Sebuah kaca berbentuk persegi panjang mendarat di meja Lucius. Menimbulkan suara ‘tak’ yang keras dan berputar dua kali di meja sampai akhirnya benar-benar berhenti. Keadaan di kelas tidak berubah, sama sekali tidak terganggu dengan suara yang ditimbulkan oleh kaca itu. Kegiatan belajar mengajar masih berlangsung tanpa hambatan. Suara lantang seorang guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran terdengar dengan jelasnya hingga ke lorong sekolah. Gumam beberapa murid yang berdiskusi dan bercanda juga ikut menyembunyikan bunyi berisik yang diciptakan oleh kaca itu.
Lucius melirik ke bawah, menatap kaca itu baik-baik. Sebuah tulisan berwarna hitam kemudian muncul di kaca berbentuk persegi panjang itu. Ada dua baris kalimat tertulis di sana. Semuanya ditulis menggunakan huruf besar.
Lucius meraih kaca itu dan membacanya.
NANTI ISTIRAHAT JANGAN KE MANA-MANA. TUNGGU AKU.
ADA SESUATU YANG PENTING YANG INGIN KUBICARAKAN.
Dua baris sebagai jeda di bawahnya, tercantum nama si penulis.
JET SI TAMPAN TIADA TANDINGAN.
Ditemani gambar matahari meledak di sampingnya.
Lucius mendesah sambil mengusap dahinya. Dan meletakkan kaca itu ke dalam ranselnya.
“Jadi, ada hal penting apa yang mau kau bicarakan?” kata Lucius saat menghampiri meja Jet yang berada di ujung lain ruang kelas.
“Eh… tunggu sebentar.” Kata Jet sambil melihat ke jam tangannya. “Tunggu sebentar. Duduklah.” Jet mendorong Lucius ke bangkunya.
“Apa yang sebenarnya mau kau bicarakan?”
“Sudah tenang saja, tunggu sebentar lagi. Sebentar lagi.” Jet berusaha membujuk Lucius dengan wajahnya yang terlihat gugup.
Lucius memandang wajah Jet. “Kau tahu? Aku merasa ada yang mencurigakan di sini. Tampangmu terlihat aneh.” Matanya berkilat, dengan tatapan tajamnya Lucius mencoba mendesak Jet yang sekarang sedang bertatapan dengannya.
“Eh—tidak, tidak ada.” Jawab Jet gugup. Lalu cengar-cengir tidak jelas.
Tak lama kemudian segerombolan siswi masuk ke kelas. Mereka datang beramai-ramai dengan ekspresi serius. Masuk bergerombol, lalu meninggalkan tiga dari mereka untuk berjalan mendekat ke arah Lucius dan Jet. Sementara tiga perempuan mendekat tanpa ragu ke arah Lucius, sisanya berjaga di dua pintu kelas yang kosong. Sengaja menutup jalan masuk dan keluar. Entah apa tujuannya, yang jelas tindakan mereka menarik perhatian murid lainnya yang sedang lewat di depan kelas.
Dari tiga perempuan yang mendekat, satu diantaranya berpose angkuh tepat di depan Lucius. Melipat tangannya dan memasang raut wajah sinis. Rambut coklatnya yang panjang tergerai sampai ke punggung, tubuhnya yang ramping menghipnotis mata laki-laki yang melihatnya. Pesonanya yang gagah berani namun juga indah menghancurkan khayalan para lelaki. Tetapi tetap tidak menghancurkan kegigihan para lelaki yang hendak merebut hatinya.
“Aku paham sekarang.” Kata Lucius menoleh pada Jet. Dan tiba-tiba saja, Jet sudah berada di depan salah satu pintu kelas yang sedang dijaga.
“Baiklah, karena kau sudah di sini, aku pergi dulu. Selamat berbincang-bincang.” Ucap Jet cengar-cengir, lalu melesat keluar kelas meninggalkan Lucius sendirian di sana bersama segerombolan perempuan yang masih belum diketahui tujuannya.
Lucius bangkit dari tempat duduknya. Matanya bertemu dengan mata perempuan itu, lalu tanpa menghiraukan keperluan para siswi itu Lucius melangkah menuju pintu.
“Hei! Mau ke mana kau?” kata siswi berambut cokelat sambil merentangkan kedua tangannya, mencegat Lucius yang mau melarikan diri. “Aku belum berbicara sepatah kata pun padamu. Duduk!” perintah gadis itu.
Namun Lucius bukan orang yang dengan mudahnya diatur oleh orang lain. Apalagi diatur oleh rasa takut. Garis tajam wajah gadis itu tidak cukup kuat untuk mengintimidasi Lucius, bahkan untuk melelehkan sikap Lucius yang dingin, pesona gadis itu terbilang sia-sia karena tak berdampak apa-apa pada Lucius.
Alis gadis itu berkerut kesal ketika menatap Lucius. “Ucapkan sesuatu.” Katanya hampir seperti berbisik.
“Seperti apa misalnya? Aku tidak ada keperluan denganmu.” Ucapnya datar.
Emosi siswi itu semakin menjadi-jadi. Mau bagaimana lagi, ini adalah penolakan pertama yang ia terima. Yang harus dihadapinya di depan anak buahnya. Di mana dia harus bisa menjaga harga dirinya dengan baik.
Menjadi terkenal atau populer terkadang memberikan efek positif yang sangat membantu. Berbagai hal bisa menjadi mudah berkat itu. Kepribadian Lucius sudah diketahui oleh banyak orang yang menonton pertandingannya, termasuk semua murid di Saint Jackson. Siapapun di sekolah itu yang pernah mencoba mendekati Lucius pasti mengetahui kalau dia punya sikap yang dingin dan menjengkelkan. Bisa dianggap, Lucius jadi terbantu dalam menghindari orang-orang yang terpikat dengan paras dan bakatnya berkat tiga turnamen yang diadakan sekolahnya.
“Tidak ada yang mau kau bicarakan? Kalau begitu aku pergi.”
“Hei… berengsek, tunggu seben—” gadis itu meraih kerah baju Lucius. Dengan cepat Lucius mencengkram pergelangan tangan gadis itu dan memutarnya hingga ia melepaskan kerah bajunya. “Ah!”
Masih memegang pergelangan tangannya, Lucius kemudian menyentil dahi gadis berambut cokelat itu hingga terdorong ke belakang.
“Kita berdua sama-sama tahu siapa yang lebih kuat. Jangan memancingku.” Lucius memperingatkan, lalu melangkah pergi.
Di belakangnya, ada seorang siswi yang menatap punggungnya dengan rasa kesal yang hampir meledak. Bergumam lalu akhirnya melepaskannya dalam bentuk teriakan serta makian.