Sersaen menepuk meja dengan keras sehingga beberapa pengunjung rumah makan melihat ke arah lima orang di pojok kiri. Tanpa mempedulikan banyak pasang mata yang melihat dengan aneh dirinya, Sersaen menunjukkan ekspresi kesal. Giginya gemeletuk dan urat-urat leher yang tampak memahat di bawah kulit.
Empat rekannya; Angella, Anjulie, Codi, dan Marven melihat sekitar. Menyadari tatapan aneh orang-orang di rumah makan itu, buru-buru mereka berempat menarik pakaian Sersaen untuk memaksanya duduk.
"Jaga sikapmu. Ini bukan markas kita. Apa kau tidak lihat orang-orang itu? Mereka melihatmu dengan tatapan tidak suka," tegur Marven, lalu meneguk habis anggur di gelapnya.
"Jenderal Elang ... hewan legenda Moors itu milik Raja William. Jika hewan itu ada di dekat wilayah Noris, besar kemungkinan Pangeran Moorest juga ada di sana. Kita harus bisa masuk ke Kota Noris," ucap Sarsean menggebu-gebu.
Angella mengangguk-angguk kecil dan pelan sembari mengetuk meja dengan jari telunjuknya. Kedua alis yang berbaris rapi milik wanita berzirah hitam itu sedikit mendekat. Dia tengah berpikir.
"Kali ini aku setuju dengan Sarsean. Kita harus segera menemukan Pangeran Moors untuk menghilangkan kutukan di Istana Moors. Jika tidak, istana akan hancur. Waktu kita hanya tinggal setengah tahun lagi. Itu bukan waktu yang lama. Apa pun yang terjadi, kita perlu memasuki Kota Noris," jelas Angella, lalu menepuk meja.
Seorang pengunjung yang duduk tidak jauh dari mereka memutar tempat duduknya. Dia mengangkat gelas anggur, lalu meneguk hingga tak tersisa. Pria paruh baya itu tampak menikmati anggurnya.
"Jika kalian berani masuk ke Kota Noris, aku yakin kalian akan pulang ke Istana Moors tanpa tubuh. Kemudian, nama kalian akan tertulis di nisan. Berpikirlah. Burung itu mungkin hanya melintasi Kota Noris," katanya.
Kembali memukul meja, Sarsean memasang mimik sangar. Mimiknya nyaris menyerupai banteng yang marah. Pria itu tertawa, lalu menuang anggur di gelasnya. Dia melakukan hal yang sama; mengangkat gelas, lalu meneguk hingga habis tak tersisa.
"Kami ini bukan penyihir. Hanya butuh sedikit penyamaran, orang-orang Kota Noris tidak akan mengenali kami. Anda tidak melihat burung itu. Jelas-jelas di mata kami, ia turun di Kota Noris. Jika burung itu---"
"Sudah, sudah!" Pemilik rumah makan masuk dari pintu di samping kiri meja kelompok Sarsean. Dia meletakkan pesanan pelanggannya di atas meja, lalu melihat ke arah kelompok yang tampak begitu gusar. "Ada kabar dari kaveleri Kota Noris. Katanya burung sihir datang ke tempat mereka beberapa puluh tahun lalu. Mereka tidak bisa membunuhnya. Setiap tahun, burung itu akan datang ke Kota Noris. Entah apa tujuannya," lanjutnya.
"Benarkah?" Kelima orang yang mendapat tugas mencari Pangeran Moors bangkit dari duduk, kemudian saling pandang.
Pemilik rumah makan itu terkekeh-kekeh. "Wilayah kami masih bagian dari Negara Moorse meski kerajaan tidak memiliki keadilan." Dia mengacungkan jari telunjuk sembari berjalan mendekati mereka lima orang itu. "Jika kalian berhasil mengembalikan Istana Moors dan melepas kutukan Penyihir Hitam itu, pastikan Raja Moors memiliki rasa simpati pada rakyat di wilayah berbatasan. Jika tidak, aku sangat yakin Moorest tidak hanya akan dikutuk para penyihir, tetapi juga Yang di Atas."
Kelompok itu terdiam. Mereka menelan ludah dengan kasar mendengar perkataan pemilik rumah makan itu. Mereka tidak memungkiri, apa yang pria tua itu katakan adalah kebenaran. Sebelum kutukan yang menimpa Istana Moors, rakyat banyak yang mengeluh atas kepemimpinan Raja William.
•••
"Dari mana saja kau?" Jeams menghentikan langkah Arthur sebelum kaki penuh becek dan kotoran hewan milik pemuda di depannya memasuki rumah.