“Mau mencarinya dulu?”
“Hmm… di mana ya dia biasanya main?” Lucas tampak berpikir. Melihat ke segala penjuru di ruangan itu. “Tempat ini terlalu luas kalau kupikir-pikir. Sebaiknya kita cari saja ayo.”
“Sekalian lihat-lihat. Aku penasaran ada permainan apa saja.”
Lucas dan Runa menemukan Mikie berada di salah satu stasiun permainan dengan perlengkapan helm dan senjata.
“Runa, itu Mikie.” Kata Lucas. “Ternyata di sini. Aku kira di mana. Ini memang salah satu permainan kesukaan Mikie.” Lucas berpaling menatap Runa.
“Permainan apa ini?” Runa memindai dari atas kepala hingga ke ujung kaki Mikie. Dari helm yang dipakai, rompi di tubuhnya, sarung tangan, dan pelindung di kakinya.
“Ini semacam simulasi peperangan. Kau tahu polisi atau tentara kan?”
“Eh? Em…” wajah Runa memperlihatkan tanda tanya yang sangat jelas. “Apa itu?”
Tanpa mempermasalahkannya Lucas menjelaskan, “Mereka adalah petugas keamanan. Di setiap negara ada. Polisi biasanya yang paling sering menangani penjahat yang ada di dalam negara ini. Sedangkan tentara kebanyakan bekerja di luar negeri. Mereka menjaga keamanan yang lebih besar.”
“Jadi maksudmu tentara yang lebih disiapkan untuk perang ya?”
“Betul. Kurang lebih seperti itu.”
“Baiklah, dalam permainan ini siapa yang sedang diperangi Mikie kalau begitu.”
Lucas melirik poster digital yang melayang di samping mesin. “Aku rasa monster. Di sini terlihat seperti monster salah satunya.”
“bagaimana cara kita menyadarkan Mikie?”
“Sepertinya ada di sekitar sini menitannya. Em….” Lucas mencari-cari sejumlah angka yang bergerak tiap detik. “Harusnya ada mesin penghitungnya.”
“Kita copot saja helmnya bagaimana? Memangnya apa yang bakal terjadi kalau aku copot langsung helmnya? Tidak ada pengaruhnya kan?”
“Aku tidak tahu, aku belum pernah mencobanya.”
“Mau mencobanya?” Runa menawarkan ide yang berbahaya.
“Sebaiknya jangan. Aku tidak tahu apa-apa tentang helmnya. Siapa tahu helmnya menyetrum. Kita tunggu saja.”
“Baiklah.” Belum apa-apa Runa sudah merasa bosan. Sebelum berjalan mundur Runa menepuk helm yang dipakai Mikie. Kemudian mencari tempat duduk. “Kira-kira berapa jam dia bermain?”
“Biasanya? Harusnya sih sudah selesai. Biasanya kami hanya main dua jam saja. Bibi suka datang sendiri mencariku kalau aku main terlalu lama.”
“Tunggu—kita sudah bermain dua jam lebih, apa itu artinya bibimu akan mencarimu?”
“Tidak, tidak akan. Aku sudah bilang pada bibi kalau aku dapat teman baru.”
“Lalu apa bedanya? Apa kekhawatirannya karena bocah itu?” kata Runa menunjuk Mikie yang masih sibuk berperang.
“Aku pikir begitu. Entah kenapa bibi khawatir sekali aku terlalu lama bermain dengan Mikie.”
Runa mengangkat bahunya. “Yah bisa dipahami. Bocah itu memang terlihat mencurigakan.”
Setelah hening beberapa saat antara Runa dan Lucas, “Tumben dia mainnya lama.” Kesabaran Lucas tampaknya mulai menipis. Hanya menunggu melihat orang lain bermain di stasiun permainan bukanlah hal yang mudah. Godaan ini tentu berat bagi Lucas yang juga suka bermain.
“Kita tinggal saja yuk.” Ajak Runa. “Kita kembali ke restoran, atau pulang saja?”
“Pulang? Mungkin lebih baik pulang. Jam berapa sekarang?”
Runa Mendongak mencari jam dinding. Dia tidak dapat menemukannya di mana pun. Ada kelap-kelip lampu di dinding dan itu hanya lampu bukannya jam.
“Apa tempat ini dibangun tanpa diberi jam dinding? Sepertinya begitu. Mereka mau membuat kita lupa waktu ya.”
“Kita langsung keluar saja. Ayo.” Saat Lucas dan Runa hendak pergi, Mikie melepas helmnya dan langsung memandang ke arah Lucas dan Runa. “Kau sudah selesai Mikie?”
“Baru saja. Pertempuran yang panjang. Bagaimana dengan kalian?”
“Kita mau pulang, kau mau ikut tidak?” sahut Runa.
“Hah pulang? Kalian yakin? Runa, kau masih belum melihat-lihat semuanya kan?”