"Felic...," gumam Darren terkejut mendapati sosok Felicia di sana.
"Gue bisa jelasin." What the hell, Darren serasa ingin menggigit lidahnya, ucapan macam apa itu?
Kening Felicia mengerut. Sungguh, dia tidak tertarik dengan penjelasan Darren, telinganya cukup normal untuk memastikan bahwa Ervika sebenarnya tidak mencintai Arsen. Gadis itu mempermainkan perasaan Arsen dan Felicia semakin tidak suka.
Di lain sisi Darren masih gelagapan. Entah kenapa reaksinya harus begini? Darren merasa aneh, seperti dia sedang kepergok selingkuh oleh kekasihnya karena Felicia hanya memandangnya tanpa berkedip, bahkan gadis itu tidak berkata apa-apa.
"Aku setuju." suara Felicia terdengar tegas.
"Apa?" Darren yang masih setengah linglung pun semakin bingung dengan dua kata yang terlontar dari mulut Felicia. Salah mengira Felicia setuju untuk mendengar penjelasannya.
"Ini ngga seperti yang lu li--"
"Aku setuju jadi pacar pura-pura kamu," sergah Felicia memotong.
Darren menganga tak berkedip, ia juga tetap diam saat gadis kurus bertubuh mungil itu melenggang pergi, menyisakan aroma buah cherry di penciumannya.
Damn! Sepertinya ciuman Ervika tadi menyedot sedikit kewarasannya, buktinya ia mendadak lemot di depan Felicia.
Pria itu mengejar Felicia, "Kita harus bicara." Felicia berhenti dan menatap Darren lagi.
Darren kembali mengumpat pada dirinya sendiri tiap kali mendapati tatapan Felicia seperti itu.
Mata itu, sepertinya mata Felicialah yang bersalah. Entah kenapa Darren merasa tatapan Felicia itu terlalu aneh untuknya. Gadis itu jarang berkedip, wajahnya datar, dan ia tidak banyak bicara.
"Jadi, lu bener setuju mau jadi pacar pura-pura gue?" Felicia mengangguk. "Oke, kalau gitu besok malem gue jemput."
"Jemput kemana?"
"Ke rumah lu, lah. Pake gaun yang cantik, kita dateng bareng ke pesta pernikahan saudara gue." Felicia bersiap meminta penjelasan saat matanya menangkap Benjamin sudah selesai membayar dan sepertinya sedang mencarinya. Ia meninggalkan Darren begitu saja meski sempat mendengar pria itu mengucapkan kalimat 'sampai jumpa.'
***
Hal yang membuat Felicia merasa beruntung adalah karena ayahnya sudah berangkat ke Surabaya tadi pagi. Jadi, ia tidak perlu melewati introgasi panjang seperti 'mau pergi kemana? Dengan siapa? Pulang jam berapa?'
Sebagai anak bungsu tentulah dia tidak akan diizinkan pergi keluar malam-malam. Maka dari itu, ia sangat amat berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengambil shift malam saat bekerja di kafe kecuali tiga hari terakhir karena ia tidak melihat Arsen selama hampir satu minggu sejak tersebarnya berita dia bersama Ervika. Tentu saja itu mengejutkannya.
Felicia memandang pantulan dirinya di cermin. Tubuh kecilnya berbalut lace dress selutut berwarna pastel, rambut panjang coklatnya ia tata sideswept waterfall braid with curls, serta kakinya beralaskan chunky shoes rose gold. Sesaat Felicia berpikir, apakah yang dilakukannya ini sudah benar?
Ponselnya berdering dan tertera nomor asing memanggil. Felicia sudah menebak, ini pasti Darren.
"Halo...."
"Selamat malam, Rapunzel ... Pangeran sudah di depan rumahmu. Bisakah kau turunkan rambut panjangmu agar aku bisa masuk menjemputmu?"
"Aku yang akan turun ke sana." Felicia mematikan ponselnya. Ia meraih clutch bag berhias swarovski sebelum turun ke bawah.