Rahasia yang terkuak merampas kebenaran atau malah memberimu kenyataan yang sulit dibenarkan oleh indra
Di belakang gedung perpustakaan, seorang cowok menghabiskan waktu istirahat dengan menatap langit. Kepulan asap terembus setelah ia menarik sebatang rokok dari mulutnya. Ia merasakan kebebasan yang tidak bisa ditemukannya di tempat lain setelah hisapan pertama. Langit yang dilihatnya setiap hari menjadi lebih indah sekarang. Birunya membuat betah. Ia kemudian terkekeh menemukan awan yang menyerupai bentuk kumis tebal ayahnya.
Ia memindahkan rokok ke tangan kiri lalu mengangkat tangan kanan. Kemudian ia membuat coretan semu dari awan tadi. Digambarnya wajah sang ayah dengan gerakan hati-hati. Ketika merasa ada yang salah, ia menghapusnya dengan telapak tangan. Setelah selesai, ia tersenyum puas seolah hasil coretannya tergambar jelas di atas langit.
BRAKK!!
Iyaz spontan menoleh ke sumber suara yang mengagetkan barusan. Ada Ririn yang berdiri kaku di dekat piala yang tergeletak di tanah. Senyum Iyaz yang tadinya tampak biasa berubah menjadi senyum getir.
“Kalau mau merokok, jangan di sini.” Ririn mengusap hidung lalu menunduk untuk mengambil pialanya.
Iyaz tidak menyahut tapi kembali menatap langit sambil mengisap rokok. Ririn diyakininya bukan ancaman. Makanya, ia tidak peduli seberapa banyak yang telah dilihat cewek itu. Sebab walau mata bisa menangkap setiap kejadian, belum tentu mulut mau bekerja sama dengannya. Lagipula itu tergantung niat, kan?
“Yaz, gue ngomong sama lu bukan sama rumput,” ucap Ririn setelah upaya pengusiran pertamanya gagal didengar.
“Atas dasar apa lu nyuruh gue pergi?” Iyaz bertanya tanpa menoleh.
Wah, nih anak benar-benar nggak sebaik yang terlihat selama ini. Ririn berdecak. Padahal baru tadi pagi cowok itu dipuja-puja karena menang olimpaide matematika.
“Ini adalah tempat favorite gue, Yaz. Satu-satunya.” Ririn memandangi Iyaz yang tampak menikmati setiap isapan rokok dan selama itu juga kadar kejengkelannya naik satu tingkat. “Kalau lu kedapatan merokok di sini, habis gue. Entar kita dianggap berkomplot atau gue dituduh menyembunyikan kejahatan terus dapat hukuman juga.”
“Tapi gue belum kedapatan, jadi lu tenang aja. Nggak usah mikir kejauhan, Rin.”
“Ini namanya waspada, Yaz. Mencegah lebih baik daripada mencari-cari alasan pas sudah berstatus tersangka.”
Iyaz tertawa lalu memutar kepala ke arah Ririn. “Lucu banget sih, lu.”
“Lucu? Sori, gue bukan badut.”
“Kejahatan, tersangka, haha. Gue cuma merokok, Rin. Kata-kata lu biasa aja, dong.”
“Merokok dianggap kejahatan karena ada aturan tertulis di sekolah ini bahwa murid dilarang merokok. Mungkin lu yang terlalu luar biasa sehingga sulit membedakan mana kejahatan, mana yang bukan.”
Tawa di wajah Iyaz langsung lenyap. Kemudian ditatapnya Ririn dengan ekspresi tenang. “Terima kasih sudah peduli.”
Ririn meniup poninya lalu melintas di depan Iyaz sambil membawa piala di tangan kanan dan baju renang di tangan kiri. Jika ia tidak menyudahi percakapan, mungkin tangannya sudah melempar wajah Iyaz dengan baju renang. Kasihan guru-guru yang sudah memuji-muji cowok itu sebagai murid teladan. Mereka ditipu mentah-mentah. Ririn berhenti untuk menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Sebaiknya, ia tidak mendiamkan Iyaz dalam pikirannya agar tidak semakin lelah.
“Jelek.” Iyaz bersuara rendah. Tidak jelas apa itu ditujukan untuk seseorang-yang tidak lain adalah Ririn ataukah pada dirinya sendiri.
Tidak jelas. Makanya Ririn tidak menunjukkan reaksi orang dengan pendengaran yang masih berfungsi. Cewek itu mencoba mengagumi langit dan awan-awannya, persis dengan yang dilakukan Iyaz sewaktu ia datang.
Keningnya berkerut ketika melihat awan berbentuk tanaman liar. Ririn membayangkan tangkainya mirip badan ular. Ada sisiknya dan meliuk-liuk di beberapa bagian. Haha. Imajinasinya sangat liar dan aneh.
Pemandangan langit yang belum lama dinikmati Ririn tiba-tiba terhalangi oleh sosok Iyaz. Cowok itu bersedekap di depan Ririn sambil memiringkan kepala. Karena posisinya yang membelakangi arah datang cahaya, Iyaz tampak seperti raksasa gelap. Wajahnya baru terlihat jelas saat berjongkok.
“Apa?” ucap Ririn setelah lehernya cukup nyaman dengan posisi mereka sekarang. Ia tidak harus mendongak ketika berbicara dengan Iyaz. Selain itu, ia benci ditatap dari atas, seolah dirinya dipandang rendah.