Hanya ratusan meter, tidak memerlukan waktu lama untuk kelompok Sarsean dan Arthur tiba di perbatasan, tepatnya bentang utama memasuki pusat pemerintahan Negara Moorest Selatan. Senyum kelima kesatria Moors itu mengembang sempurna saat mereka telah berdiri di depan benteng utama. Namun, tidak dengan Arthur.
Arthur gemetar dengan wajah pucat pasih. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Benteng utama yang dijadikan gerbang perbatasan tidaklah seperti ekspektasi Arthur. Padahal, pria muda itu sudah membayangkan bagaimana sebuah tembok raksasa dengan tinggi ratusan meter berbalut baja hitam dan titanium membentang. Namun, di depan matanya sekarang hanya ada tumbuhan rambat berduri besi berujung tajam berwarna hitam. Tidak ada, tidak ada celah sama sekali untuk masuk.
"Bagaimana kita masukk!!" teriak Arthur frustrasi. Dia tidak memikirkan untuk menerobos tumbuhan rambat hitam berdiri besi tajam itu secara langsung. Memikirkannya saja sudah membuat Arthur membayangkan malaikat maut di sampingnya. Buruk sekali.
Kelima kesatria itu melihat ke arah Arthur yang berteriak. Anjulie mengetuk-ngetuk bibirnya pelan, begitu juga dengan Marven, Codi, dan Angella. Mereka juga tampak bingung. 'Bagaimana mereka akan masuk?', menjadi pertanyaan yang berputar-putar di kepala.
"Benar juga. Saat kita keluar dari wilayah ibu kota, benteng ini belum berubah menjadi pembatas berdiri seperti ini. Menurutku, kita tidak bisa masuk sama sekali. Duri-duri ini terbuat dari besi, menghancurkannya tidak akan mudah," kata Sarsean masih mempertahankan ketenangan meski keringat sudah berbintik bak biji jagung di pelipisnya.
Arthur berdecak punggung. Kedua alis tebal hitamnya berkedut sehingga mempertegas ekspresi kesalnya itu pada kelima kesatria.
"Kalian ini .... Ini sama saja kalian membawaku ke jalan buntu. Lalu, bagaimana kita masuk? Kalau tidak bisa masuk, bagaimana kita akan menyelamatkan Moors? Kalian tidak pernah berpikir sebelum bertindak," omelnya.
"Jika Jenderal Elang bisa membantu. Mungkin akan mudah bagi kita melewati benteng ini. Jenderal Elang bisa menanggung kita, bukan?" timpal Codi, lalu menghela napas resah.
"Jenderal Elang hanya akan datang setahun sekali. Datang pun hanya sebentar. Aku juga bukan pemiliknya. Jadi, aku rasa hewan itu tidak bisa membantu kita," jawab Arthur sambil mengelus ujung hidungnya sendiri dengan jari telunjuk.
Di saat bersamaan, Angella tersentak. Mata wanita berambut panjang itu berbinar-binar cerah. Dengan senyum selebar benteng di depan mereka, dia mendekati Arthur, dan menepuk pundaknya.
"Bukankah kau bisa menggunakan sihir? Kau bisa mengubah duri-duri besi ini menjadi cokelat. Ayo, lakukanlah!" usul Angella semangat.
Arthur mengangguk-angguk paham. Pemuda itu lantas berjongkok dan mengambil ranting sepanjang enam puluh sentimeter, kemudian menutup kepalanya dengan penutup kepala dari jubah. Dengan kekuatan sihir, Arthur mengubah wujud ranting tersebut menjadi tongkat sihir hitam mengilap. Seketika mata kelima kesatria William berbinar-binar kagum.
"Wah, kau sungguh seorang penyihir. Bagaimana kau melakukan itu? Ah, bukankah kau tumbuh di Kota Noris? Bagaimana kau belajar sihir di kota yang membenci penyihir?" Angella menghujani Arthur dengan pertanyaan.