Apa hal yang dapat membuatmu kesal ketika seseorang meninggal?
Terlambat mengucapkan kata maaf?
Tidak dapat menemaninya sampai detik terakhir?
Atau, tidak diperbolehkan menangis tersedu-sedu saat pemakamannya?
Semua itu, pernah dialami Jovanka. Gadis berusia 17 tahun ini tidak boleh menangis sedari dirinya duduk di bangku sekolah dasar.
Dirinya yang sepucat porselen itu tanpa sengaja melakukan kesalahan fatal yang membuatnya harus berdiam diri di rumah sakit. Semakin hari, tubuhnya semakin melemah. Tak ada makanan enak yang dapat diterima tubuhnya lagi. Semuanya keluar beberapa detik setelah masuk.
Rumah sakit bukanlah tempat berlibur ataupun tempat yang menyenangkan. Namun, gedung putih dengan segala aroma khas antibiotiknya sudah menjadi rumah kedua bagi Jovanka Lovata.
Kepribadian Jovanka sangat jauh dari kata penurut. Jika dia kebal terhadap rasa sakit, mungkin saja dia sudah menarik infus dari punggung tangannya dan berlari keluar dari penjara kecilnya.
Pernah sekali Jovanka melakukan hal tersebut. Sayangnya, belum juga berlari jauh dari rumah sakit, Jovanka sudah tersungkur duluan di taman rumah sakit. Tubuhnya memang benar-benar lemah sejak dulu, sedari dia masih bayi.
Sekarang, gadis itu hanya dapat memandang keluar jendela sembari menggumamkan keluh kesahnya. Sesekali menyapa hewan-hewan kecil yang menjadikan dahan pohon sebagai tempat tinggalnya.
Menurut gadis itu sendiri, hidupnya sudah sempurna.
Hanya ada dirinya, penyakit langka, dan rumah sakit kesayangannya.
***
"Halo, tupai kecil. Apa kabar? Apa hari ini kau mendapat banyak kacang kenari lagi?"
Berbincang ringan pada tupai yang berada di kusen jendela kayu. Tertawa geli ketika tupai tersebut melakukan sesuatu yang lucu. Seperti itulah keseharian Jovanka.
Bangun, makan, minum obat, dan bermain dengan para tupai. Selalu seperti itu tiap harinya.