Arthur berjalan tergesa-gesa di antara pepohonan di hutan selatan. Dia berjalan dengan wajah cemberut, bahkan lebih dari itu. Sesekali dia menggerutu. Kekesalan tampak jelas dari raut wajah yang sedikit memerah.
Di belakangnya, Jeams tergopoh-gopoh mengejar. Rerumputan membuat langkahnya tidak semulus Arthur. Pria tua itu mendesis, frustrasi.
"Arthur, tunggu! Ais, anak itu kenapa pemarah sekali. Arthur, tunggu Kakek!" Jeams berteriak, meminta Arthur yang berjalan cepat membawa kekesalannya di tengah hutan itu untuk berhenti.
"Aku tidak tahan lagi. Warga Kota Noris membenciku tanpa alasan. Kenapa harus begitu? Lalu, mengapa hanya aku yang memiliki kekuatan sihir di tempat yang membenci sihir? Ini terlalu menyebalkan," gerutu Arthur sedikit memperlambat langkah. Dia berbalik dan membiarkan Jeams menyusul. "Sekarang mereka benar-benar mengusirku. Jika tidak pergi, mereka akan membunuhku atau menghancurkan rumah Kakek. Aku tidak punya alasan bertahan."
"Dengarkan Kakek, Arthur!" Terengah-engah Jeams, berhenti di depan Arthur yang juga berhenti.
"Mereka melakukan diskriminasi padaku. Kenapa? Apa sihir itu salah? Ya, aku salah karena mengubah mereka menjadi hewan. Tidak, tidak, tidak, itu salah mereka. Mereka duluan. Mereka yang membenciku sejak kecil. Apa sejak kecil aku salah? Tidak! Aku masih ingat bagaimana mereka meminta aku pergi saat masih berusia tujuh tahun. Padahal waktu itu aku tidak tahu jika aku punya kekuatan sihir? Mengerikan," oceh Arthur, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan kakeknya.
Jeams menghela napas. Membiarkan Arthur berjalan. Jeams menunduk.
"Kau bukan cucu kandung Kakek, Arthur." Jeams berkata dalam tunduk yang kian dalam. Suara serak pria itu bergetar hebat seolah-olah ketakutan besar tersimpan dalam setiap suku katanya.
Spontan langkah Arthur terhenti. Perlahan-lahan pemuda itu berbalik dengan kedua alis yang nyaris menyatu. Dia menelengkan kepala, mencoba mencerna dengan baik apa yang dikatakan sang kakek.
"Kakek bergurau?" Arthur tertawa getir membawa langkahnya mendekati Jeams. "Hatiku sedikit sakit. Lelucon seperti ini hanya akan membuatku ... ya, Kek, jelaskan padaku semuanya." Pemuda itu berhenti di hadapan Jeams dengan mimik serius yang terkesan dibuat-buat.
Jeams menghela napas yang berbalut keresahan. Dia menepuk pundak Arthur. "Tujuh belas tahun lalu, elang raksasa turun di depan rumah Kakek. Ada suara bayi yang begitu nyaring di sekitar burung itu. Kakek penasaran sehingga mendekati burung yang besarnya sangat tidak wajar. Benar saja. Kakek melihat bayi mungil dengan wajah merah muda yang manis. Orang tua mana yang tega membiarkan bayi tanpa dosa itu menangis. Kakek mengambilnya dari burung raksasa yang terluka itu, lalu memberinya nama. Arthur, Kakek memberikan nama itu dan sekarang bayi itu menjadi penyihir, menjadi pemuda yang berdiri di depan Kakek sekarang." Cerita mengalir dari Jeams. Mata pria tua itu sedikit berkaca-kaca. Kesedihan kentara dari wajah tuanya yang keriput.
Arthur menoleh ke belakang, tetapi tidak ada orang lain di tempat itu, selain dirinya dan Jeams. Arthur menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
Jeams mengangguk. Sekarang semuanya terasa getir bagi Arthur. Dia mendongak, menggigit bibir bawahnya sendiri, dan menikmati sensasi yang membuat lambungnya seolah naik. Sejurus kemudian, pemuda itu menghela napas, dan memberikan senyum pada Jeams.
"Hah, benar. Harusnya aku tahu ini, Kek. Sudah, tidak apa-apa." Arthur menggeleng, menyakinkan Jeams perihal kalimatnya, bahwa dia tidak apa-apa.
Untuk kesekian kalinya, Jeams menghela napas resah. Dia menatap dalam-dalam mata Arthur. Tidak tersirat kesedihan di mata pemuda itu, tetapi ada hal lain yang tidak dia mengerti sama sekali. Firasatnya sedikit buruk.
"Arthur, maafkan Kakek. Maaf merahasiakan semua ini darimu, tetapi ketahuilah ...." Jeams menepuk-nepuk pelan pundak cucunya itu. "Kakek sayang padamu. Kakek ... Kakek belum siap untuk ditinggal pergi olehmu, Arthur. Kakek tahu jika kau sudah mengetahui hal ini, kau pasti akan ... kau pasti akan pergi mencari kedua orang tuamu." Jeams menunduk seiring tepukannya pada pundak Arthur yang berhenti. Pria tua itu menggeleng sembari menyeka sedikit air yang tertahan di sudut matanya.
Arthur memeluk tubuh Jeams beberapa saat, lalu melepasnya. Dia mencoba mengerti Jeams yang telah merawat dan membebaskannya selama ini.