10 tahun lalu di Bali
Sudah ia duga, pasti akan begini. Felicia kecil berusia sepuluh tahun nyaris menangis, cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata. Lututnya berdarah dan semua karna sepatu tali terkutuk ini.
Bukannya tidak bisa, ia hanya heran sekuat apapun ia mengikatnya, entah bagaimana simpulan tersebut selalu terlepas lalu ia akan terinjak dan membuatnya jatuh.
Felicia yang terduduk meraih untaian tali sepatu itu dan mengikatnya.
"Kau salah!" seru seorang bocah laki-laki yang menghampirinya.
"Jika kau hanya mengikat seperti itu, talinya bisa terinjak lalu simpulnya akan terlepas." Bocah itu lalu memberikan permen lolipop yang dipegangnya pada Felicia, kemudian berjongkok dan meloloskan tali dari sepatu Felicia.
"Apa yang kau lakukan?" protes gadis itu.
"Aku sedang mengajarimu, perhatikan baik-baik!" titahnya.
Bocah laki-laki tersebut kemudian mulai membuat pola menyilang yang saling mengisi di bagian bawah dan atas, lalu setelah sampai di lubang teratas dia mengikatnya. Yang berbeda adalah untaian tali itu diselipkannya diantara simpul sehingga tidak ada tali menjuntai namun tetap rapi dan enak dipandang.
"Sudah."
Felicia memandangi sepatunya yang terikat sempurna dan berdecak kagum.
"Woah ... terima kasih." ucap Felicia disertai pancaran mata yang berbinar senang serta seulas senyum manis.
Bocah itu juga membantu Felicia berdiri.
"Ini." Felicia menyodorkan kembali lolipop milik bocah itu.
"Untukmu saja."
Felicia kecil kembali tersenyum senang mendapat lolipop gratis, ia berharap ibunya tidak akan marah jika ia memakan satu permen saja.
***
Di halaman kampus Harimoerti University Jakarta sepuluh tahun kemudian, Felicia remaja berlari sepenuh hati. Rambut coklatnya yang terikat bergerak lincah, pun tas punggung yang ikut memantul mengikuti irama tubuhnya.
Hari ini sepertinya dia akan terlambat. Bukan terlambat masuk kelas, tapi terlambat ke perpustakaan.