Seorang perempuan terlihat terbang menabrak dahan-dahan pohon yang keras. Terjatuh kemudian setelah menabrak pohon besar yang menjulang tinggi melebihi pohon-pohon yang lainnya. Perempuan itu jatuh dengan tangan yang penuh luka lebam di sekujurnya. Merintih kesakitan saat mencoba bangun. Segera setelah bangkit dan berhasil berdiri tegak menahan luka-luka yang ia terima, seorang pria besar dengan ukuran tangan yang tidak wajar muncul dari atas dan mendarat di hadapannya.
Kepalanya gundul, kulitnya putih kemerahan disertai urat yang tampak jelas di balik kulitnya seolah kulitnya sangat tipis dan apapun yang ada di baliknya bisa terlihat dengan jelas. Semua anggota tubuhnya tampak normal kecuali dua kepal tinjunya dan tinggi tubuhnya yang terlihat sangat besar dan tidak umum.
Pria itu menggertakkan gigi saat melihat perempuan di hadapannya. Sambil mengeluarkan geraman seperti anjing yang hendak menggonggong, pria itu mengepalkan tinjunya yang besar.
Seperti mangsa yang tak berdaya di hadapan predator, perempuan itu menatap pasrah pria di depannya. Meski yang ia lakukan sebenarnya adalah memikirkan sebuah rencana, pikirannya tentang kekalahan dan kematian tak berhenti mengganggunya. Seolah memikirkan hal negatif sudah menjadi hal yang lumrah baginya. Kebimbangan membayangi setiap keputusannya. Apa yang harus ia lakukan agar bisa menang melawan pria dengan ukuran tinju yang tidak biasa?
Pria itu mengangkat dua tinjunya yang besar ke udara, sambil berteriak cukup keras pria itu mengayunkan tinjunya ke arah perempuan yang ada di hadapannya. Satu tinju diayunkannya, sedangkan yang satunya dia pertahankan tetap berjaga di atas kepalanya untuk diluncurkannya setelah satu tinjunya berhasil mengenai perempuan itu.
Bukannya menghindar, perempuan itu malah memasang kuda-kuda dan menyilangkan tangannya di depan wajahnya. Menggunakan kedua tangannya yang dipenuhi luka lebam, perempuan itu bertekad untuk menangkis lagi serangan dari pria besar itu. Walaupun pada kenyataannya ia jelas-jelas tidak lagi bisa menggunakan kedua tangannya itu untuk bertahan.
“Aline!!!” teriakan itu menggema membelah udara di sekitarnya. Seorang perempuan melesat dengan cepat melintasi beberapa tanah yang rusak dan berkelok-kelok melewati pepohonan yang rindang.
Itu adalah suara dari seorang perempuan berambut merah muda dengan pedang yang digenggamnya kuat-kuat di samping pinggangnya. Aline yang sedang dalam usaha bertahan dari hantaman pria di depannya tersentak terkejut. Matanya melebar tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ada seseorang yang datang menolongnya. Tetapi sayangnya tinju si pria itu tak berhenti ketika teriakan lantang itu membelah dan memekakkan telinganya.
Pria besar itu menggeram, mengaum, dan berteriak kesakitan. Tampaknya telinganya lebih sensitif dari milik orang biasa. Pria besar itu berteriak dengan berlebihan.
Eriza meluncur secepat yang ia bisa untuk menolong Aline dari hantaman pria besar itu. Usahanya berhasil. Ditebasnya tinju pria itu sekuat tenaga oleh Eriza. Melukainya cukup dalam sampai membuatnya terus merintih kesakitan saat melangkah mundur.
“Aline, kau tidak apa-apa?” tanya Eriza saat menapakkan kakinya ke atas tanah di depan Aline. Eriza melihat tangan Aline. Kedua tangannya, yang penuh luka lebam. “Aline, kenapa kau tidak—” Eriza mengubah tatapannya. Berpaling dan mengarahkan tatapannya itu pada pria besar yang sedang memegangi tangannya yang terluka karena ditebasnya.
Eriza melempar sarung pedangnya jauh ke samping kanannya. Lalu mengarahkan ujung pedangnya ke pria besar yang sekarang sedang balik menatapnya dengan ekspresi marah.