Cumlaude

Meloghy
Chapter #1

Somewhere I Belong

Aku sudah berusaha keras sampai sejauh ini, tapi...

Brak!

Hanya dengan satu teriakan dan tendangan telak di dada, aku kembali menjadi seorang pecundang. Tubuhku seketika terjungkal, tak kuat menerima serangan dari Nurul. Sial! Dasar Aara nggak berguna! Aku meruntuk dalam hati sambil menahan malu. Ini pertandingan penting dan disaksikan anak satu sekolahan. Atau lebih tepatnya disaksikan Alfa - cowok ganteng murah senyum yang aku taksir sejak masuk SMK. Tapi apa yang kuperbuat? Seni mempermalukan diri lagi.

Aku menguatkan rahang dan mengepalkan tinju. Kenapa semua begitu memuakkan? Novel yang kubuat susah payah sampai begadang dan migran, malah ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Gambar komik yang kubuat dengan menghabiskan tabungan uang jajan untuk membeli peralatan menggambar, di hujat habis-habisan oleh Afiyah dan teman-teman. Ikut lomba cerpen, malah Yunita- sahabatku yang menang. Harapan terakhir, pertandingan Taekwondo ini- agar orang tuaku menoleh, pun berakhir seiring dengan sabeum1 Fitri mengangkat tinggi-tinggi tangan Nurul. Dia kembali menjadi perwakilan dojang2sekolah untuk pertandingan tingkat kota.

Lantas, apa yang harus kulakukan agar orang tuaku berhenti mengorbit di dunianya Alfi- si anak emas mereka?

"Ra..."

Aku menoleh menyambut panggilan lembut dari arah belakang. Ternyata hanya si wajah kotak berponi lempar. Ghazi Bumi Syam. Dia sepupu dari sahabatku- Yunita. Sebenarnya aku tak cukup akrab. Tak banyak yang kuketahui juga tentang Ghazi. Bahkan kami beda kelas dan jurusan. Tapi anehnya kami selalu satu sekolah dan dia yang selalu ada ketika Yunita tak ada.

Sebenarnya dulu ketika daftar SMK, Aku dan Yunita berencana untuk masuk sekolah dan jurusan sama. Tapi takdir berkata lain. Yunita gagal tes sementara Ghazi - yang awalnya di setting orang tuanya sebagai penjaga Yunita- malah lulus.

Aku tersenyum getir membalas bibirnya yang tersungging sebelah. Memalukan sekali bukan? Kira-kira begitulah arti senyum ku. Tapi senyum cowok itu semakin mengembang, menunjukkan barisan giginya yang rapi dan putih kinclong.

Ghazi kemudian mengangkat botol minuman rasa jeruk merk terkenal dan tanpa aba-aba melemparnya padaku. Aku sontak bangun dan membalikkan badan untuk menangkap botol itu, kalau tak ingin mendarat di kepala. Ini makin memalukan jika benar-benar terjadi. Dasar Ghazi! Apa maksudnya coba? Untungnya lagi, ini botol plastik, bukan botol kaca.

Aku membuang napas lega setelah berhasil menangkap botol minuman itu.

"Kerja bagus untuk hari ini, Pesek!" katanya dengan intonasi mengejek diantara hiruk pikuk orang-orang yang bersorak untuk kemenangan Nurul. Tapi aku malah tertegun menatap sosoknya. Entah mengapa, mataku terasa perih dan hatiku bergetar aneh. Bukan masalah intonasinya yang menyebalkan. Namun kata-katanya membuatku senang. Bahkan sangat senang dan merasa dihargai walau dalam posisi dikalahkan. Andai orang tuaku seperti Ghazi. Mungkin aku...

Aku pun menengadah, menatap langit cerah nan panas di siang bolong. Aku mengedip-ngedipkan mata mencegah air mata ini mengalir. Aara bukan anak cengeng. Nggak ada kata nangis. Naruto aja berusaha begitu keras, lalu mana mungkin Aara menyerah begitu saja?

Aku memberanikan diri menatap Ghazi lagi dan melempar senyum padanya yang masih berdiri di barisan paling depan penonton. "Makasih banyak, Gha."

Berarti tinggal satu cara. Nilai akademik. Jika Alfi bisa ranking satu terus, maka aku harus buktikan bahwa aku, bisa masuk ranking sepuluh besar. Setidaknya aku masuk peta jajaran top ten.

***

Beberapa bulan kemudian...


Lihat selengkapnya