Crown Prince

Jie Jian
Chapter #2

Arthur

Elang raksasa dengan sayap membentang sekitar tiga puluh meter membawa bayi kecil Raja William di punggung lebarnya. Makhluk itu melewati celah-celah awan hitam berpetir ungu, menghindar dengan gesit, dan terus menambah kecepatan diselingi suaranya yang menyaingi guntur. 

Petir ungu dan biru yang saling menyambung seolah mengejar makhluk raksasa itu. Mereka bekerja atas perintah Nelly, sang Penyihir Hitam yang menginginkan bayi di punggungnya. Sesuai pesan William, ia berusaha dengan segenap nyawa yang melekat pada setiap helai sayapnya. 

Dua ratus meter di depan mereka, langit begitu biru yang menandakan wilayah di bawahnya tidak lagi termaksud dalam wilayah Moorest. Namun, seiring mengikisnya jarak, petir sihir Nelly kian menjadi hingga salah satu sayap sang elang terkena sambaran. 

Burung itu menjerit kesakitan dengan keseimbangan yang hilang. Ia tidak bisa menantang angin lagi untuk menambah kecepatan hingga petir-petir lain menyambar dan menghancurkan sebelah sayapnya. Elang milik William itu jatuh dengan jarak seratus meter dari wilayah yang dituju. 

Merasakan tekanan yang cukup kuat, bayi kecil di punggung sang elang menangis dengan suara yang nyaring membelah udara. Mata tajam elang milik William itu meruncing. Dengan sisa tenaga dan kemampuan, ia terbang mendekati perbatasan. 

Hingga cukup dekat, elang itu perlahan-lahan, tetapi tidak mendarat dengan segera. Ia melihat sekitar dengan mata tajam meruncing. Orang-orang di bawahnya tampak berteriak, membidikkan anak panah dengan kemurkaan, juga melempar tombak dengan beringas. Orang-orang di bawah sana berteriak dengan kata-kata makian dan kutukan. 

Elang William kembali terbang beberapa ratus meter ke arah timur, jauh dari pemukiman yang dihuni orang-orang dengan tatapan mengerikan padanya. Hingga tiba di sebuah dewa terpencil di tengah hutan dan padang rumput kering, elang itu turun dan berputar-putar di atas rumah yang berada di tengah padang rumput kering itu. 

Di bawahnya, seorang pria tua melihat dengan penuh penasaran. Pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu melambaikan tangan pelan dan menjadi sedikit cepat saat elang itu bersuara dan jatuh.

•••

         17 Tahun Kemudian

"Arthur! Arthur, keluarlah. Waktunya makan siang!" panggil seorang pria tua dengan suara parau dan seraknya. Kakek Jeams, begitu orang-orang Kota Noris memanggil pria sepuh yang sehari-hari menggembala domba dan menyiapkan makan siang untuk cucunya, Arthur. 

Jeams tergopoh-gopoh dengan tongkatnya menaiki anak tangga menuju kamar berpintu bercat cokelat muda. Sesekali dia memanggil nama cucunya, Arthur, yang tak kunjung menyahuti panggilan. Firasat pria berusia enam puluh tahun itu sedikit memburuk. 

"Arthur, keluarlah. Makan siang sudah siap," katanya lagi sembari mengetuk pintu kamar. 

Namun, tidak ada tanda-tanda orang yang dipanggil akan keluar dari kamar, bahkan tidak ada suara sedikit pun dari kamar itu. 

"Arthur, apa kau di dalam?" Jeams memutar gagang pintu. Terbuka. Pintu kamar cucunya itu tidak terkunci. 

Lihat selengkapnya