Arthur mendorong tubuh besar berbulu si elang raksasa dengan maksa memasuki sebuah gubuk tua yang reyot. Saat pemuda itu mendorong, debu-debu dari atas berjatuhan dan tiang-tiang gubuk itu tampak bergerak dengan derit yang jelas di pendengaran.
Melihat apa yang dilakukan cucunya, Jeams menggaruk kepala dengan frustrasi. Pria tua yang sudah berkaki tiga itu tampak ingin menangis.
"Ho-ho-ho, Arthur! Apa kau ingin merusak gudang kakekmu ini, hah?!" pekik Jeams kesal. Dia begitu geram dengan tingkat si cucu yang bikin naik pitam.
"Pinjam sebentar, Kek. Orang-orang Kota Noris pasti melihat si Monster Burung ini kemari. Kita harus menyembunyikannya. Jika tidak, mereka pasti akan membunuhnya, memanggangnya, lalu menyajikannya di piring. Oh, tidak, Kek. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi," balas Arthur, disusul teriakannya saat mendorong lebih keras tubuh burung elang raksasa yang dia panggil dengan nama Monster Burung.
"Haduh, Arthur. Apa kau sungguh tidak punya otak? Kaulihat! Burung itu begitu besar. Bagaimana mungkin bisa muat di dalam gubuk yang kecil? Anak merepotkan," oceh Jeams sembari melihat ke arah datangnya suara yang semakin jelas.
Dari jauh, samar-samar mata tua Jeams melihat segerombolan orang-orang Kota Noris yang membawa senjata tajam dan obor mendekati rumah mereka. Pria tua itu kian frustrasi sehingga mimik wajahnya seperti orang yang mau menangis dalam keputusasaan. Sementara di belakangnya, burung elang raksasa berteriak setiap kali Arthur memasaknya masuk ke gubuk reyot yang nyaris roboh.
Arthur sedikit terbelalak saat melihat orang-orang Kota Noris mendekat dengan senjata-senjata tajam. "Oh, tidak. Kakek, ayo, bantu aku! Mereka sudah dekat. Apa Kakek ingin mereka melenyapkan Monster Burung?" pintanya.
Tanpa pikir panjang, tetapi dengan langkah yang dientak karena geram, Jeams mendekati Arthur dan membantunya mendorong tubuh si Burung Raksasa. Burung besar itu berkeok. Paku di sudut pintu kecil menggores punggungnya sehingga darah mengalir dari luka menganga. Luka itu semakin besar setiap kali tubuhnya terdorong masuk.
Hingga dalam dua dorongan, tubuh burung itu berhasil masuk dengan Arthur yang limbung ke depan, disusul sebuah balok yang jatuh tepat di atas tubuhnya. Spontan pemuda itu menjerit. Namun, Jeams tak memperhatikannya.
Jeams dengan cemas bergerak mendekati orang-orang Kota Noris yang berteriak lantang mengutuk cucunya, Arthur.
"Penyihir sialan! Terkutuk dirimu dan burung sihir sialmu itu!" Mereka memaki dengan wajah yang seolah-olah ditutupi awan gelap lagi pekat. Kemarahan tampak jelas dari sorot mata mereka.
Jeams berusaha tenang. Setidaknya, ini bukan kali pertama rumahnya didatangi warga Kota Noris karena ulah cucunya. Dia sudah biasa menghadapi situasi seperti ini.
"Ah, tenang, tenang, warga semua. Ada apa ini? Mengapa kalian membawa barang-barang menakutkan seperti itu di rumah Kakek Tua ini," kata Jeams tergopoh-gopoh menghampiri orang-orang Kota Noris dengan maksud menghentikan mereka mendekati rumahnya.
"Masih juga kau tanya, Pak Tua Jeams? Apa kau tidak lihat?" Barisan depan warga Kota Noris menepi ke samping seperti tirai merah pada pertunjukan sehingga menampilkan barisan orang di belakang mereka.