Berlari dan menghindar, hanya itu yang bisa dilakukannya. Tanpa ada jeda untuknya memikirkan rencana dan menyerang balik. Tanpa istirahat ia dikejar, diincar, diserang membabi buta oleh kekuatan yang cukup buas dan besar. Selain menghindari pukulannya yang besar, berlari berkeliling lalu berputar di sekitar pohon yang rapuh di hadapan monster itu lumayan memberinya waktu istirahat walau sejenak.
“Hahahaha,” tawa lelaki yang duduk di atas monster itu. “Kau pintar mengelak juga anak sialan.” Katanya menyeringai. Posisi duduknya tidak goyah sedikitpun meski monster itu membawanya berlari mengejar Lucius. Duduk bersila, tegap dan sangat stabil di atas menikmati monster yang ditungganginya memburu Lucius tanpa henti. “Ayolah, jangan bilang hanya ini yang bisa kau lakukan. Hm?” katanya lalu tertawa lagi, terbahak-bahak.
Lucius berdecak dengan wajah kesal saat melirik ke arah lelaki yang duduk di atas monster itu. “Cih,” sambil berlari menghindar Lucius mengucapkan beberapa kata. Dalam kesenyapan sesaat, kemudian Lucius berteriak. “Geata fosgailte!” awan hitam muncul di hadapan Lucius kemudian. Bergulung-gulung menarik ke dalam. Bergerak seperti ombak ganas di lautan, namun berwarna hitam pekat. Lebih gelap dari kegelapan. Selang beberapa detik terlihat sesuatu di dalam awan itu, seperti petir yang menyambar tapi ekornya menyambung kembali jadi sambaran petir. Terus saling menyambung dari satu sisi ke sisi yang lainnya. Lucius melompat ke dalamnya. Dan dalam sekejap, Lucius lenyap tak meninggalkan jejak. Awan hitam yang bergulung-gulung itu sudah menghilang. Melipat dirinya menjadi kecil sampai ke titik di mana tak dapat dilihat lagi dan seketika itu juga menyatu terbang bersama kuatnya hembusan angin sepoi-sepoi.
Baik Lucius dan awan hitam itu sudah menghilang. Meninggalkan monster dan majikannya di sana kebingungan.
“Hah? Apa yang terjadi? Di mana dia? Di mana dia?” tanya lelaki itu, dari atas monster yang juga sama bingungnya.
Monster yang ditunggangi lelaki itu adalah makhluk yang dulunya seekor gorila biasa sampai akhirnya menjadi objek penelitian dan sekaligus sebagai kelinci percobaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu demi mendapatkan keuntungan pribadi. Berbagai percobaan, dari siksaan hingga segala jenis tindak percobaan pembunuhan hanya untuk menguji coba perkembangan DNA yang dimutasi secara sengaja.
Tak sedikit monster yang gagal dalam tahap pengujian dan mati dengan mengenaskan. Diburu secara massal dan dijadikan objek percobaan, hewan-hewan itu bergerak mengikuti perintah tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk menolak maupun membantah.
Diseret seperti budak, dikurung seperti seorang tahanan, diberi makan seadanya, kehidupan yang seharusnya tidak dirasakan hewan maupun manusia di zaman sekarang. Sayangnya belum ada dari tindakan sekelompok orang itu diketahui oleh banyak orang. Jejaknya bahkan tak berbekas dan bersih. Setiap perbuatan mereka, setiap jejak yang mereka tinggalkan hilang pada menit berikutnya. Layaknya daun yang berterbangan karena tersapu hembusan angin kencang. Ada seseorang yang bertugas menghapus dan membersihkan tempat kejadian itu yang bekerja sangat baik. Selalu berada satu langkah di depan dari yang lainnya, selalu berpikir dan bertindak lebih cepat dari siapapun. Tapi kini apa yang dilakukannya akan sia-sia. Seseorang sudah memperlihatkan monster itu di hadapan empat pelajar yang sedang berjalan pulang ke rumah. Memamerkannya di tempat terbuka seolah sedang mengumumkan sesuatu. Membiarkannya dilihat secara bebas pada siapapun yang bisa melihatnya.