpang lain; berusaha untuk secepat mungkin keluar dari badan pesawat karena tidak sabar menyambut petualangan liburan di tempat yang baru. Namun, kali ini saya lebih memilih untuk kalem. I’m still in Indonesia, no need to hurry. Di luar sana, Teddy sudah menunggu, siap menjadi guide yang baik dan mengantarkan saya ke berbagai tempat wisata di Makassar. Aah, nikmatnya liburan seperti ini. Santai, tidak perlu banyak perencanaan, just enjoy the moment. Apa ya ungkapan yang paling tepat untuk kondisi ini? Oh, ya, carpe diem. seize the day. Enjoy every second of your life. I’m on holiday, baby!
Mayoritas penumpang yang terangkut oleh pesawat Merpati berseragam hijau dengan topi baret khas tentara. Sepertinya Makassar bukanlah tujuan mereka, pesawat hanya transit di Makassar sebelum melanjutkan penerbangan ke Manokwari untuk kemudian pergi lagi ke tujuan akhir Jayapura. Benar saja, setibanya di Bandara Sultan Hasanuddin kebanyakan penumpang berbelok ke arah kanan menuju ruang tunggu transit pesawat. Hanya saya dan beberapa gelintir orang yang berbelok ke arah kiri, keluar dari bandara untuk kemudian bersua dengan kota Angin Mamiri.
Sepertinya tidak banyak penumpang yang memiliki niatan sama dengan saya, atau mungkin hanya saya wisatawan domestik di pesawat tadi yang niat bertandang ke Makassar untuk menghabiskan waktu liburan. Sontak senyum cerah yang sebelumnya sudah terulas manis di wajah bertambah lebar beberapa sentimeter ketika menyadari Makassar tidak akan seramai kota lain yang menjadi destinasi favorit wisatawan lokal. Tidak banyak wisatawan yang berminat menghabiskan waktu liburannya dengan berjalan-jalan di makam tradisional Toraja. Potensi wisata yang dimiliki Makassar dan Toraja memang belum tercium dunia luar dan saya berkesempatan untuk menjelajahi semua itu tanpa harus berdesakan dengan wisatawan lokal lainnya. Semangat saya langsung terpompa untuk segera bersua dengan Makassar di luar sana, berharap dapat menemukan cerita-cerita perjalanan baru yang dapat lebih memperkaya hidup.
Angin sepoi-sepoi bertiup lembut dari pintu keluar bandara, menyapa saya yang baru pertama kali bersua dengan kota ini. Seperti kebanyakan bandara di Indonesia pada umumnya, di pintu kedatangan telah banyak orang bergerombol. Sebagian besar adalah sopir taksi yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan saya menuju pusat kota. Sepanjang jalan keluar, saya hanya menggelengkan kepala, menolak halus tawaran taksi yang terus berdatangan di kanan dan kiri. Berusaha tenang walau sebenarnya hati ini lumayan takut menghadapi situasi seperti ini. Bagaimana tidak, orang-orang yang mengaku sopir taksi ini jauh lebih besar dibandingkan saya dan berbicara dalam aksen lokal dengan volume suara yang cukup tinggi. Duh, Teddy ada di mana, sih? rutuk saya dalam hati. Katanya mau tunggu di depan pintu kedatangan.
Satu per satu penjemput di pintu kedatangan saya amati lekat-lekat. Mencari-cari sebentuk wajah yang saya kenali atau seseorang yang melambaikan tangannya kepada saya. Nihil. Padahal sesuai pesan singkatnya tadi, seharusnya Teddy ada di pintu keluar, menyambut kedatangan saya dan menyelamatkan saya dari kerumunan sopir taksi ini. Huh! Mood saya mendadak jatuh dengan cepat. Senyuman manis di wajah segera digantikan oleh rengutan sebal. Ponsel di tangan tergenggam dengan gemas setelah berkali-kali mencoba menelepon Teddy, namun tidak ada satu pun panggilan yang dia jawab.
Kekesalan sesaat ternyata membuat saya lupa mengagumi arsitektur Bandara Sultan Hasanuddin. Secara otomatis, saya langsung membandingkan bandara ini dengan Bandara Soekarno-Hatta yang juga menjadi bandara internasional Indonesia dan berfungsi sebagai pintu masuk turis mancanegara. Dari segi desain, interior, arsitektur, dan kebersihan, jelas Bandara Sultan Hasanuddin menjadi pemenangnya. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak main-main saat mencanangkan rencana menjadikan Sulawesi Selatan sebagai daerah tujuan wisata potensial. Salah satu hal teknis yang mereka benahi di awal adalah merenovasi bandara yang menjadi gerbang kedatangan wisatawan domestik maupun mancanegara. Hebat! Sebuah panggilan masuk tiba-tiba menyadarkan saya yang sedang menatap kubah Bandara Sultan Hasanuddin. Dari Teddy.
“Lo di mana?” Pertanyaan itu langsung menyerbu begitu saya menjawab panggilan.
Belum sempat menjawab, saya melihat sesosok lelaki berkemeja hitam yang terlihat familier berjalan terburuburu sambil berbicara di ponsel. Saya melambaikan tangan ke arahnya, mencoba peruntungan apakah orang tersebut adalah Teddy.
