Hiruk-pikuk terdengar di selasar Istana Moors, pusat pemerintahan Negeri Moorest Selatan. Prajurit dan pelayan dengan wajah-wajah panik keluar masuk dari sebuah ruangan. Sementara itu, awan hitam lagi pekat menggantung di bawah langit Moors. Gagak hitam dan aura ungu dingin berputar seperti pusaran angin mendekati Kerajaan Moors. Semua prajurit, baik di dalam istana, maupun yang berada di luar benteng bersiap dengan cemas.
Di singgasana Istana Moors, seorang pria dengan jubah emas dan mahkota kebesaran di kepalanya tampak memijit pelipis. Wajah dengan rambut-rambut pendek rapat di rahangnya begitu serius. Mata tajam bak elang menerawang tajam ke depan. Dengan satu tangan menopang pada sisi kiri singgasana, pria berusia empat puluh tahun itu memejamkan mata sejenak.
"Yang Mulia Raja, penyihir itu datang! Penyihir bersayap hitam itu semakin mendekat!" Seorang prajurit melaporkan keadaan yang dihadapi dengan suara yang menyiratkan ketakutan.
Pria yang dimuliakan itu mengangkat sebelah tangannya. Matanya yang terpejam kembali terbuka. Ia menatap semakin tajam ke depan, ke arah pintu masuk aula utama Istana Moors. Bibir yang dikelilingi kumis dan janggut pendek itu tidak memiliki garis senyuman.
"Biarkan penyihir jahat itu masuk!" pintanya dengan tegas.
"Ta-tapi, Yang Mulia ...."
"Dengarkan perintahku!" sergahnya sembari memukul meja di samping singgasana.
Prajurit itu mundur ketakutan, lantas berbalik dan meneriakkan perintah rajanya, Raja Moors, dengan lantang.
Terompet besar yang dipegang beberapa orang ditiup dengan keras. Pada tiupan ketiga, gerbang utama setinggi seratus meter dengan bahan baja terbuka secara perlahan-lahan. Sementara di luar, pusaran energi ungu itu membesar dengan kecepatan yang meningkat. Petir-petir biru dari awan hitam lagi pekat tercipta di tengah badai energi itu bersama gemuruh guntur yang bersahutan dan menggetarkan tanah.
Suara tawa cekikikan seorang wanita menyaingi guntur dan petir. Wanita berpakaian hitam dan tingkat sama hitamnya di tangan kanan itu menggerakkan tangannya dengan gemulai seolah-olah ia tengah menari. Wanita di atas pusaran energi beraura ungu itu menatap takjub tangannya yang putih dan indah, lantas ia kembali tertawa.
"Sudah punya nyali rupanya?" Wanita itu berkata lantang, disusul tawa yang membuat prajurit di luar benteng ketakutan. "Setelah sekian lama menanti, akhirnya kau menepati janjimu juga, Raja William!" lanjutnya.
Di dalam istana, Raja Moors, William bangkit dari duduknya. Ia berjalan dengan tegap dan gagah keluar dari ruang singgasana. Tepat berada di anak tangga kedua, suara tangisan bayi yang nyaring sampai di telinga raja itu. William menoleh. Seorang pelayan tergopoh-gopoh membawa bayi mungil ke hadapannya.
"Yang Mulia, anak Anda sudah lahir." Pelayan itu berkata sembari menyerahkan si kecil kepada Willian.
Raja William mengambil dan menimangnya. Anak itu berhenti menangis dan tidur dengan tenang. William melihat ke depan.