Ketika aku pulang, biasanya ibu hanya menjawab salam. Menyuruh ku untuk ganti baju dan pergi makan. Dia sibuk dengan pekerjaannya. Menjaga toko kelontongan samping rumah sambil menyolder mukena yang di bordir- yang merupakan pekerjaan umum para wanita di kecamatanku.
Ibu sama sekali tidak pernah menanyakan bagaimana aku di sekolah. Bagaimana teman-teman memperlakukan ku. Punya teman atau tidak. Dirundung atau tidak. Dia seolah tak peduli. Pernah suatu waktu aku kesal dan bercerita pada Ibu kalau aku dikatain pesek dan jelek di sekolah, namun apa tanggapan nya?
“Teu kunanaon atuh, Neng. Da geulis mah relatip. Nih yang parah mah si dede. Masa tugas prakarya na di tuker ku si Hilda borokokok, terus di jongklokeun1. Kan itu teh kurang ajar. Belum lagi si dede mah ririwit2. Telat makan dikit, maag na kambuh. Makanya…” Dan ibu kembali menceritakan cerita yang selalu diulang-ulang sampai aku hafal di luar kepala. Intinya dia selalu khawatir pada Alfi karena adik perempuanku itu punya penyakit maag dan pernah di bully secara fisik.
Begitulah Ibu. Di dunianya, hanya ada Alfi. Ibu hanya perhatian pada Alfi sampai penyambutan anaknya pulang pun berbeda. Jika Alfi pulang, Ibu langsung meninggalkan pekerjaannya. Solder nya pun sampai di cabut dan mukena bordirannya di simpan di keranjang demi menyambut dan mendengarkan cerita anak emasnya di sekolah.
Ibu pasti akan bertanya, “Di sekolahnya gimana, Fi? Nggak ada yang ngusilin kan, nya?” atau “Kumaha belajarna? Ada yang susah?” atau yang sangat template ketika selesai UTS atau UAS, “Soal ujiannya gimana? Susah?”. Dan yang paling menyebalkan, adikku akan menjawab “Lumayan, Bu.” Dengan ending ranking satu.
Tapi sekarang semua akan berubah. Aku tersenyum lebar keluar jendela angkot 095. Senang tak kepalang, membayangkan bagaimana Ibu mengalihkan sedikit pandangannya dari Alfi. Dia akan menyambut haru anak sulungnya, memeluknya dan mengelus kepalanya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Serta berkata “Ini baru anak, Ibu.”
Luar biasa!
Tak lama aku menyetop angkot tepat di depan rumah. Berjalan masuk sambil mendekap erat raport dan hadiah top five dari Pak Haroman di dadaku. Namun langkah ku terhenti dengan posisi tangan memegang gagang pintu. Senyum ku pudar seketika. Semua pencapaian ku terasa tidak ada apa-apanya di hadapan Alfi.
“Allahu akbar, alhamdulillah juara dua OSN sama ranking satu lagi. Ini baru anak ayah sama ibu. Kami bangga, De,” kata ibu penuh haru.
Aku menatap kosong raport dan kado dari Pak Haroman yang di depannya terdapat memo kecil bertuliskan ‘Kerja bagus. Tetap semangat untuk terus berjuang’. Aku tersenyum getir. Kerja bagus apanya? Ah… sialan! Padahal aku tahu semua ini akan terjadi, tapi kenapa dadaku terasa sesak. Bukankah ini selangkah lebih maju? Tapi kenapa aku tetap merasa kecewa.
Aku membuang napas kasar.
“Neng Aara nuju naon ngahuleng dina panto?3 Hayu atuh, bibi meser donat. Ieu artosna4,” kata seseorang membuyarkan lamunanku. Aku berbalik sambil melempar cengiran pada Bi Neni- tetangga seberang rumah.
“Iya, Bi. Sebentar kembaliannya.”
Aku segera membuka sepatu dan menyimpan raport serta kado di etalase. Kemudian masuk sambil mengucapkan salam.
“Bu, ada yang beli. Di laci ada kembalian kan?”
“Eh, ada, Ra.”
Aku segera meluncur ke warung. Mengambil uang kembalian dan segara menyerahkannya pada Bi Neni, yang kini sedang membuka raport ku tanpa izin. Aku berdecih pelan. Tetangga emang gitu?
“Abis dibagi rapot ya, Neng?” tanyanya tanpa dosa sambil manut-manut. Sementara mata terfokus pada deretan nilaiku di semester ini.
“I-iya, Bi. Maaf ini kembaliannya,” ujar ku berharap dia segera mengambil kembaliannya dan menukarnya dengan raportku.
“Wah! Ranking lima. Hebat juga kamu teh. Kirain si Alfi doang yang pinter. Selamat ya, Neng Aara. Eh, tapi percuma.” Bu Neni mengibaskan tangan kanannya ke arahku. Kemudian berkata, “Perempuan itu ujung-ujungnya di dapur, Neng. Ngapain sekolah tinggi-tinggi sama pinter-pinter, toh urusan perempuan cuma tiga. Ngurus anak, kasur sama dapur. Belum lagi biaya kuliah teh mahal. Cari kerja susah. Contohnya kayak Si Neneng anaknya Mang Oleh. Kuliah S1 ujung-ujungnya kerja di Arsi Collection sama si Mira yang tamatan SMP. Kalo gitu mah nggak usah kuliah aja.”
“Ada apa yah, Ceu?” tanya Ibu tiba-tiba dari lubang pintu.
“Eh… ceu Yuni.” Kulihat Bu Neni segera menutup rapotku dan menukarnya dengan uang kembalian. “Ini, loh. Ternyata si Neng Aara, pinter juga ya. Ranking lima. Selamat nya ceu.”
“Ha? Ranking lima?”
Aku tertunduk.
“Heem. Emang belum tahu, ceu?”
“Belum dikasih tahu, Bi. Aara baru pulang,” jawabku cepat sambil mengulas senyum terbaik.