“There you are!” Benar saja, lelaki berkemeja hitam itu membalas lambaian saya, kemudian sambungan telepon kami terputus. Teddy tampak berbeda dari kali terakhir kami bertemu, berat badannya telah menyusut beberapa kilogram dan rambut hitam pendek kini menutupi kepalanya yang dulu botak. Dia tersenyum lebar dan berjalan dalam langkah panjang menghampiri saya.
Sebelum saya sempat mengeluarkan sepatah kata pun untuk protes atas keterlambatannya, lelaki itu langsung mengambil alih percakapan. “Sori, tadi susah cari parkir, jadi agak telat jemput lo di pintu kedatangan.” Wajahnya menunjukkan rasa penyesalan karena telah membuat saya menunggunya beberapa waktu.
Oh, baiklah. Permintaan maaf diterima. Semudah itu, karena hanya dalam hitungan detik rengutan di wajah saya segera berganti dengan ringisan menahan sakit di kantung kemih yang semakin menjadi sejak beberapa menit yang lalu. “Fine. Tapi gue harus ke toilet. Dari tengah malam tadi nahan pipis, di pesawat nggak bisa ke toilet karena duduk di dekat jendela.”
Segera saya menyerahkan ransel besar yang awalnya tersampir di punggung ke tangan Teddy dan setengah berlari menuju toilet. Kesal saya sudah menguap entah ke mana hanya dengan melihat kemunculannya. Melihat rekan traveling saya sekarang berada di bandara sudah cukup untuk membuncahkan semua adrenalin petualangan yang kembali datang dan memenuhi setiap sel di dalam tubuh. Ini semua nyata, saya ada di Makassar, dengan rekan traveling yang sama sekali baru, dan segala pengalaman perjalanan yang belum pernah saya alami sudah menanti dan siap untuk mengejutkan saya sebentar lagi.
Selesai urusan toilet, kami berjalan menuju parkiran. Sedikit berputar-putar, karena Teddy lupa di mana dia memarkir kendaraannya. Geez, Ted, perasaan parkirnya belum lewat dari setengah jam, tapi sekarang udah lupa lagi. Yang kayak gini mau nekat driving ke Toraja? Saya tertawa kecil dan menggelengkan kepala memikirkan hal tersebut. Namun ternyata tidak perlu waktu lama bagi Teddy untuk membalikkan keadaan. Buktinya saya sedikit menahan napas saat kami berjalan menuju sebuah sedan Vios berwarna perak. are we gonna ride this for the next three days? Hati saya bertanya-tanya ragu. Dengan senyuman penuh kemenangan, Teddy membuka kunci pintu bagasi dan memasukkan ransel saya ke dalamnya, berimpitan dengan beberapa ransel lain yang sudah tertata rapi di sana.
“Is this our ride?” tanya saya polos. Uh, well, pertanyaan konyol, lebih tepatnya. Pertanyaan retoris yang bahkan saya sudah tahu jawabannya. Tapi tetap saja saya gatal untuk bertanya. Sekadar memastikan.
Dengan gaya cool ditambah senyuman manis yang terasa sedikit dilebih-lebihkan, lelaki itu berkata dengan kalem, “Yes, this is our ride.” Kemudian dia menutup pintu bagasi dan membuka pintu mobil. Siap untuk berkendara dan memulai petualangan kami.
“Aarrghhh .... Cool!” Saya tidak dapat menahan diri untuk tidak melonjak sekaligus berteriak senang saat masuk ke bangku penumpang. Sebuah sedan Vios silver untuk menjelajah Makassar dan bepergian ke Toraja? Plus seorang rekan traveling yang merangkap sebagai pengemudi dan saya hanya tinggal duduk manis sepanjang perjalanan? Ini adalah salah satu perjalanan saya yang termasuk kategori mewah.
Well, I’m not on a backpacking trip anymore, I guess.
*
Berdasarkan hasil browsing, Tana Toraja dapat dicapai dengan bus malam yang berangkat dari Makassar. Harga tiketnya berkisar antara 75 ribu (bus non-AC) hingga 130 ribu (bus ber-AC). Namun, alih-alih mencari operator bus dan memesan tiket, Teddy mencetuskan ide untuk bermobil dari Makassar ke Toraja. Ide ini dilontarkan melalui sambungan telepon ketika kami merencanakan gambaran kasar perjalanan. Hanya dua minggu sebelum keberangkatan saya ke Makassar.
“Cha, untuk rencana perjalanan kita nanti mungkin gue bisa pinjem mobil si bos. Gimana kalau kita pakai mobil aja ke Toraja dan share uang bensin?” tanyanya bersemangat.
“Hah? Yakin?” Nada skeptis tidak bisa disembunyikan dalam suara saya. “Makassar–Toraja kalau pakai bus malam jaraknya sekitar delapan jam perjalanan. Memang lo kuat nyetir selama itu?”
“Umh ... lo bisa nyetir nggak, Cha?” Pertanyaan tersebut seperti menggantung, seakan Teddy pun tidak yakin bisa mengandalkan saya untuk bergantian menyetir dengannya. Risikonya terlalu besar.
Saya berpikir sebentar, saya bisa sih nyetir, tapi di jalanan lurus yang minus tanjakan dan antimacet. Hih, enggak deh, enggak perlu saya nekat nyetir di daerah yang tidak dikenal dan medan jalanan yang sama sekali asing. Itu cari penyakit namanya.