Crown Prince

Jie Jian
Chapter #6

Wujud Asli Jenderal Elang

Dari jarak beberapa ratus meter, Arthur dapat mendengar suara elang raksasa yang menukik. Suara melengking hewan itu mampu mengusir hewan lain di hutan. Angin dari kepakkan sayapnya umpama badai yang mengguncang pepohonan. Arthur buru-buru menuju asal suara si elang dengan senyum paling ceria yang dia bisa. 

Jeams yang awalnya berlari di belakang Arthur berhenti. Senyum bahagia yang bersanding dengan kesedihan tidak bisa dia sembunyikan. Air di sudut mata tua penuh kerutan pria itu diseka kasar. Jeams menghela napas, mengiringi langkah Arthur yang menjauh dan kian jauh hingga benar-benar hilang dari pandangan. 

"Arthur, pergilah. Kakek tidak apa-apa hidup tanpamu. Carilah semua tentang dirimu di luar Kota Noris yang mengutukmu. Jadi penyihir yang baik. Semoga kakekmu ini diberi sedikit waktu dan kesempatan di lain hari untuk mendengarmu memanggil, melihatmu menghabiskan makanan di meja, dan mengubah barang-barang di rumah kita menjadi katak. Sampai bertemu lagi, cucuku," ucap Jeams, lalu berbalik dan membawa rintik air mata bersama langkah dan tongkatnya. 

Tujuh belas tahun sudah dia merawat dan membesarkan Arthur. Jeams selalu menyadari jika hari ini akan datang cepat atau lambat. Arthur tidak berasal dari Kota Noris, dia tetap akan kembali ke tempat asalnya. Jeams menerima hari ini meski dalam hati dia merasa kehilangan dan kesedihan yang cukup dalam. 

•••

Hampir mendekati perbatasan hutan selatan, Arthur berlari semakin cepat. Dia sudah melihat burung raksasa yang turun menyelip di antara pohon-pohon hingga hewan itu menapak ke tanah dan merapatkan sayapnya. Arthur melambai tangan dengan senyum lebar. 

"Monsterku, aku di sini!" panggilnya semangat. "Kakek, lihatlah. Monster itu terlihat baik-baik saja. Sepertinya kau tidak perlu mengobati luka di punggungnya," lanjut Arthur, lalu menoleh untuk melihat kakeknya. 

Langkah lari Arthur melambat. Matanya liar mencari sosok yang diajak bicara. Namun, dia tidak menemukan Jeams. Di belakangnya senyap dengan deretan pohon-pohon dan semak. Pemuda itu berbalik, berlari beberapa langkah ke depan mencari sang kakek. 

"Kakek? Kakek di mana?" Arthur berlari kecil menyusuri jalan yang dilaluinya. Namun, Jeams masih juga tak terlihat barang batang hidungnya saja. Sedikit cemas menyelip di hatinya. 

"Kakek! Kakek Jeams! Kakek!" Arthur berteriak, memanggil kakeknya yang tidak ada tanda-tanda untuk hadir. 

"Kakek, kau meninggalkanku? Kakek di mana? Aku tidak tahu jalan pulang. Kakek!" Lagi, Arthur memanggil. Kali ini suaranya bergetar. Sedikit ketakutan dan kekhawatiran menginap di hatinya. 

Arthur tidak tahu jalan kembali, juga tidak mengenal baik hutan selatan ini. Tanpa kakeknya, dia tidak bisa pulang dan akan terlunta-lunta di tengah belantara ini. Pikirannya buruk jika Jeams benar-benar meninggalkannya di sini. Di sisi lain, Arthur juga khawatir jika terjadi sesuatu pada Jeams dalam perjalanannya ke sini. Jeams sudah sepuh dan berjalan dengan tiga kaki, sementara hutan ini memiliki banyak semak dan rumput liar. Dia takut kakeknya itu terluka dan tidak ada yang menolong.

Memikirkannya membuat Arthur menggaruk kepala dengan frustrasi. 

"Kakek! Kakek di mana? Jawab Arthur, Kek!" teriaknya lagi. 

Lihat selengkapnya